JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Direktur Eksekutif Government dan Political Studies (GPS) Gde Siriana menilai penyelenggaraan pemilu 2019 sangat ironis.
Sebab, katanya, ketika partisipasi rakyat memilih meningkat dibanding pemilu-pemilu sebelumnya justru rakyat dihianati dengan kecurangan-kecurangan.
"Bayangkan, emak-emak dan rakyat kecil yang sudah berpartisipasi dalam pemilu sejak 6 bulan lalu jadi relawan tak dibayar, yang berharap Capres nya akan menang melalui proses pemilu yang adil dan jujur ternyata hanya menjadi korban dari pemilu yang curang. Saya kira banyak relawan-relawan dari kedua kubu yang juga ingin jagoannya menang dengan cara-cara jujur dan adil," kata Gde Siriana, Sabtu (20/4/2019).
Ia melanjutkan kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pemilu 2019 agar dikumpulkan masyarakat. Menurutnya, kecurangan pemilu yang dikumpulkan oleh masyarakat merupakan bentuk partisipasi rakyat dalam pemilu bukan hanya di hari pencoblosannya saja, tetapi sejak kampanye sampai pengawasan penghitungan suara real count KPU.
"Selanjutnya akan bisa dilihat apakah kecurangan-kecurangan pemilu terjadi secara TSM, Terstruktur Sistematis dan Masif," ujar Gde.
Untuk itu kecurangan dalam pemilu harus dilawan sekarang juga oleh siapapun yang ingin menegakkan demokrasi. Jika tidak maka akan meninggalkan trauma di masyarakat, bahwa kecurangan akan dilindungi oleh kekuasaan, akan terjadi lagi di pemilu-pemilu selanjutnya.
"Masyarakat tidak percaya lagi dengan pemilu jurdil dan demokrasi akan ditentukan oleh para pemilik uang, lembaga survey dan media TV," katanya.
Ia menambahkan jika temuan masyarakat atas kecurangan pemilu semakin banyak sementara KPU gagal memberi klarifikasi maka ini akan mendorong lahirnya aksi-aksi di masyarakat untuk menolak hasil pemilu untuk selamatkan demokrasi.
"Saya kira tuntutan masyarakat sekarang sudah bukan lagi soal menang atau angka-angka, tetapi lebih kepada pembuktian apakah pemilu telah berjalan jujur dan adil, baik sebelum hari H, hari pencoblosan, sampai pengitungan suara di TPS maupun KPU," ungkapnya.
"Ini berbahaya, karena selain sulit mengkonsolidasikan potensi-potensi membangun negara 5 tahun ke depan, juga pemerintahannya cenderung represif untuk menutupi legitimasi yang rendah," tambah Gde. (Bara)