JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan kurangnya pengawasan pihak pengelola Pondok Pesantren NI di Nagari Balai Gadang Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mengatakan, dampak dari kurangnya pengawasan tersebut, menyebabkan terjadinya kasus pengeroyokan yang mengakibatkan seorang santri RA meninggal dunia setelah dianiaya sejumlah santri selama tiga hari di dalam asrama pondok.
"Selama sepekan korban menjalani perawatan di Rumah Sakit, RA tidak pernah sadar hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 18 Februari 2019. KPAI juga menyampaikan turut berdukacita mendalam kepada keluarga korban," kata Retno kepada TeropongSenayan, pada Kamis (21/2/2019).
Berkaitan dengan kasus kekerasan di satuan pendidikan tersebut, kata Retno, KPAI menyampaikan pernyataan sikap resminya.
Pertama, KPAI mengapresiasi Polres Padang Panjang yang dengan cepat memproses kasus ini, dan akan kembali menggelar rekonstruksi pemukulan anak pelaku kepada korban, guna membuktikan dominan pemukulan oleh anak pelaku tersebut selama 3 hari. KPAI akan melakukan pengawasan terhadap kepolisian.
Kedua, proses hukum yang sedang berjalan tentu saja wajib dihormati semua pihak, namun seharusnya kasus kekerasan semacam ini tidak boleh berhenti hanya di proses hukum tanpa memproses juga tanggungjawab pihak pengelola dan para guru di Ponpes tersebut.
"Apalagi, kasus kekerasan semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan pihak pengelola, Pembina asrama dan para guru terhadap para santrinya," tutur Ratna.
Dijelaskan Retno, Kementerian Agama (Kemenag) yang menjadi pembina dan pengawas pondok-pondok pesantren, seharusnya juga menurunkan inspektoratnya untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut dan memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan bila ditemukan kelalaian dan pembiaran terhadap keselamatan santri selama berada di ponpes.
"Mengingat anak berada selama 24 jam setiap harinya di satuan pendidikan tersebut," jelasnya.
Kemudian yang ketiga, kata Retno, jika pengawasan oleh pembina asrama dan para guru berjalan dengan seharusnya, maka para santri tersebut tidak mungkin dapat melakukan tindakan kekerasan tersebut selama 3 hari berturut-turut. Di kelas pun seharusnya para guru memiliki kepekaan saat melihat kondisi anak korban yang sakit karena penganiayaan, atau jika ananda korban tidak dapat masuk kelas pun, seharusnya dikontrol kondisi ke kamar asramanya.
"Artinya, jika mempelajari kronologi kasus pengeroyokan belasan santri tersebut terhadap anak korban maka pihak pengelola, pembina asrama dan para guru telah abai, tidak peka dan kemungkinan tidak melakukan control sebagaimana seharusnya sebuah sekolah berasrama," katanya.
"Kelalaian dan kelemahan control tersebut seharusnya dapat dikenai sanksi. Sanksi bisa bermacam-macam, mulai dari administrasi sampai pencabutan ijin ponpes yang bersangkutan," imbuh pengamat pendidikan itu.
Keempat, KPAI mendorong Kementerian Agama segera melakukan tindakan nyata bagi upaya-upaya pencegahan kasus-kasus kekerasan semacam ini, dengan meningkatkan pengawasan dan pembinaan pondok-pondok pesantren, serta segera menerapkan program pesantren ramah anak, yang bukan sekedar jargon tetapi diimplementasikan oleh warga ponpes.
"Hal ini mendesak, mengingat banyak kasus kekerasan terjadi dilingkungan Ponpes, mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai kekerasan seksual," terangnya.
Selain itu, ungkap Retno, beberapa kasus kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren sebenarnya pernah mencuat ke publik. Beberapa diantaranya, yaknk kasus jatuhnya seorang santri dari lantai 3 asrama, serta tewasnya 2 santri karena tenggelam di kolam yang berada di dalam lingkungan Ponpes AZ di wilayah Indramayu, kasus kekerasan seksual yang dialami satriwati oleh gurunya di salah satu Ponpes di Bandung Barat.
"Kasus kekerasan fisik yang dilakukan Bahar Smith terhadap santrinya di Ponpesnya yang berada di kabupaten Bogor, dan lain sebagainya," ungkapnya. (Alf)