Awalnya, rasa bangga membuncah di dalam dada tatkala perusahaan minyak nasional Pertamina meluncurkan kapal tankernya: Pertamina Pride beberapa waktu lalu. Bagaimana tidak. Kapal itu tergolong berukuran jumbo, dikenal dalam dunia pelayaran dengan istilah very large crude carrier (VLCC). Ia juga canggih. Pokoknya, sesuai namanya, Pertamina Pride bikin pride alias bangga.
Namun, begitu mengetahui bahwa kapal tersebut berbendera Singapura, sontak kebanggan tadi luntur. Ternyata, Pertamina Pride tidak bikin pride! Apa memang seperti itu kondisinya? Mari kita urai.
Mendaftarkan kebangsaan sebuah kapal ke dalam kebangsaan (baca: register) asing yang berbeda dari kebangsaan pemiliknya atau owner sebetulnya hal yang wajar. Dalam kasus owner Indonesia, ada banyak pemilik kapal yang juga mendaftarkan kapal yang mereka punya ke luar negeri. Jadi, sebagai owner, Pertamina bukan yang pertama. Ada sejumlah pertimbangan mengapa para pemilik kapal melakukan langkah seperti itu.
Pertama, untuk mendapatkan keringanan pajak. Bagi pemilik kapal, keringanan pajak amat dibutuhkan agar usahanya bisa menghasilkan cuan yang lumayan. Memang, komponen pajak dalam overhead cost pemilik kapal tidak terlalu besar tetapi tetap saja bila ada kemudahan mereka akan terbantu. Dan, biasanya kemudahan ini banyak diberikan oleh register asing. Sementara pemerintah negara owner cenderung mengenakan berbagai pajak yang mencekik leher.
Kedua, untuk menghindari kerumitan teknis di lapangan terkait operasional kapal. Masalah yang satu ini cukup menghantui owner Indonesia. Pasalnya, kapal-kapal berbendera Merah Putih kurang kredibel di mata internasional. Sehingga, demi kelancaran bisnis para owner Indonesia lebih memilih mendaftarkan kapalnya ke dalam kebangsaan asing. Sepertinya, inilah alasan mengapa Pertamina Pride dibenderakan Singapura.
Salah satu kerumitan teknis itu adalah soal dokumen statutory atau statutoria ketika kapal berada di pelabuhan di luar negeri dan kebetulan dokumennya bermasalah. Maksudnya begini. Bila menggunakan bendera Merah Putih, sudah pasti semua dokumen yang dibutuhkan tadi akan dikeluarkan oleh klas lokal, dalam hal ini Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Masalahnya, ketika dokumen itu bermasalah – habis masa berlakunya umpamanya – BKI tidak bisa dihubungi karena tidak memiliki perwakilan di negara pelabuhan tempat kapal terlilit masalah.
Lagian, pendelegasian kewenangan Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan survei dan penerbitan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan memang hanya diberikan secara eksklusif kepada perusahaan tersebut.
Masalahnya itu tadi. BKI tidak memiliki kantor di luar negeri. Karenanya, pendelegasian perlu juga diberikan kepada IACS yang kantornya ada di seluruh penjuru mata angin. Dengan begini, kasus Pertamina Pride bisa dicegah di masa depan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #pt-pertamina