Oleh Entang Sastraatmadja, Ketua Harian Dpd Hkti Jawa Barat pada hari Senin, 04 Jan 2021 - 08:59:16 WIB
Bagikan Berita ini :

Dibalik Kenaikan Harga Kedelai Impor….

tscom_news_photo_1609725556.png
Entang Sastraatmadja (Sumber foto : ist)

Harga kedelai impor dari Amerika di penghujung tahun 2020 mengalami kenaikan. Salah satu pasal nya karena Tiongkok menambah volume impor nya dua kali lipat.

Dampak yang ditimbulkan, para perajin tahu dan tempe lagi-lagi melakukan mogok berproduksi selama 3 hari. Mulai tgl 1 - 3 Januari 2021.

Fenomena naik nya harga kedelai impor dari Amerika yang kemudian dilanjut dengan aksi mogok produksi para perajin tahu dan tempe, memang bukan yang pertama terjadi di negeri ini.

Beberapa tahun lalu, suasana seperti ini juga sempat terjadi. Masalah nya adalah mengapa hal yang sama selalu terjadi ?

Kedelai merupakan komoditas yang tumbuh dengan baik di negara sub tropis. Di negara tropis seperti Indonesia, kedelai tumbuh sewajar nya dan hasil nya tidak besar-besar seperti kedelai Amerika.

Disinilah letak persamaannya. Para perajin tahu dan tempe menyukai kedelai yang biji nya besar-besar. Mereka tidak suka terhadap kedelai yang biji nya kecil seperti yang dihasilkan di dalam negeri.

Dihadapkan pada kondisi semacam ini, timbul pertanyaan apakah tidak ada teknologi pangan yang mampu menyelesaikan masalah iklim dalam budidaya kedelai ini ?

Lalu, bagaimana dengan hasil-hasil penelitian yang selama ini khusus memilih kedelai sebagai obyek penelitian nya ? Apakah Badan Litbang Pertanian sudah memiliki kesimpulan, mengapa produksi kedelai di dalam negeri kecil-kecil sehingga kurang diminati oleh perajin tahu dan tempe ?

Seabreg pertanyaan semacam itu, rupa nya penting untuk dijawab. Kita tidak boleh membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk menjadi persoalan yang tidak tertuntaskan.

Soal ketidakmampuan kita memproduksi kedelai dengan biji besar, jelas harus kita akui. Biji kedelai kita hasil nya memang kecil-kecil. Kedelai yang kecil-kecil ini rupa nya kurang diminati oleh perajin tahu dan tempe.

Sangat berbeda jika dibandingkan dengan kedelai impor dari Amerika. Beberapa kalangan menyebut, hal ini dikarenakan kedelai sangat ditentukan oleh kondisi iklim dimana tanaman itu tumbuh.

Hal ini identik dengan tanaman kurma, yang tumbuh baik di negara-negara Arab, namun tidak tumbuh dan berbuah dengan baik di negara kita. Perbedaan iklim ditengarai menjadi faktor pembeda nya.

Lalu pertanyaan nya bergeser, apa tidak ada teknologi yang mampu merubah kedelai yang kecil-kecil ini menjadi kedelai yang besar-besar ? Apakah para pakar di Perguruan Tinggi atau para peneliti di Lembaga-Lembaga Penelitian, tidak ada yang dapat menghasilkan terobosan cerdas di bidang perkedelaian ini ?

Apakah tidak ada kebijakan yang inovatif sehingga masalah nya tidak terulang lagi ? Beberapa tahun lalu, kita juga dihebohkan oleh mogok berproduksi nya perajin tahu dan tempe. Kenapa hal yang serupa terus-terusan terjadi di negeri ini ?

Mogoknya perajin tahu dan tempe, mesti nya tidak perlu terjadi, sekiranya kita memiliki Grand Desain tentang Perkedelean ini. Hal ini penting dicermati, karena kalau saja para perajin tahu dan tempe mogok berproduksi, maka dampak yang ditimbulkan nya bisa kemana-mana. Yang jelas, para pecinta tahu dan tempe, pasti bakalan sedih dan merana.

Bila sampai sekarang kita belum mampu memproduksi kedelai seperti kedelai dari Amerika, sebaik nya mulai dipikirkan bagaimana solusi nya agar proses produksi perajin tahu dan tempe menjadi tidak terganggu dan tetap berjalan lancar, dikarenakan ada sesuatu hal yang tidak terpikirkan dengan cerdas.

Kini sudah saat nya kita meninggalkan pendekatan "pemadam kebakaran", namun seirama dengan perkembangan zaman, kita diharapkan mampu mengembangkan pendekatan "deteksi dini".

Arti nya, kita tidak boleh membiarkan suatu kejadian yang berulang, yang disebabkan oleh masalah yang sama. Namun kita dituntut untuk menghentikan masalah nya sebelum kejadian itu tercipta. Inilah penting nya sebuah "early warning" dalam merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Bayangkan, bila dalam menjaga hal- hal yang tidak diinginkan dengan kedele ini, maka keseriusan kita untuk merumuskan pendekatan deteksi dini, boleh jadi akan menjadi solusi cerdas di masa depan. Ya, kenapa tidak !

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #tahu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...