JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dibuat dengan mengacu Omnibus Law terus menuai polemik. Selain akan memperpanjang proses birokrasi, RUU kesehatan ini juga dinilai bakal men-downgrade posisi BPJS kepada presiden.
Ada 12 UU yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, di antaranya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Sejumlah pihak menilai, jika sampai disahkan, proses birokrasi akan semakin panjang. Sebab, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang awalnya langsung bertanggung jawab ke presiden, jadi akan diubah pertanggungjawabannya kepada kementerian.
Penolakan pengesahan RUU Kesehatan ini salah satunya datang dari Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2011-2015, Chazali Situmorang.
Dia mengatakan, dengan disahkannya RUU Kesehatan ini, presiden tidak akan mendapatkan data informasi yang akurat karena akan ada intervensi dari menteri.
"Adanya intervensi dari kementerian atas laporan yang dilaporkan BPJS, sehingga dihawatirkan data menjadi tidak akurat. Maka, presiden tidak mendapat informasi yang utuh karena di bawah koordinasi menteri, ini juga tidak fair, kok RUU malah men-downgrade wewenang yang ada," ungkap Chazali.
Selain itu, Dewan Pengawas (Dewas) dari BPJS juga akan diatur oleh Kementerian Kesehatan. Dari yang awalnya ada 7 anggota dewas, 2 orangnya dari unsur pemerintah, maka dengan adanya RUU kesehatan ini akan ditambah 4 orang yang dari unsur pemerintah. Jelas jumlah Itu sudah didominasi oleh pemerintah.
Padahal, tutur Chazali, UU sebelumnya sudah membangun keseimbangan, walaupun ada 2 orang dari unsur pemerintah tapi yang jadi ketua dewas dari unsur pemerintah.
Dengan meningkatnya unsur pemerintah di dalam dewas, maka akan mengurangi keterwakilan para pekerja dan pemberi kerja. Padahal BPJS itu mengelola dana peserta bukan dana APBN.
"Kalau kementerian itu kan 100 persen dana APBN. Walupun 40 triliun dana PBI (penerima bantuan iuran) dibayar pemerintah, tapi kan itu iuran untuk orang miskin, itu memang sudah kewajiban pemerintah. Di dalam undang-undang kan rakyat miskin dijamin pemerintah," tegas Chazali.
Nantinya, dewas juga akan minta izin ke kementerian dalam menyusun aturan internal, sehingga keputusan yang diambil tidak lagi independen, ada intervensi dari kementerian. Maka kementerian akan punya power yang sangat besar.
Dampak lainnya menurut Chazali adalah potensi salah urus akan besar. Karena banyak campur tangan birokrasi. "Dipastikan ini akan sangat merugikan peserta atau pekerja," pungkasnya.