Berita
Oleh Ferdiansyah pada hari Selasa, 05 Mar 2019 - 01:59:44 WIB
Bagikan Berita ini :

Pengamat ini Soroti Eksaminasi Putusan Kasus Budi Pego

tscom_news_photo_1551725984.jpg
Sejumlah orang melakukan aksi diam kamisan di Tugu Pal Putih Yogyakarta pada Kamis (22/11/2018). (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) –Eksaminasi empat pakar hukum yang dilakukan pasca terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) atas perkara pidana Heri Budiawan alias Budi Pego dinilai tidak tepat.

Penilaian salah satu eksaminator, yang menyebut MA melakukan kriminalisasi lantaran memvonis Budi Pego 4 tahun penjara, juga dianggap tidak relevan.

Apalagi, eksaminasi itu dikaitkan dengan ketentuan Pasal 66 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang disebut dapat melindungi terpidana

”Penggunaan instrumen Pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH tidak serta merta bisa disematkan kepada yang bersangkutan. Sebab, aksi protes terpidana terhadap keberadaan perusahaan (tambang emas PT Bumi Suksesindo) di Tumpang Pitu - Banyuwangi terpatahkan, lantaran – secara sebaliknya – perusahaan dapat membuktikan bahwa kegiatan pertambangannya telah melalui seluruh kaidah dan norma perlindungan lingkungan,” ujar pemerhati HAM dan hukum L. M. Djafar, di Jakarta, Senin (4/3/2019).

L. M. Djafar dimintai pendapat terkait berlangsungnya eksaminasi yang dilakukan di Fakultas Hukum - Univeritas Airlangga, Surabaya, Rabu (27/2/2019).

Mereka memberikan catatan hukum setelah, pada 16 Oktober 2018, MA memperberat vonis hukum terhadap Budi Pego menjadi 4 tahun penjara.

Pria asal Banyuwangi tersebut dihukum dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran komunisme lewat media spanduk.

Ia dijerat dengan Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Karena tuduhan tersebut, Budi sebelumnya telah menjalani hukuman selama 10 bulan pasca terbitnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur.

Namun, karena tak terima dengan putusan PN dan PT, Budi Pego dan tim kuasa hukumnya mengajukan kasasi di MA.

Namun, dalam perjalanannya, hakim MA malah menaikkan hukumannya menjadi 4 tahun.

Cuma, hingga saat ini, Budi dan tim kuasa hukum belum menerima salinan putusan tersebut.

L. M. Djafar juga tak sependapat terhadap penilaian Joko Ismono, salah satu eksaminator, yang menduga ada tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam kasus Budi Pego.

Joko beralasan, berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk memeriksa apakah judex facti (PN dan PT) melampaui kewenangan, atau salah dalam menerapkan uji materil dan formilnya.

Menurut L. M. Djafar asas umum MA adalah sebagai judex juris, yakni pengadilan yang memeriksa tentang hukum suatu perkara.

Namun demikian, atas jabatan dan wewenang yang ada padanya sebagai kekuasaan tertinggi kehakiman yang bertindak mengawasi tegaknya hukum dan keadilan, MA dapat menilai putusan pengadilan di tingkat kasasi atas ”alasan sendiri”.

”Jika menganggap perlu, MA dapat menyingkirkan memori kasasi dan langsung menilai serta memutus atas alasan sendiri. Penyingkiran memori kasasi bisa terjadi, apabila semua keberatan kasasi yang diajukan, satu pun tidak ada yang mengenai sasaran makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP,” urai L. M. Djafar.

Sementara itu, berkaitan dengan pemeriksaan materiil (saksi, terdakwa, atau penuntut umum), menurut ketentuan Pasal 253 ayat (3) KUHAP, MA diperkenankan memanggil dan memeriksa mereka.

”Karena itu, terkait pendapat yang mempertanyakan dasar hukum MA memeriksa aspek materiil, dapat terjawab dengan ketentuan pasal tersebut,” imbuhmya.

L. M. Djafar menambahkan, dirinya sengaja tidak masuk ke pertimbangan hukum PN dan PT, karena ia menduga MA telah ”mengadili sendiri”, lantaran merasa pertimbangan PN dan PT tidak tepat sasaran. Sebagaimana Budi Pego dan tim kuasa hukumnya, L. M. Djafar pun belum bisa mengakses putusan MA.

Karena itu, ia tidak tahu apa pertimbangan majelis hakim MA hingga memvonis putusan 4 tahun.

”Cuma, kalau melihat perbedaan vonis hukuman yang cukup jauh, dari 10 bulan menjadi 4 tahun, bisa jadi ada hal cukup mendasar yang menjadi pertimbangan hakim yang baik kita tunggu agar dapat kita kaji dan eksplorasi,” tegasnya. (Alf)

tag: #mahkamah-agung  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement