Opini
Oleh Edy Mulyadi (Wartawan senior) pada hari Kamis, 21 Mar 2019 - 11:29:12 WIB
Bagikan Berita ini :

Ngawurisasi Survei dan Koruf yang Tak Dikehendaki

tscom_news_photo_1553142552.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

Jika saya yang sudah tua dan punya wajah biasa-biasa saja, di media sosial menulis, “Saya masih muda dan ganteng” artinya saya telah bohong. Berdosa. Untuk memperkuat kalimat tadi di akun facebook saya memasang foto cowok muda, atletis, dan ganteng (kaya raya pula) yang saya akui sebagai saya, maka perbuatan ini disebut menipu. Dosa juga.

Berbohong itu dosa. Menipu juga dosa. Tapi, kalau melihat effortyang dilakukan untuk kedua perilaku tersebut, rasanya dosa menipu lebih besar ketimbang berbohong.

Tapi, ada dosa lain yang lebih besar. Statistik. Berbohong dengan menggunakan atau mengutak-atik angka-angka statistik adalah dosa besar. Bayangkan, bagaimana keblingernya sebuah kebijakan impor beras, misalnya, jika didasarkan pada angka-angka statistik yang dimanipulasi. Dampaknya, petani yang jumlahnya jutaan bahkan mungkin belasan atau puluhan juta akan dirugikan.

Tahukah anda, ada dosa lain yang tidak kalah gawatnya. Hari-hari ini tengah banjir rilis beragam survei seputar Pilpres. Ada belasan lembaga yang mencari uang dengan cara ini. Dan, mohon maaf, sebagian besar tidak kredibel. Penyebabnya, mereka penyelenggara survei pesanan Paslon dan atau bala-kurawanya yang berkontestasi pada ajang Pilpres.

Bagaimana mereka bisa disebut kredibel, kalau rilis hasil surveinya melenceng jauh? Padahal, mestinya, survei adalah proses intelektual didasarkan pada teori ilmiah statistik. Hasilnya terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Tentu saja, sebagai manusia yang tak luput dari salah dan keliru, mereka cantumkan margin of error,biasanya berkisar 2-3%.

Sayangnya, ya itu tadi, angka-angka statistik mereka kutak-katik seenak udelnya sendiri. Mau lihat contohnya? Di Pilkada Jateng perolehan suara Sudirman Said-Ida adalah 41,22%. Tapi di tangan para intelektual yang melacurkan diri demi sesuap nasi, segenggam berlian, beberapa unit ruko dan apartemen, dan seterusnya dan lainnya itu, angka-angkanya dipasang sebagai berikut:

LSI Denny JA = 13% (error 217%), Charta Politica = 13,6 (error 203%), dan Litbang Kompas= 15% (error 174%). Berikutnya, lembaga survei Indikator = 21% (error 76%) serta Indo Barometer dan SMRC masing-masing 21 (error 75 %) dan 22,6% (error 82%).

Dengan error yang ratusan persen, masih layakkah disebut margin of error? Jelas itu adalah kengawuran yang luar biasa. Kalau sudah begini, tujuan (mulia) survei yang sejatinya untuk memetakan kondisi (mendekati) sebenarnya di lapangan jadi terbang entah ke mana.

Ngawur luar biasa

Ngawurisasi lembaga survei sebelumnya juga terjadi pada Pilkada DKI 2017. Dua hari sebelum kampanye berakhir, rilis hasil survei SMRC menyebutkan elektabilitas Ahok-Djarot sebesar 46,9%. Untuk pasangan Anies Baswedan-Sandiaga, Saiful cs memberi angka 47,9%. Hanya selisih 1% dengan margin of error4,7%.

Lewat angka-angka ini SMRC ingin mengatakan kemungkinan besar Ahok-Djarot bakal memenangi Pilkada. Apalagi, kita tahu waktu itu tren keduanya terus menanjak. Sebaliknya Anies-Sandi justru cenderung turun. Biasanya, menjelang hari H pencoblosan, pasangan yang tren elektabilitasnya melorot bakal kian terjun, begitu pun sebaliknya.

Charta Politica yang dikomandani Yunarto Wijaya malah lebih seru lagi. Saat hari terakhir kampanye Charta menyebut Ahok-Djarot akan unggul dengan angka 49%. Sedangkan Anies-Sandi 47,1%. Suara Anies-Sandi stagnan. Ahok-Djarot merangkak naik.

Akrobatik angka-angka survei tadi ternyata ngawur luar biasa. Hasilnya jungkir-balik. Anies-Sandi menang mutlak dengan 57,96%. Sedangkan juragan yang mereka gadang-gadang nyungsep di 42,04%. Selisih suaranya tidak tanggung-tanggung, 15,92%. Bahkan jika semua suara tidak menjawab 7,9%, dan margin of erroryang 3,5% dihadiahkan ke Ahok-Djarot pun, hasilnya tetap jauh dari angka yang rilis.

