Oleh Ambassador Freddy Numberi Sesepuh Masyarakat Papua pada hari Selasa, 21 Jul 2020 - 20:33:18 WIB
Bagikan Berita ini :

Nalar Penanganan Konflik di Papua

tscom_news_photo_1595338398.jpg
Ambassador Freddy Numberi Sesepuh Masyarakat Papua (Sumber foto : dok: Istimewa)

Eskalasi kekerasan di Papua pada akhir-akhir ini terus meningkat. Konflik kekerasan sipil bersenjata (KKSB) bukannya tanpa penanganan oleh pemerintah, namun kenyataannya KKSB masih terus melakukan mobilisasi dan disertai adanya tuntutan kemerdekaan. Kondisi ini memerlukan refleksi kritis oleh kita semua, terutama pemerintah.

Eskalasi kekerasan dalam dinamika konflik yang ada akan terus direproduksi karena wilayah ini masih menyimpan begitu banyak masalah yang belum terpecahkan melalui solusi damai, adil, demokratis, dan bermartabat.

Pemerintah dalam mencari solusi konflik dan penanganannya belum mampu menghapuskan kekerasan di wilayah yang kaya akan sumber daya alam (emas, perak, tembaga, kayu, dan yang lainnya) tersebut.

Pendekatan represif dan “matinya” demokrasi di Tanah Papua sejak Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi dewasa ini merupakan masalah tersendiri bagi masyarakat Papua. Oleh karena itu, perlu di hadirkan sebuah solusi permanen bagi Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).

Aspek keamanan dan ketertiban masyarakat harus tetap terjaga, Pendekatannya bukan lagi pendekatan kekerasan, melainkan keamanan manusia (Human Security). Pendekatan kekerasan dalam kasus Papua selama ini sangat dominan dan tercermin jelas pada operasi-operasi militer di masa lalu, menimbulkan kebencian masyarakat sipil, baik di Papua, maupun Indonesia pada umumnya, serta dunia dan Internasional khususnya terhadap aparat keamanan yang selalu bertindak atas nama negara dengan menggunakan tekanan senjata.

Alasannya demi kedaulatan negara untuk menjaga dalam meraih kepentingan Nasional. Namun karena pelaksanaannya kurang tepat, keadaannya justru berbalik dan menghancurkan citra serta dan wibawa pemerintah Indonesia atas reputasinya di dunia Internasional.

Beragam kekerasan terjadi, baik itu konflik horizontal (antar kelompok masyarakat) maupun konflik vertikal (antara masyarakat dengan aparat pemerintah) akhir-akhir ini eskalasinya terus meningkat, khususnya sejak peristiwa penghinaan dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019.

Pembangunan di Papua selama ini juga belum menggunakan metode pendekatan antropologi-budaya sesuai lokalitas masyarakat setempat serta tidak bersifat tematik, holistik, integratif, spasial dan sustainable (berkelanjutan dan ramah lingkungan). Hal ini juga mempengaruhi cara pandang masyarakat tentang pemerintah.

Dana yang dikucurkan untuk pendidikan dan kesehatan bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak 2002-2019 sebesar Rp. 80.024,83 Triliun. Sedangkan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) 2002-2019 untuk kedua provinsi tersebut sebesar Rp. 25.614,80 Triliun. Total Dana yang di kucurkan Pemerintah Nasional ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sesuai UU No 21/thn 2001, Pasal 34 ayat (5) dan (6) sebesar Rp. 105.639,80 Triliun. Namun hasilnya tidak dirasakan oleh masyarakat kecil, dimana anak-anaknya masih sulit untuk mendapat biaya sekolah dan pelayanan kesehatan kepada mereka juga masih jauh dari harapan. Hal ini membuat mereka semakin kecewa dan menolak Otonomi Khusus Jilid II karena kucuran dana tidak jelas digunakan untuk apa.

Protokol tambahan I Tahun 1977 berjudul Protocol Additional to Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to Protection of Victims of International Armed Conflict, antara lain melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam.

Protokol Tambahan II Tahun 1977 terbentuk karena pada kenyataan konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II merupakan konflik yang bersifat non-internasional atau konflik internal. Hanya satu ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional yaitu Pasal 3 Common Articles. Meskipun telah sangat rinci termuat dalam pasal tersebut, namun dianggap belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik internasional semacam itu.

Prinsip-prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam Pasal 3 Common Articles ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977. Protokol Tambahan II Tahun 1977 tidak membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban berdasarkan peraturan nasional mereka masing-masing. Protokol Tambahan II Tahun 1977 hanya diterapkan dalam konflik-konflik internal dari suatu negara yang sudah memiliki intensitas tertentu di mana pemberontak bersenjata, yang dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya, dapat melaksanakan pengawasan terhadap sebagian wilayah dari wilayah nasional negara bersangkutan.

Protokol Tambahan II tahun 1977 juga menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat.

Protokol II tahun 1977 ini belum diratifikasi oleh Indonesia karena menganggap bahwa Konflik bersenjata non-Internasional atau konflik internal masih merupakan kewenangan negara yang disesuaikan dengan situasi dalam negeri Indonesia. Disisi lain, 75 Negara anggota PBB sudah meratifikasi Protokol II tahun 1977 ini sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan internasional. Indonesia tunduk kepada kebiasaan-kebiasaan internasional ini sehingga suka tidak suka tunduk pula pada Protokol II tahun 1977. Itulah sebabnya apabila dalam menghadapi kelompok bersenjata dalam negeri maka hal itu akan menjadi sorotan dunia internasional.

Oleh karena situasi di Papua belum dapat digolongkan dalam konflik bersenjata internal atau disebut juga konflik non-Internasional, maka terbunuhnya kelompok kriminal bersenjata oleh TNI di Papua dewasa ini, dapat dituduh sebagai pelanggaran HAM. Demikian juga rakyat yang tidak berdosa terbunuh karena tertuduh sebagai kelompok separatis, juga termasuk pelanggaran HAM.

Untuk itu dalam menghadapi Gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata, yang diperlukan adalah adanya Penegakan Hukum yang dilaksanakan oleh POLRI.

Eskalasi di Papua cukup tinggi, namun persyaratan kelompok yang berlawanan dengan pemerintah belum memenuhi syarat sebagai kelompok bersenjata yang membutuhkan pengarahan kekuatan militer sesuai Protokol II Konvensi Jenewa, karena:

  1. Tidak memiliki struktur komando yang jelas;
  2. Tidak menguasai suatu wilayah negara RI secara permanen;
  3. Intensitas serangannya bersifat sporadis;
  4. Tidak memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.

OPM (Organisasi Papua Merdeka) tidak dapat digolongkan Pasukan Pembangkang Bersenjata (Dissident Armed Forces) seperti yang di persyaratkan dalam Pasal 2 (1) Protokol II Konvensi Jenewa 1949.

Rezim hukum yang berlaku adalah hukum HAM dan hukum Pidana.

Dibawah Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin (2020-2024) diharapkan adanya ketentuan yang jelas dan rinci mengenai peran POLRI dalam penanganan Konflik Bersenjata Internal, karena yang dihadapi adalah Gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata. Dengan penegasan demikian maka Indonesia terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM, karena POLRI melaksanakan tugas untuk menegakan hukum dalam rangka menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...