Satu-dua hari terakhir, persisnya 9 dan 10 Februari, masyarakat pers Indonesia gegap gempita memperingati hari jadinya. Kendati hari jadi pers jatuh pada 9 Februari, namun gaungnya masih terasa hingga satu atau beberapa hari setelahnya. Bahkan, hari-hari menjelang 9 Februari, denyut hari jadi itu sudah terasa.
Lantas, apa yang diperingati? Tak banyak, bahkan bisa dibilang hanya satu, yakni kebebasan. Ya, cuma itu, cuma kebebasan yang (selayaknya) menggema dan digemakan ketika pers memperingati hari jadinya. Kebebasan lah, yang menjadi isu seksi dalam lintasan sejarah pers nasional.
Pers bebas, dalam lintasan sejarah tersebut, telah menjelma menjadi cita-cita sekaligus harapan para insan pers. Disebut cita-cita, karena kebebasanlah yang menjadi hasil akhir atau puncak perjuangan pers. Sementara itu, disebut harapan karena kebebasanlah yang menjadi motor dan landasan kerja masyarakat pers.
Maka, sangat mudah dibayangkan jika pers tak mendapatkan kebebasan. Jika ini yang terjadi, maka pers kehilangan harapan dan cita-citanya. Bagaimana jadinya bila pers bekerja tanpa kebebasan, dan saat bersamaan hidup tanpa harapan dan cita-cita?
Bukan hanya insan pers, hilangnya kebebasan juga tidak menguntungkan masyarakat. Tanpa kebebasan, pers tak lagi maksimal menjalankan fungsi dan perannya memenuhi hak masyarakat akan berita dan informasi.
Maka, jangan sekali-sekali mengganggu kebebasan pers. Jangan.