Opini
Oleh Prio Djatmiko pada hari Sabtu, 20 Apr 2019 - 01:39:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Saya, Sains! Anda, Tidak!

tscom_news_photo_1555699171.png
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

Apakah saya golput? Kali ini tidak, tidak seperti sebelumnya. Tapi apakah itu membuat saya tidak berhak menulis ini? Silahkan kalau ada yang menuduh tidak objektif hanya karena saya memilih. Kalau berani, tulis di komentar.

Saya sebetulnya tak terlalu semangat soal pemilu. Sudah diniati sebelum pemilihan tak akan membuat status apa-apa, apapun hasilnya. Cuma semangat terpantik kalau melihat orang salah tapi menyombong. Dalam hal ini saya melihat ada olok-olok orang lain bodoh, terbelakang dan anti sains, karena tidak mau langsung menerima hasil QC yang kelihatannya ijmak pada satu hasil. Sebetulnya yang mengolok-olok orang anti sains paham sains tidak? Paham statistik tidak hanya di permukaan? Terpaksa saya bilang ini (dengan rasa malu karena di friendlist ada beberapa orang yang lebih pintar dari saya): Saya S2 mengambil statistik 5 mata kuliah, 18 credits. Konon pengajarnya salah satu yang terbaik di bidang statistik di negerinya.Tidak berarti saya ahli, tidak bermaksud ad-hominem juga, tapi saya melihat banyak orang yang terlalu dangkal.

Statistik sebagai salah satu metode sains yang diakui, tidak berarti setiap orang berstatistik pasti benar. Ada faktor metodologi dan ada faktor kejujuran. Prosedur berarti, memastikan randomitas, representasi, terutama untuk menghindari kesalahan ketika populasi yang hendak diukur tidak homogen. Sampai di sini statistik bisa dipertanggungjawabkan. KPU memeriksa prosedur/metodologi agar satu lembaga survey bisa diakui. Sampai di situ langkah KPU sudah benar. Bagaimana prosedur itu dipenuhi di lapangan? Ini faktor ketelitian, ketaatan prosedur sampai kejujuran. Apakah mungkin pelaku statistik tidak jujur atau ceroboh? Mungkin. Bagaimana cara memeriksanya? Dari audit, tidak dimungkinkan saat ini, karena dianggap rahasia komersial perusahaan. Cara lain? Dengan komparasi lembaga survey lain. Kita gunakan dengan perhitungan ala failure modes atau event tree. Jika kemungkinan kecerobohan atau ketidakjujuran pelaku tunggal adalah, katakanlah, 0,4, ketika pelaku survey menjadi dua dan hasilnya sama, kemungkinan kesepakatan keduanya untuk curang atau kemungkinan sama-sama ceroboh yang menghasilkan hasil yang sama menjadi 0,4x0,4 =0,16 artinya kemungkinan benarnya meningkat tajam menjadi 0,84. Bagaimana kalau tujuh, delapan surveyor sekaligus? Tentu kemungkinan ceroboh atau tidak jujurnya menjadi sangat rendah. Artinya sama seperti hadits semakin banyak periwayat meriwayatkan hasil yang sama, kemungkinan benarnya menjadi sangat tinggi. Sampai di sini, tidak ada masalah pada argumen ini. Yang dilupakan adalah dalam failure mode itu rumus itu berlaku dengan syarat event yang bersifat independen satu sama lain, tidak ada kausalitas, tidak ada confounding, dalam kasus survey-survey ini: tidak ada kemungkinan mereka bekerjasama. Apakah mereka benar-benar bersifat independen satu sama lain? Di sini kemungkinan masuk, secara teori. Kerjasama masih mungkin, karena kesamaan kepentingan atau kesamaan yang membayar. Looks like theory conspiracy? Iya. Tapi secara kemungkinan tetap mungkin. Bukankah reputasi dalam sejarahnya QC tidak pernah melenceng? Saya tidak denial itu. Hanya itu bukan bukti orang tidak salah di kemudian hari dia tidak akan pernah salah. Ketika kita memberikan cek kosong orang bisa mengklaim hasil kegiatannya benar tanpa diuji, ketika itulah sains rusak. Ingat teori null hypothesis kan? Karena null hypothesisnya ada konspirasi, bukti untuk menolak null hypothesis bukan kecocokan dengan hasil real count akhir versi KPU. Suka tidak suka.

Kedua, di penelitian sains, penting seorang researcher mengumumkan sumber dana sponsornya. Mau saintifik kan? Ya itu prosedurnya, jangan dilupakan. Di dunia sains beneran, setela seorang researcher mengumumkan sumber dananya, pembaca boleh percaya boleh tidak. Boleh tidak percaya tanpa perlu membuktikan apa-apa, itu sah, sangat sah. Coba prosedur ini dipatuhi atau tidak? Tidak kan. Anda membela nalar sains? Koq lupa soal itu?

