Opini
Oleh Miftah H. Yusufpati (Wartawan Senior) pada hari Sabtu, 23 Mar 2019 - 16:54:57 WIB
Bagikan Berita ini :

Elektabilitas Jokowi di Ujung Tanduk KPK

tscom_news_photo_1553334897.jpg
Rommy, Jokowi dan Plt Ketum PPP Suharso Monarfa. (Sumber foto : Ist)

GEMPA sedang melanda jagat Nahdhatul Ulama (NU). Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Muhammad Romahurmuziy atau Rommy, bakal berbuntut panjang dan melibatkan orang-orang terpandang di tubuh ormas Islam terbesar di dunia ini. Tak hanya itu, elektabilitas Joko Widodo sebagai calon presiden diperkirakan bakal longsor akibat kasus itu.

Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mulai bernyanyi dengan nada sumbang. Dia menyeret Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dalam pusaran korupsi jual beli jabatan.

Agar bisa runut mari kita kupas satu-satu, siapa orang-orang penting tersebut. Rommy adalah kader NU tulen. Tak ada yang meragukan itu. Dia putra Prof. Dr. K.H. M. Tochah Mansoer, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Rommy juga cicit pendiri NU Abdul Wahab Hasbullah. Tokoh inilah yang akan membawa kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama bakal menanduk ke mana-mana.

Di luar dirinya dan Khofifah, pedang KPK juga sudah diarahkan kepada Menteri Agama, Lukman Hakim Syaefuddin, dalam kasus yang sama dan Menteri Olah Raga, Imam Nahrawi, dalam kasus yang berbeda. Lukman dan Imam juga kader NU. Keduanya menteri pilihan Jokowi. Dan mereka tentu saja pendukung petahana dalam pilpres tahun ini.

Lalu ada juga nama lain dalam kasus Rommy yakni Haris Hasanuddin dan Kiai Asep Saifudin Halim. Keterlibatan keduanya disebut Rommy saat mengaku meneruskan aspirasi soal kelayakan Haris, yang mengikuti seleksi sebagai Kakanwil Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur.

"Apa yang saya teruskan bukan main-main. Contoh, Haris memang dari awal menerima aspirasi dari ulama seorang Kiai Asep Saifudin Halim adalah pimpinan pondok pesantren dan kemudian Bu Khofifah, beliau gubernur terpilih, jelas mengatakan, "Mas Rommy, percayalah dengan Haris karena orang kerja bagus." Sebagai gubernur terpilih, beliau mengatakan kalau Mas Haris sudah kenal kinerjanya sehingga ke depan sinergi dengan Pemprov akan lebih baik," ungkap Rommy.

Tentang Khofifah, siapa yang tak kenal. Ia adalah politisi kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 19 Mei 1965. Perempuan ini aktif di organisasi Muslimat, organisasi sayap perempuan NU. Dia memimpin Muslimat periode 2000-2005. Dia juga kader PPP sekaligus PKB.

Radar KPK kini mengarah ke pendopo gubernur Jatim. Bukan mustahil, Gubernur Jawa Timur yang baru menjabat sejak 13 Februari 2019 ini terseret kasus Rommy juga.

Selanjutnya, KPK juga telah menyita uang senilai US$30 ribu dan Rp180 juta rupiah dari kantor Kemenag, Jakarta, 18 Maret lalu. Menteri Lukman berkilah duit itu merupakan uang miliknya yang bersumber dari honor sebagai pembicara. Namun KPK memastikan itu bukan uang honorer.

Betul, memang ada uang lain yang tidak di sita karena duit itu diyakini KPK sebagai uang hononer. Lagi pula jika benar itu uang hasil ceramah, mestinya dilaporkan. Lebih dari itu, KPK juga menyita bukti lain selain duit. Bukti itu antara lain sejumlah dokumen, laptop, dan lainnya yang diduga terkait dengan pokok perkara.

Lukman Hakim Saifuddin rasa-rasanya akan sulit mengelak. Pedang KPK sudah menempel di leher politisi yang mulai menjabat Menag pada 9 Juni 2014 itu. Lukman menggantikan Suryadharma Ali. Surya sendiri sudah mendahului masuk terungku lantaran korupsi proyek haji dan Dana Abadi Umat. Pengadilan memvonis Surya 10 tahun penjara.

Lukman jelas kader NU. Pada tahun 1988-1999 ia berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris.

Kasus lain yang kini sedang mengapung dan melibatkan kader NU adalah kasus suap hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) 2018. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, ditengarai menerima duit Rp1,5 miliar dalam kasus korupsi ini.

Jaksa KPK yang mengungkap keterlibatan Menteri Imam. Sang Jaksa membeberkan daftar pembagian dana hibah yang sejumlah total Rp3,4 miliar. Daftar para penikmat itu dibuat Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy. Nama Imam ada di deretan nomor satu dalam daftar.

Kasus ini bermula dari penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap.

Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo dan Staf Kementerian Kemenpora Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.

Seperti Lukman, Imam juga menolak tuduhan sebagai penikmat suap. "Saya pastikan saya tidak terlibat," ujarnya, seperti dikutip banyak media pada Jumat, 22 Maret 2019.

Nama dengan titel lengkap Imam adakah Dr. H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. Pria ini sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal DPP PKB. Saat mahasiswa, lelaki kelahiran Bangkalan, 8 Juli 1973, ini aktif sebagai bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Kasus-kasus yang melibatkan orang-orang Jokowi ini menjadi sensitif karena ditangani KPK pada saat menjelang pemilu. Pedang KPK seakan-akan sengaja diasah untuk menghabisi para pendukung petahan. Banyak pihak menduga akibat deretan kasus korupsi itu, elektabilitas Jokowi bakal remuk. Jokowi dianggap tidak becus membimbing aparatnya ke jalan yang benar.

Di pihak lain, para kiai NU jelas bersedih. Bagaimana pun mereka adalah kader NU. Mungkin saja para kiai itu tidak peduli longsornya elektabilitas Jokowi, karena memang tak semua mereka mendukung sang petahana. Namun mereka merasa kena getahnya akibat tindakan tak terpuji para kadernya itu.

Mereka patut bersedih karena NU sudah amat keras melawan korupsi. Ormas Islam terbesar ini bahkan sudah mengeluarkan fatwa tentang masalah korupsi. Korupsi adalah kejahatan berat. Hukum bagi koruptor, menurut NU, adalah potong tangan sampai hukuman mati. Fatwa ini dikeluarkan dalam Mubes NU pada 2012. Nyatanya, fatwa ini tidak digubris, bahkan oleh kadernya sendiri.

Rommy terkesan tidak peduli. Omonganya pun sudah mulai ngawur. Lebih jauh lagi, ia seakan tidak sudi menanggung kasus ini seorang diri. Karib Jokowi ini cenderung ingin menarik sebanyak-banyaknya teman. Maka bersiap-siaplah menyusul.

Tak ada kesan rasa sesal pada wajah Rommy. Boleh jadi politikus ini berpendirian seperti Thomas Hobbes. Menurut pemikir realis ini, hakikat dasar dari diri manusia salah satunya adalah homo hominilupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Sehingga tidak ada jalan lain, memakan atau dimakan, menipu atau ditipu, menindas atau ditindas. (mhy@journalist.com)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #ppp  #jokowi  #pbnu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...