JAKARTA, (TEROPONGSENAYAN)--Analis politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menilai, kehadiran calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan milenial menunjukkan membaiknya tingkat partisipasi politik. Hanya saja, mereka masih mencari penghidupan di panggung politik, belum masuk ke tahap perjuangan.
Menurut Dedi, kehadiran caleg milenial Kurnia membawa dampak domino dilematis. Sebab, kehadiran politisi millenial dinilai berpotensi menjadikan politik sebagai ajang sumber penghidupan.
"Satu sisi kita patut apresiasi banyaknya kalangan muda terjun ke ruang politik praktis, ini penanda adanya optimisme milenial atas politik Indonesia. Sisi buramnya, politik hanya dijadikan ajang mencari penghidupan, bukan perjuangan, ciri kedua ini dapat kita ketahui dari minimnya pengetahuan politik di kalangan caleg millenial" ujar Dedi, kepada teropongsenayan, Senin (11/3/2019).
Dedi juga mengungkapkan keraguannya terhadap politisi muda sekaligus pemula. Hal itu terbaca dari konten publisitas yang menurutnya sangat ambigu.
"Tidak sedikit konten publisitas (kampanye) politisi muda yang ambigu, bahkan cenderung menjanjikan yang seharusnya menjadi wilayah eksekutif, bukan legislatif. Tentu ini karena keterbatasan pengetahuan," ungkapnya.
Bahkan lebih jauh, Dedi menghawatirkan jika menjadi politisi di usia muda, hanya dijadikan sebagai prestis identitas.
"Tidak menutup kemungkinan menjadi politisi hanya sebatas prestis, jika ini yang terjadi maka akan lahir politisi ahistoris, dimana politisi muda ini terpilih, lalu tidak mengerti cara kerja politik, alih-alih memperjuangkan janji, cara kerjanya saja tidak tahu," tukasnya.
Meskipun, terang Dedi, ia memahami bahwa hadirnya politisi muda di Pemilu 2019 ini tidak lebih sekadar konsekuensi dari demokrasi elektoral semata.
"Tentu ini konsekuensi demokrasi elektoral, di mana keterpilihan seseorang tidak bergantung seberapa pintar, tetapi dilihat dari banyaknya suara yang ia dapat, sementara meraih suara tentu tidak harus pintar," pungkasnya. (plt)