JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Peneliti Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menyayangkan banyaknya masalah dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.
Dedi menilai, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibawah komando Arief Budiman kali ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia.
Menurutnya, jajaran KPU tak bisa tutup mata terhadap kecurangan yang terjadi. Apalagi jika melihat banyaknya laporan kecurangan yang terjadi selama proses pemungutan suara.
"Setidaknya sepanjang 12 kali Pemilu, tidak ada yang lebih buruk dari penyelenggaraan kali ini. Selain persoalan administratif hingga kualitas logistik pemilihan, masifnya laporan kecurangan semakin menguatkan argumen bahwa KPU kali ini berkinerja buruk," kata Dedi, kepada TeropongSenayan,ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Kamis, (18/4/2019).
Melihat kondisi tersebut, doktor diplomasi politik dan kajian media ini mengaku khawatir legitimasi hasil Pemilu Serentak 2019 dipertanyakan publik.
"Setiap kemungkinan selalu ada, termasuk resiko delegitimasi hasil Pemilu jika kecurangan sekecil apapun tidak segera direspon oleh pihak berwenang. Pemilu seharusnya tidak saja menjadi ajang pergantian kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana pembangunan demokrasi yang lebih baik. Untuk itu Pemilu mestinya tidak boleh tercederai dengan kecurangan apapun," papar Dedi.
Ketika disinggung soal hasil hitung cepat perolehan suara Pilpres 2019yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga survei, Dedi menilai, bahwa hal itu tidak dapat dijadikan rujukan utama.
"Hitung cepat dari lembaga bereputasi boleh kita percaya, meskipun tidak bisa dijadikan rujukan utama, ia hanya menggambarkan sesuai sample yang digunakan," jelas Dedi.
"Tetapi yang menjadi persoalan, apabila hasil hitung cepat itu dimanipulasi, atau ada kesengajaan memilih karakter wilayah yang memang sudah menjadi basis pemilih kubu tertentu. Itulah sebabnya, selalu ada sisi gelap hitung cepat. Hal terbaik adalah dengan menghitung konvensional dari TPS ke TPS," tutup Dedi. (Alf)