JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Peneliti Senior Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mendukung kebijakan Imam besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shibab (HRS) yang menawarkan rekonsiliasi.
Karyono mengatakan bahwa rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak dalam kubangan konflik berkepanjangan.
"Tetapi, yang terjadi, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. Rekonsiliasi itu harus memiliki urgensi, tujuan dan kerangka atau konsep rekonsiliasi," kata Karyono melalui keteranganya, Kamis (12/11/2020).
Lebih lanjut Karyono berdasarkan dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan, mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu.
Meski begitu, tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.
"Masalahnya, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu," ungkapnya.
"Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elit. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elit. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," sambungnya.
Pengamat Politik tersebut menilai jika upaya rekonsiliasi hanya sebatas untuk merangkul kubu HRS, maka menggunakan istilah rekonsiliasi nasional sangat tidak tepat tetapi hal tersebut bisa disebut juga dengan menggunakan istilah kompromi politik atau politik akomodatif.
Dengan demikian, lanjut Karyono, jika pemerintahan Jokowi - Ma"ruf bersedia melakukan kompromi atau politik akomodatif dengan kubu HRS untuk "berdamai" mencari titik temu dengan kubu HRS maka Presiden Jokowi cukup menunjuk Menkopolhukam Mahfud MD atau siapapun yang dipandang bisa berperan sebagai utusan.
"Para elite, khususnya yang menjadi pengelola kekuasaan negara dan pemerintahan memiliki tanggung jawab moral untuk menyatukan kembali kelompok masyarakat yang mengalami keterbelahan dan pemisahan secara sosial (segregation)," tegasnya.