Oleh Sapul Tavip (Ketua Umum Institut Hubungan Industrial Indonesia - IHII) pada hari Sabtu, 28 Jan 2023 - 19:56:09 WIB
Bagikan Berita ini :

Awas, RUU Kesehatan Berpotensi Merampas Dana Buruh di BPJS

tscom_news_photo_1674910569.jpg
Demo di DPR (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Saat ini DPR RI sedang membahas RUU Kesehatan yang dibuat dengan menggunakan Omnibus Law. Ini merupakan UU ketiga yang dibahas dengan menggunakan metode omnibus law setelah UU Cipta Kerja dan UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (P2SK). Ada 15 UU Yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, diantaranya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Dalam draft RUU Kesehatan yang kami terima, ada beberapa pasal yang merevisi UU BPJS yang isinya sangat mengkhawatirkan akan mengganggu pengelolaan jaminan sosial Kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Pada RUU Kesehatan ini kedudukan BPJS ditempatkan di bawah Menteri. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang Kesehatan untuk BPJS Kesehatan; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.

Lebih dari itu di Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Pada UU BPJS dengan sangat jelas Direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dan Direksi maupun Dewan Pengawas tidak ada mengatur untuk melaksanakan penugasan dari Menteri.

Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan. Dalam naskah RUU Kesehatan BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden melalui menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 13 huruf (l).

Sementara dalam UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada DJSN.

Unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur Pekerja, 1 orang unsur Pemberi Kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Pada UU BPJS, komposisi Dewan Pengawas masing-masing BPJS adalah 2 orang dari unsur
Pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan), 2 orang unsur pemberi kerja, 2 orang unsur pekerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Penambahan jumlah Dewan Pengawas dari unsur Pemerintah tersebut, disertai kontrol kuat Menteri terhadap Dewan Pengawas tersebut. Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan, dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada Presiden.

Mengacu pada Pasal 34 ayat (2) usulan pemberhentian Dewas Direksi dilakukan oleh Kemenaker kepada Presiden. Dalam UU BPJS, Menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian Direksi maupun merecall Dewan Pengawas unsur Pemerintah, karena Direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab langsung ke Presiden.

Pasal 28 mengamanatkan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden. Dan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan menjadi ketua Pansel untuk bidang Kesehatan dan bidang Ketenagakerjaan. Ketentuan di UU BPJS, Presiden membentuk pansel, dan ketua Pansel bukan Menteri.

Dari perbandingan pasal per pasal di atas dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memposisikan Direksi dan Dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah Menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh Menteri.

Dari proses pengangkaran hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan Menteri. Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan.

Status Badan Hukum Publik yang diamanatkan Pasal 7 ayat (1) akan menjadi bias dan hambar ketika kepentingan publik yang diwakili Direksi dan Dewan Pengawas dikendalikan Menteri, dan juga dikendalikan Partai Politik (dimana Menteri-menteri tersebut berasal)

Pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan tiga asas menurut UU BPJS, yang salah satunya adalah asas manfaat yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana.

Demikian juga prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS akan terganggu dengan hadirnya pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut. Intervensi dengan klaim PENUGASAN akan mengganggu pelaksanaan Prinsip Keterbukaan, Prinsip “Kehati-hatian”, Prinsip “Akuntabilitas”, Prinsip “Dana Amanat”, dan Prinsip “Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta”, akan terganggu dan akan mendukung penurunan manfaat bagi pekerja dan keluarganya.

Prinsip “Dana Amanah” akan menjadi dana “private” yang dikontrol Menteri, berpotensi menurunkan imbal hasil program JHT bagi saldo JHT pekerja, serta imbal hasil program jaminan sosial ketenagakerjaan lainnya yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan seluruh program tersebut

Pengelolaan dana pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sekitar Rp. 630 triliun ,

sudah dirasa aman dengan pengaturan menurut UU BPJS. Dikhawatirkan dengan adanya rencana perubahan sebagaimana dibuat dalam RUU Kesehatan tersebut, dana pekerja/buruh yg dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan saat ini akan mudah dikendalikan Menteri Ketenagakerjaan, demikan pula Partai Politik akan leluasa mengendalikan pengelolaan invetasi dana pekerja tersebut .

Demikian juga aset bersih Dana jaminan sosial (DJS) Program JKN di BPJS Kesehatan yang saat ini sudah mencapai Rp. 54,7 Triliun, serta pendapatan iuran JKN yang mencapai Rp. 143 Triliun (Data akhir Desember 2022), akan rawan digunakan untuk kepentingan lain di luar program JKN. Dampaknya akan berpotensi menciptakan defisit pembiayaan JKN yang akan berdampak langsung pada penurunan pelayanan JKN kepada masyarakat.

Beberapa kasus kerugian pengelolaan dana Jamsostek pada saat masih menjadi BUMN, hingga dipidananya Direktur Utama PT. Jamsostek pada waktu yang lalu merupakan gambaran umum ketika pengelolaan dana jaminan sosial sarat dengan kepentingan pribadi dan politik.

Maraknya kasus kegagalan investasi yang dialami BUMN asuransi seperti Jiwasraya dan PT. ASABRI beberapa waktu yang lalu, merupakan contoh gagalnya pengelolaan dana peserta ketika Direksi tidak memiliki kewenangan penuh dan independent. Tidak menutup kemungkinan dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan akan menjadi hilang akibat gagal dalam pengelolaannya, gara-gara pasal-pasal di RUU Kesehatan yang merevisi UU BPJS.

Kehadiran RUU Kesehatan menjadi ANTITESIS perjuangan gerakan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bersama kelompok Tani, Nelayan, Mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). KAJS di medio 2009 hingga 2011 dengan tegas memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggungjawab langsung ke Presiden. KAJS menolak pengelolaan jaminan sosial di bawah kontrol menteri dan berstatus BUMN. BPJS harus bebas dari intervensi Menteri, kepentingan politik perorangan maupun partai politik.

Bila RUU Kesehatan akan mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memposisikan Menteri mengontrol BPJS maka RUU Kesehatan menjadi kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas, dan RUU Kesehatan menjadi penghianatan besar atas perjuangan KAJS.

Atas permasalahan yang akan timbul dengan revisi UU BPJS pada RUU Kesehatan dan untuk memastikan peningkatan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan dan Kesehatan, serta keamanan dan peningkatan investasi dana kelolaan di BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, Kami dari IHII (Institut Hubungan Industrial Indonesia) dengan ini menyatakan MENOLAK UU BPJS direvisi dalam RUU Kesehatan, dan oleh karenanya meminta Baleg DPR RI mengeluarkan UU BPJS dari RUU Kesehatan.

Demikian Pernyataan sikap kami atas hadirnya RUU Kesehatan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...