Pada titik ini, fungsi lembaga survei dan hasil survei mereka sudah berubah. Sedikitnya bisa disebut ada empat tujuan rilis survei yang mereka lakukan. Pertama, menggiring opini publik bahwa pihak yang membayari mereka memang dikehendaki rakyat. Kedua, menyenangkan dan memberi keyakinan kepada si pembayar. Dengan demikian, fulus tetap dan terus mengalir ke pundi-pundi mereka dengan mulus. Ketiga, menjatuhkan mental kubu lawan. Keempat, menjustifikasi kecurangan yang (pasti?) bakal terjadi.

Kalau benar (dan memang begitu?) para lembaga itu merisilis hasil survei mereka dengan empat motivasi tersebut, tidak bisa tidak, sejatinya mereka adalah para pelacur. Bedanya, jika pelacur perempuan konsumennya adalah para lelaki hidung belang. Korbannya, keluarga (anak, istri) si lelaki nakal. Tapi yang jadi korban para pelacur intelektual ini adalah rakyat Indonesia yang berjumlah 260an juta jiwa. Jahat sekali! Dan, itu artinya, mereka adalah para penjahat!

Hari ini, Rabu (20/03), harian Kompasmerilis hasil surveinya. Koran ini menyebut elektabilitas pasangan Joko-Ma’ruf (Koruf) sebesar 49,2%, Prabowo-Sandi 37,4 dan 13,4% menyatakan masih rahasia. Dibandingkan enam bulan silam (Oktober 2018), posisi Koruf masih di angka 52,6%, Prabowo-Sandi 32,7%, dan rahasia 14,7%.

Pertanyaannya, apakah hasil survei Kompasmasuk dalam jajaran para pelacur jahat tadi? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Maklum, harian ini kadung dianggap punya reputasi dan kredibilitas. Maksud saya, sebelum Kompasmenjadi bagian dari gerombolan media yang tidak menurunkan berita peristiwa superbesar, Reuni Mujahid 212 Desember silam. Pasca peristiwa Reuni Mujahid 212, saya menganggap reputasi dan kredibilitas harian yang sering diplesetkan sebagai Komando Pasturini sudah masuk ke comberan.

Tapi, yang pasti, Kompaspun jadi bagian dari ngawurisasi pada Pilkada di Jateng. Ditambah gosip yang beredar, rilis resmi survei Kompasitu bukanlah hasil yang sesungguhnya. Konon, angka-angka yang keluar sudah hasil kutak-katik yang penuh kompromistis. Wallahu a’lam.

Terlepas dari yang angka sebenarnya, hasil survei Kompasmengkonfirmasi adanya kegawatan di kubu Koruf. Kalau petahana dapat di bawah 50%, ini artinya ada lebih dari setengah pemilih sudah tidak menghendaki si penguasa. Rakyat tahu, paham, dan merasakan secara langsung sebagai korban kegagalan Widodo sebagai presiden. Artinya, lebih dari setengah rakyat Indonesia tidak menghendaki Widodo yang oleh pendukungnya di Jatim diigelari dengan Cak Jancuk jadi Presiden lagi.

Untuk bisa disebut aman elektabilitas calon petahana harus mengantongi sekurangnya 60%. Tapi, survei Kompasmenyebut di bawah 50%. Sudah barang tentu ini membuat kubu penguasa dilanda panik luar biasa. Bayangkan, Jancuk bisa dikatakan sudah berkampanye sejak hari pertama diangkat sebagai Presiden. Dia menguasai dan memilliki akses segala sumber daya; baik personel, sumber daya keuangan, juga kekuasaan. Dengan privilegesuperdahsyat seperti itu, kok ya elektabilitas tetap saja di bawah 50%?

Sampai di sini, semestinya Koruf menyadari, bahwa rakyat memang ingin Presiden baru. Rakyat sudah lelah dengan segala kebohongan dan pencitraan yang hampir selama empat tahun fullterus dipompakan ke seantero negeri publik. Satu kalimat pendek, Cak Jancuk telah gagal!

Di sisi lain, fakta selalu berlimpah-ruah dan betapa sangat antusiasnya rakyat pada setiap kedatangan Prabowo dan atau Sandi, jelas mengkonfirmasi rakyat emoh terhadap Widodo. Sebaliknya, selalu sepi bahkan sering bubarnya warga yang hadir di acara-acara Koruf, makin menguatkan kian dekatnya bayang-bayang kekalahan mereka.

Buat para balakurawa penguasa, terutama para aparat dan birokrat, berhentilah berpihak. Laksanakan tugas kalian sebagaimana seharusnya. Lagi pula, kapal Koruf yang kalian bela mati-matian dengan melabrak seabrek ketentuan dan perundangan, sebentar lagi bakal tenggelam. Artinya, sebagai aparat dan birokrat, kalian bakal punya komandan baru.

Terbayangkah oleh kalian, apa yang bakal terjadi setelah ini semua? Katakanlah, Prabowo-Sandi akan memaafkan semua perilaku culas dan curang kalian saat membela Petahana. Tapi, masih bisakah nurani kalian mengabaikan semua ini? Maksud saya, itu pun kalau kalian masih punya nurani…

Jakarta, 20 Maret 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...