JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Polemik soal perbandingan jalan yang dibangun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) semakin berkepanjangan. Awalnya digulirkan Anies Baswedan dalam perayaan Milad ke-21 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memberikan kritik keras soal pembangunan infrastruktur jalan pada zaman Jokowi.
Menurutnya, Jokowi hanya banyak membangun jalan tol yang berbayar. Sementara itu, pembangunan jalan nasional yang tidak berbayar justru jauh lebih sedikit.
Jalan yang dibangun pada era SBY, terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota mencapai 144.825 kilometer atau 7,5 kali lipat dari jalan yang dibangun Jokowi yang hanya mencapai 19.293 kilometer. Jalan nasional yang menjadi tanggung jawab langsung pemerintah pusat pada era SBY terbangun 11.804 kilometer atau 20 kali lipat dari jalan nasional yang dibangun Jokowi yang hanya mencapai 592 km.
Hal ini berbanding terbalik dengan jalan tol baru yang dibangun pada era Jokowi adalah sepanjang 1.848,1 kilometer atau 8,7 kali era SBY. Selain itu, dapat diartikan juga bahwa Jokowi membangun jalan tol yang berbayar 3 kali lipat dari jalan nasional yang tidak berbayar yang hanya 592 kilometer.
Tapi pencapaian pembangunan jalan tol era Jokowi tersebut bukanlah suatu hal yang istimewa sehingga patut dibanggakan. Sebab di balik proyek besar itu banyak menyisakan masalah. Tol Trans-Sumatra sejak beroperasi pada tahun 2015 sampai sekarang masih sepi. Di Sumatra, kendaraan lebih banyak untuk logistik perkebunan yang enggan lewat jalan tol karena lebih mahal.
Begitu pula tol di Kalimantan, yang penggunaanya didominasi untuk pemerintahan ketimbang perekonomian. Hal ini menunjukkan pembangunan jalan tol pada era Jokowi lebih berdasarkan kemauan daripada kebutuhan sehingga studi atau kajiannya tidak matang. Studi atau kajian untuk proyek infrastruktur yang matang akan menarik perhatian investor.
Namun pembangunan jalan tol di Indonesia, minim studi sehingga kurang diminati sehingga mayoritas pembangunan jalan tol di Indonesia paling besar dibiayai oleh utang dan kas negara. Dampaknya dari minimnya studi tersebut, bukannya menguntungkan, trafik jalan tol tidak kunjung tumbuh sebab di sepanjang jalan tol tersebut tidak ada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.
Tambahan lagi, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan banyak masalah pada proyek jalan tol di Indonesia. Mulai dari perencanaan pembangunan yang tidak akuntabel hingga banyaknya kontraktor ikut menjadi investor. Selain itu, KPK juga menemukan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,5 triliun.
Meskipun hanya membangun 592 kilometer jalan nasional baru, ternyata secara umum jalan nasional yang dipegang langsung oleh pemerintah pusat kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi ketika Jokowi baru menjabat pada tahun 2014. Kemantapan jalan nasional turun dari 93,94% menjadi 91,8%, bahkan sempat menyentuh 89,36%.
Di sisi lain, jalan yang bukan tanggung jawab pemerintah pusat malah menunjukkan perbaikan. Kemantapan jalan provinsi meningkat dari 70,98% pada tahun 2014 menjadi 74,12% pada tahun 2021. Jalan kabupaten/kota meningkat dari 59,18% pada tahun 2014 menjadi 63,64% pada tahun 2021.
Bagaimana dengan jalan desa? Pada era Jokowi, jalan desa yang dibangun adalah sepanjang 316.590 kilometer menggunakan Dana Desa dan lainnya. Sedangkan pada era SBY, berdasarkan data Setkab (Sekretariat Kabinet) terdapat dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang sebagian besar ditujukan untuk pembangunan berbagai infrastruktur di perdesaan serta pemberian kredit bergulir, berhasil dibangun jalan desa sepanjang 1,13 juta kilometer atau 4 kali lipat jalan desa yang dibangun era Jokowi.
Mencermati data di atas, FPKS meminta polemik perbandingan pembangunan jalan era Jokowi dan SBY ini disudahi. Telah terbukti jelas bahwa keberpihakan pemerintahan Jokowi terhadap jalan tak berbayar yang merupakan infrastruktur dasar yang dibutuhkan rakyat masih sangat kurang.
Jokowi cenderung lebih banyak membangun jalan tol yang berbayar yang merupakan infrastruktur perekonomian atau infrastruktur bisnis. Bahkan jalan desa yang dibutuhkan juga masih sangat kurang dibangunnya. Begitu pesatnya pertumbuhan jalan tol yang berbayar dibandingkan jalan nasional tidak berbayar ini juga menunjukkan tentang komersialisasi pelayanan dasar yang dilakukan pemerintahan Jokowi.
Artinya, kebijakan pembangunan infrastruktur jalannya yang lebih mengutamakan jalan tol terbukti tak berpihak kepada rakyat, salah arah dan sebaiknya jangan diteruskan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #pks