JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – COVID-19 telah membuat perekonomian Arab Saudi memburuk. Pendapatan yang diperoleh dari umrah sudah tak ada lagi setelah pemerintah Riyadh melarang ibadah umrah pada Maret lalu. Kemudian harga minyak dunia terus merosot taja,
Maka, sebagai langkah penghematan Kerajaan Arab Saudi membatalkan dan menunda beberapa pengeluaran operasional dan modal untuk beberapa lembaga pemerintah, dan memotong alokasi untuk sejumlah reformasi Visi 2030 dengan total nilai 100 miliar riyal (sekitar US$26,6 miliar).
Sebaliknya, seperti dilansir reuters.com (11/5/2020), Mereka juga berencana untuk melipatgandakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan menangguhkan biaya hidup bagi pegawai negeri.
Kebijakan ekonomi Arab Saudi pun mendapat tanggapan dari sejumlah pengamat. James Reeve, pengamat ekonomi dari Samba Financial Group menyebut bahwa itu merupakan langkah radikal Arab Saudi, karena tantangan negeri itu memang cukup berat.
“Kejutan besar adalah tiga kali lipat PPN, yang saya pikir tidak ada di radar siapa pun,” ujar Reeve.
Menurut Reeve, menaikkan PPN sampai 3 kali lipat adalah untuk meningkatkan pemasukan kas negara. Dengan kenaikan itu maka pemerintah Arab saudi bisa mendapatkan 50 miliar riyal.
Sementara itu, Mohamed Abu Basha, Kepala Analisa Makro Ekonomi di EFG Hermes melihat kenaikan PPN merupakan cara langsung pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan pemasukan.
“Ini jelas akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi, karena akan berdampak negatif pada konsumsi, tetapi itulah tradeoff yang harus dihadapi Saudi akhir-akhir ini, seperti yang terjadi pada 2014/15, mengingat jatuhnya harga minyak,” ucap Abu Basha.