Opini
Oleh M. Nigara (Wartawan Senior/Mantan Wasekjen PWI) pada hari Sabtu, 23 Feb 2019 - 11:53:26 WIB
Bagikan Berita ini :

Munajat 212, Sekali Lagi Islam Rahmatan Lil Alamin

tscom_news_photo_1550897606.jpg
Dzikir dan doa Munajat 212 di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/2/2019) malam. (Sumber foto : Ist)

KAMIS (21/2) sore hingga tengah malam, Monas, kembali jadi sorotan. Puluhan ribu dan mungkin bisa mencapai seratus ribuan, jamaah kembali berkumpul. Bermunajat pada Allah SWT agar Indonesia diselamatkan. Agar Indonesia terbebas dari kedzaliman.

Seperti aksi atau kegiatan-kegiatan 212yang diawali sejak 2016, tepatnya sejak Ahok menista surat Al-Maidah ayat 51, tidak ada kerusuhan dalam aksi itu. Bahkan ketika reuni akbar 212 tahun 2018, belasan juta umat yang terlibat (meski ada kubu yang ketakutan, lalu memberi pernyataan yang hadir tidak lebih dari 50 ribu, tentu kita tersenyum saja) tidak ada kerusuhan apa pun. Padahal, mereka menuding bahwa Islam yang ada di 212 adalah kaum radikal. Islam yang akan mengubah Pancasila menjadi khilafah. Islam yang dituding intoleran.

Faktanya, dari tiga kali aktivitas 212 yang kolosal itu (catatan, aksi 212 menjadi kegiatan berkumpulnya manusia di waktu yang sama dalam jumlah super fantastis, jutaan-belasan juta, merupakan kegiatan terbesar di dunia sepanjang sejarah), tidak menimbulkan apa pun. Tertib, bersih, dan damai.

Malah, bukan cuma umat islam saja yang hadir, umat-umat lain juga ikut menikmatinya. Bukan hanya suku Jawa yang mayoritas,urang-urangSunda, Batak, Maluku, Papua, Aceh, Kalimantan, Selawesi, bahkan saudara-saudara kita yang keturunan, juga menikmatinya. Sekedar mengingatkan, pernah ada rombongan pengantin yang terjebak kemacetan saat menuju gereja Kathedral yang letaknya berseberangan dengan Masjid Istiqlal.

Kalau aksi 212tahun 2016 itu radikal, intoleran, dan anti pancasila, anda bisa bayangkan nasib rombongan pengantin itu. Sudah beragama Katholik, maaf, rombongan pengantin juga WNI keturunan. Tapi, harapan orang-orang yang nyinyir itu tidak tercapai. Aktivis 212justru mengawalnya, menjamin acara pernikahan berjalan dengan baik. Itu saja, tidak mereka hargai, tidak mereka lihat dan tidak mereka akui. Jadi, jelaskan siapa sesungguhnya yang jahat!

Ironisnya, tidak ada juga mediamainstreamyang meliput. Padahal jika dikupas, kisah itu luar biasa dampaknya. Bukan hanyahuman interestnya sangat tinggi, tapi toleransi dan ke-Indonesiaannya juga sangat luar biasa. Kalau media-media besar cetak atau elektronik meliputnya, maka rakyat yang tidak datang (karena tidak sempat, karena beda agama, atau karena takut lantaran sebelumnya disebutkan kelompok 212 adalah radikal) akan melihat betapa Islam iturahmatan lil alamin. Islam yang tergabung dalam 212 adalah kelompok yang sangat toleran dan sangat NKRI.

Jadi, akhirnya saya maklumi mereka tidak meliput lantaran tidak ingin ada stigma yang berubah pada kelompok 212. Ya, secara logika, jika 212 itu ternyata kelompok yang toleran, maka habis sudah jualan mereka.

Terulang
Kembali ke Monas, Kamis (21/2)
malam. Sekali lagi umat Islam, sekali lagi 212, menggelar kegiatan. Tidak sebesar aksi-aksi sebelumnya, tapi tidak kurang dari 150 ribu umat datang. Tanpa woro-woro yang masif, tidak ada iklan, spanduk, atau apa pun juga, jumlah seperti itu sangat istimewa, apalagi hari kerja.

Dan yang tak kalah menariknya, para peserta juga sama seperti dulu, saling berbagi panganan, minuman, dan saling bantu transportasi. Kisah Kamis (21/2) mengingatkan saya pada aksi-aksi sebelumnya. Semua kebaikan kembali terulang.

“Kami datang dari Riau,” kata seorang bapak. “Sengaja, seperti terpanggil!” katanya lagi.
Bahkan ada emak-emak yang sudah sepuh. 82 tahun, sengaja datang dari Makassar.

Jadi, ketika ada politisi yang jidatnya hitam pekat, seolah-olah seperti orang yang menghabiskan waktunya untuk bersujud, berkata: “Di Monas tidak ada Tuhan.” Kita tertawa saja. Tuhan yang dimaksud pasti bukan Allah, karena Allah SWT ada di jantung dan hati kita orang yang beriman.

Munajat yang penuh hikmat itu adalah pengingat bagi kita bahwa hidup tidak kekal dan kekuasaan pasti ada batasnya. Pengingat bagi umat, hanya dengan bersana-sama kita bahagia. Ya,munajat dan kebersamaan itu jadi yang pertama, sementara urusan pilihan presiden ya nomer dua saja. Aamiin…(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #aksi-212  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...