JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Kampanye Pemilihan Umum tahun 2024 tinggal beberapa bulan, media sosial menjadi salah satu media kampanye calon anggota dewan maupun calon presiden.
Media sosial bisa secara efektif dalam mengarahkan calon pemilih dengan teknologi artifisial intelegent (AI) dalam algoritma aplikasinya.
Namun, media sosial terbukti memperkuat pembelahan di masyarakat, media penyebar hoax dalam Pemilu tahun 2019.
Menanggapi kondisi ini Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menekankan agar pemerintah memperbanyak dan memperluas edukasi penggunaan media sosial menjelang pemilu berlangsung.
“Media sosial sekarang semakin efektif dalam mengarahkan masyarakat. Ibarat dua mata pisau yang berbahaya jika tidak dipergunakan dengan baik dan benar, pisau itu akan menusuk pengguna dan orang lain. Pisau tajam media sosial bisa memecah belah masyarakat dengan pembentukan kecenderungan dengan perangkat algoritmanya," ujar Politikus PKS itu, Sabtu (23/09/2023).
Sukamta menjelaskan, model algoritma platfrom media sosial seperti Tiktok, Instagram, Youtube mirip-mirip yaitu tayangan video muncul merupakan rekomendasi berdasarkan konten video yang disukai, memiliki kemiripan, hashtag yang sama. Konten yang mirip ini akan mempengaruhi pikiran bahkan perilaku dari pengguna.
“Personifikasi ini terbukti memperkuat pembelahan masyarakat dalam pemilu, berita hoax mudah menyebar. Konten media sosial berbeda dengan konten berita yang memiliki prinsip cover both side dalam jurnalistik yang memberikan infromasi dengan melibatkan dua sudut pandang berbeda atau berlawanan," ungkapnya.
Oleh karenanya, kata dia, Pemerintah dalam hal ini Kominfo harus lebih banyak dalam mengedukasi masyarakat dan platform media sosial untuk mencegah berita hoax, penghasutan, dan kampanye hitam (negatif) dalam Pemilu 2024.
"Disisi lain harus tetap menjaga kebebasan berekspresi yang berdasarkan hukum dan aturan undang-undang. Jadi Pemerintah berkewajiban melakukan edukasi dan pemantauan terhadap konten yang dilarang undang undang dan berbahaya tetapi sensorship tidak boleh diberikan kepada swasta atau pemilik platform," tegasnya.
Untuk diketahui, ungkap dia, pengguna media sosial khususnya TikTok yang tengah naik daun menempatkan Indonesia di urutan kedua di dunia dengan 109,90 juta pengguna dibawah Amerika Serikat yang memiliki 113,25 juta.
"Besarnya data pengguna ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam mengawal pemilu yang mendidik bukan merusak. Edukasi harus diperkuat dan semakin digencarkan oleh pemerintah khususnya Kominfo,” tandasnya.
"Edukasi yang masif akan berkorelasi positif menurunkan jumlah hoax yang beredar selama Pemilu 2024," pungkasnya.