Ketiga, apakah tega menyatakan ada kemungkinan curang? Ini bukan soal tega tidak tega. Bahkan bukan soal saya percaya atau tidak percaya pada hasil-hasil itu. Katanya saintifik. Pada teori failure mode, kita mengasumsikan secara rasional seberapa besar probability fail (misal dalam contoh saya di atas angkanya 0,4). Poinnya adalah, prosedur, sisakan ruang skeptis, kemungkinan selama tidak mustahil, harus diuji. Kenapa saya bilang kemungkinan ada? Kenapa null hypothesis teori konspirasi boleh diajukan? Come on. Kita hidup di Indonesia. Supaya tidak baper, as you wish taruhlah saya bisa percaya jokowi sang petahana. Orang baik. Orang jujur. Orang sederhana. Tapi apakah saya percaya partai-partai di belakangnya tidak curang? Please, jangan menipu diri. Ini big money. Big power. Saya mungkin tidak akan melihat separah itu akan ada konspirasi. Tapi saya tidak bisa meniadakan hipotesis itu serta sangat melihat wajar orang punya pikiran itu. Kalau mau saintifik kita harus membuat dan melaksanakan mitigasi untuk melawan kemungkinan itu supaya tidak punya peluang, bukan intimidasi intelektual.

Keempat, ketika ada hasil research yang mengklaim berbeda dengan kebanyakan apakah dia langsung dinyatakan salah karena minoritas? Dinyatakan salah karena sumber internal? Tidak bisa, apalagi kalau isu kepentingan pada semua survey tidak mustahil. Lalu jalan keluarnya apa? Sesuatu dikatakan sains itu kalau ia mampu direplikasi atau diduplikasi, dalam hal ini adalah mampu telusur. Artinya? Artinya kalau serius dengan sains, uji semuanya. Artinya bersabar, sama-sama jangan memproduksi propaganda. Prosedur ini mesti kita ikuti dengan sabar.

Kelima, ada problem etis dari pengumuman QC. Dan ini sayangnya dibiarkan oleh pengambil kebijakan di institusi negara. Pertama, proses perhitungan belum selesai. Kedua, ada daerah yang bahkan belum melakukan pemungutan suara. Kenapa ini dibiarkan dari tahun ke tahun? Ini lahan buat surveyor atau buat kepentingan demokrasi? Saya berkeyakinan dengan semakin meratanya, besar kapasitas dan cepatnya teknologi, dan semakin berkembangnya aplikasi yang bisa mengupload lembar C1, surveyor ini tidak diperlukan. Kalau tidak diperlukan ya perlu dikaji dengan serius, apa harus dilakukan terus seolah itu pakem yang tidak bisa diubah?

Keenam, apakah salah seorang prabowo menyatakan tidak langsung percaya/menerima hasil QC? Terlepas apakah saya memprediksi dia nanti ternyata benar atau tidak, hak dia itu sangat penting untuk diakui demi sehatnya demokrasi. Kontestasi demokrasi yang bagus salah satu indikatornya adalah keterlibatan aktif masyarakat untuk menjadi subjek. Salah satunya menjadi relawan, menjadi saksi. Mereka ini sedang bekerja, belum selesai. Jangan membuat falasi relijius soal tidak menerima takdir sebab ini masih wilayah ikhtiyar, sekecil apapun peluangnya ini belum takdir.

Ketujuh, saya serius mengenai pemahaman sains dan keadilan dalam proses demokrasi. Soal siapa yang akhirnya menang, itu sekunder. Semoga tak harus mengulang-ulang ini terus menerus.

Kedelapan, saya akan mengambil langkah yang berbeda andaikan saya prabowo. Salah satu yang cepat adalah menguji cukup pada wilayah jateng dan jatim saja dengan C1-C1 yang katanya dikumpulkan dengan jumlah cukup. Tapi jika ini tidak terpikir oleh timnya dia, saya tetap harus mengakui hak dia untuk menentukan langkah sepanjang tidak jelas-jelas salah, misal, menggunakan kekerasan atau intimidasi. Hal-hal lain, masih dalam konteks kontestasi demokrasi, saling memberikan psywar. Media juga menjadi alat psywar, pakar narasumber juga. Berlebihan soal hacker? Ada sisi berlebihan, tapi jangan dilupakan fakta hacking memang ada. Kesalahan ada di kedua pihak. Kesalahan melakukan tindak hack atau cyber attack jelas lebih berat substansinya daripada kesalahan mis-informasi soal apakah KPU benar diserang hack atau tidak atau kalau KPU memang diserang hack itu wajar belaka sehingga tak perlu membuat tagar-tagar yang mubazir dan kelihatan lucu, tapi saya tak patut mentertawakan. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Luhut Ancam Pengkritik, Yaman Rudal Israel

Oleh Faizal Assegaf
pada hari Sabtu, 16 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Judul di atas menegaskan perbedaan kelas. Pasukan Yaman bukan sebatas mengancam, tapi mereka sudah mengusir dan menembak kapal milik Amerika, Inggris dan Israel. Tapi ...
Opini

Rektor Mengelak Alumni ITB Bergerak

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dua kelompok Alumni mempertanyakan keterlibatan ITB dalam Sirekap KPU yang ternyata menimbulkan masalah. Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) Pemilu merupakan platform ...