Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate) pada hari Senin, 14 Okt 2019 - 15:31:43 WIB
Bagikan Berita ini :

Jokowi di Negara Hukum Compang-Camping

tscom_news_photo_1571041903.jpg
Dr. Margarito Kamis (Sumber foto : Ist)

Pak Jokowi telah menulis jejak kepresidenannya dalam memimpin pelaksanaan UUD, UU dan Peraturan. Sebentar lagi Pak Jokowi akan kembali menulis jejak baru dalam memimpin pelaksanaan UUD, UU dan Peraturan. Pak Jokowi akan menulisnya disepanjang garis pemerintahannya lima tahun yang akan datang.
Semua yang telah ditulisnya sepanjang hampir lima tahun ini tersaji begitu telanjang. Semuanya dapat dilihat, dinilai, juga dapat diberi warna setegas dan sejelas yang mungkin. Bagaimana Pak Jokowi melihat dan menilai, bila mungkin, semua pelaksanan hukum yang telah ditulisnya sendiri, itu satu perkara. Itu perkara Pak Jokowi sendiri.

Pentingkah Pak Jokowi mengetahui, menilai dan menimbang semua yang telah ditulis itu? Mungkin ya. Apakah penilaian itu membawa dirinya menyangkal kenyataan yang menyajikan pada level yang cukup terang, bahwa tampilan pelaksanaan hukum selama hampir satu periode cukup buruk, sejauh ini? Pak Jokowi bisa menyanggahnya.

Andai Pak Jokowi menyanggah kenyataan saat ini, Pak Jokowi berpapasan dalam penilaian yang berbeda begitu dalam antara dirinya dengan rakyat. Jelas tidak memungkinkan keduanya bertemu pada titik yang sama. Pak Jokowi, dengan demikiantidak mungkin diminta mengambil langkah manis mengubah, mewarnai pelaksanaan hukum dimasa akan datang dengan menyisipkan moralitas ke sisi-sisi intinya.

Berubah Total

Pak Jokowi, entah mengeluh atau justru mengungkapkan fakta tak terbantahkan, menyatakan dalam sebuah kesempatan belum lama ini bahwa perusahaan-perusahaan yang keluar dari Cina, tidak masuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara lain; Vietnam, Malaysia dan lainnya. Di negeri-negeri itulah mereka menaruh uangnya. Indonesia tak dilirik. Padahal Indonesia, dengan Jokowi sebagai pemimpinnya sangat membutuhkan uang.

Apakah Indonesia sedang menerima atau sedang dihukum oleh kapitalis-kapitalis rakus atas ketidakonsistenan menerapkan hukum investasi? Apakah ketidakkonsistenan itu menghasilkan birokrasi korup. Boleh jadi iya. Kapitalis disepanjang garis politik hukum barat, memang tak mengenal rugi. Mereka hanya dan harus terus untung.

Untuk urusan untung, kelompok penghisap paling mematikan ini selalu begitu. Mereka meminta dengan cara yang khas kepada semua pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang menguntungkan mereka. Titik. Bila tidak dipenuhi, mereka menghukum dengan cara yang selalu tipikal. Tetapi menariknya negara-negara yang sedang melarat didapati meratapi kepergian mereka.

Kelompok ini, tidak bisa diharapkan bicara tentang kemanusiaan. Tidak juga bisa diharapkan bicara hukum yang tak pilih kasih. Tidak. Tidak usah menggelengkan kepala, kelompok ini tidak terusik pemilu yang acak kadul. Juga tak usah meminta mereka bicara kematian ratusan petugas PPS pada pemilu yang menghasilkan Pak Jokowi sebagai presiden terpilih. Mustahil meminta kelompok ini mendesak Pak Jokowi mengusut tuntas peristiwa memilukan itu. Jangan bermimpi mereka menantikan peradilan atas kasus-kasus itu.

Tetapi sudahlah, itu lain perkara. Perkara menjijikan dalam konteks negara hukum demokratis adalah orang gila, yang tiba-tiba muncul dan berulah ditengah musim pemilu. Jijik karena, entah bagaimana, mereka tahu orang hendask ke masjid, menyerang dalam kadar sebagai orang gila. Orang gila tak bisa dihukum, tentu saja. Jadilah seperti cerita fiksi politik dan hukum gila-gilaan. Berlalu, hilangbegitu saja.

