JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Demi kemakmuran masyarakat, Gubernur Provinsi (Pemrov) DKI Jakarta Anies Baswedan, memutuskan akan mengambil alih pengelolaan air bersih, dari pihak swasta yakni PT Aetra Jakarta dan PT PALYJA. Langkah ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Agung (MA) 2017 terkait penghentian swastanisasi air bersih di Ibu Kota.
Kepada sejumlah awak media, Anies menuturkan, enam bulan yang lalu ia membentuk tim tata kelola air yang berisikan kalangan profesional, aktivis, juga kalangan birokrat untuk memberikan laporan dan bentuk rekomendasi kebijakan perbaikan tata kelola air.
"Langkah pengambilalihan ini menjadi penting sekali, tujuannya adalah mengkoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa orde baru, tahun 1997 dan kita tau selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibukota tidak berkembang sesuai dengan harapan," tutur Anies, di Gedung Balairung, Balaikota DKI, Jakarta Pusat, Senin (11/2/2019).
Ayah empat anak itu menjelaskan, pada 1998 saat swastanisasi dimulai, cakupan awal 1998 adalah 44,5 persen, sudah berlajan 20 tahun, dari 25 tahun yang ditargetkan dan di dalam 20 tahun hanya meningkat sampai 59.4 persen. Artinya, waktu 20 tahun hanya meningkat 14.9 persen, masih tersisa sampai tahun 2023 dan sampai 2023 kekurangannya adalah lebih dari 20 persen.
"Jadi bayangkan lebih dari 20 persen, harus dijangkau di tahun 2023 sementara selama 20 tahun, swasta baru bisa melaksanakan peningkatan rata-rata 15 persen. Jadi keputusan tahun 1998 dulu adalah mendelegasikan kewenangan pengelolaan itu, diberikan pengelolaannya kepada swasta sekarang kita akan siap mengambil alih dari swasta dikembalikan ke pemerintah," jelasnya.
Anies menyebut, bahwa pihak swasta bermasalah lantaran tiga hal. Pertama, perjanjian bermasalah hak ekslusivitas. Dimana, dalam perjanjian kerjasama harus seizin pihak swasta. Kedua, pengelolaan seluruh aspek, seluruhnya ada pada pihak swasta. Mulai air baku, pengolahannya, lalu distribusinya dan pelayanannya, empat-empatnya ada di sana, kita sama sekali tidak punya kontrol di sana. Kemudian yang ketiga, dan ini yang problematik negara di dalam perjanjian itu, memberikan jaminan keuntungan 22 persen.
"Jadi keempat aspek, air baku, pengolahan, kemudian distribusi dan pelayanan. Empat itu insyaallah akan kita kelola semua. Ini yang menjadi arah kebijakan," pungkasnya. (plt)