Kenyataan ini muncul ditengah semua orang memimpikan negara ini harus memperbaiki moralitas berhukum. Impian itu seharusnya membawa negara semakin muncul denganjaminan berkelas rakyat memperoleh rasa aman. Sial, entah bagaimana, malah tercipta lagi fenomena lain. Negara menjadi begitu terampil dan energik melaksanaan hukum dalam UU ITE. UU ini cukup menyengsarakan.

Betul jangan main fitnah. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah itu pekerjaan orang mati hatinya. Tak terasa putaran waktu pelaksanaan UU ITE membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya.

Politik terus berproses dan negara hukum demokratis, dalam tampilan empiris berubah, beralih menjadi negara hukum tak demokratis. Setidaknya compang-camping. Terminologi penghinaan menjadi begitu jamak. Pernyataan tidak simpati terhadap satu peristiwa, apalagi ada korbannya, bisa bermakna “fitnah.” Lalu datanglah derita untuknya. Diterkam UU ITE. Membuat dan menyebarkan sebuah vidio berisi peristiwa yang belum terang hukumnya, bisa juga menghasilkan derita. Didatangi UU ITE.

Tampilan empiris negara hukum semakin terasa tak demokratis. Mengkristal dengan laju yang tidak biasanya. Demonstran terlihat menjadi musuh hukum. Boleh jadi paling berbahaya. Demonstran main keras, hukum main keras. Demonstran mesti luka-luka dan maaf, mati. Itu yang terjadi pada demo tolak hasil pemilu Mei lalu dan demo tolak RUU KPK akhir September kemarin.

Susah

Konstitusi tidak berubah. Itu jelas. Tetapi meja politik sedang berubah drastis. DPR tak lagi terbelah. PAN dan PKS, dua partai ini jelas tidak bakal bisa mengubahnya. Pengambilan posisi sebagai oposisi, tidak bakal membawa mereka menjadi penantang. Mereka, saya cukup percaya, tidak bakal bisa menggoda kawan sebelah main keras secara konstitusi mengubah hukum yang tak demokratis menjadi demokratis. Tidak mungkin. Rintangan politik, bukan hukum, melampaui modal yang mereka punyai.

Berat meminta negara hukum tak demokratis berubah menjadi negara hukum demokratis lima tahun akan datang. Unifikasi di tubuh DPR, tak memungkinkannya. DPR suka atau tidak, juga telah terunifikasi dengan pemerintah. Pengawasan mau disuarakan dari jalan? Negara hukum demokratis sekalipun selalu kaya menyediakan dalam gudang tersembunyinya begitu banyak cara menjinakan.

Di front negara hukum modern – negara kesejahteraan- yang juga digariskan dalam UUD 9145, rakyat baru saja dikagetkan dengan Inpres kenaikan iuran BPJS. Tidak bisa berkelit. Ada sanksi menyertainya. Peserta BPJS tidak apa-apa. Harus tunduk. Kelak kalaupun tarif dasar listrik meminta untuk disesuaikan, rakyat pun hanya bisa menggerutu. Tetapi jangan menggerutu, apalagi menuangkan gerutuannya ke medsos. Ingat ada monster bernama UU ITE.

Atas nama negara hukum, dimasa depan hukum akan ditempatkan pada rangking teratas di meja kebijakan pengelolaan semua soal negara ini. Negara bisa saja selalu benar. Rakyat nanti dulu. Bisakah negara dengan hukum seperti itu berpacu dalam percaturan beradab dan bermartabat memanusiakan rakyat? Itu soal paling rumit.

Negara hukum tak demokratis bisa lebih angkuh memproduksi diskriminasi, membebek pada pluralisme dan toleransi konyol khas Amerika. Lalu apa? Seperti Amerika dan Barat di sepanjang front kampanye pluralisme dan toleransi, langit dan cuaca sosial politik lima tahun mendatang mungkin didominasi streotipe-streotipe busuk. Streotipe-satreotipe itu bisa berupa anti pluralism, intoleran, radikal dan sejenisnya.

Gerak kompleks politik dan ekonomi, seperti dituliskan sejarah negara ini di tahun 1966, tentu ditengah kerumitan, akan membawa negara hukum semakin tak demokratis. Semakin compang-camping. Hukum pada saatnya nanti tampil dengan moralitas rendahan. Keadilan menjadi sangat khas. Dan menjadi hal biasa. Tersaji sebagai takdir politik yang tak dapat dielakan.

Jakarta, 14 Oktober 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #tnipolri  #jokowi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...