Oleh Rusdy Setiawan Putra pada hari Minggu, 11 Feb 2024 - 19:23:29 WIB
Bagikan Berita ini :

WS Rendra, Daulat Rakyat dan Daulat Hukum

tscom_news_photo_1707654209.jpg
Daulat Hukum (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --SEJAK masih di bangku SMA, saya sudah menulis puisi, cerpen, naskah drama, resensi kebudayaan dan opini tentang kehidupan di beberapa media massa, salah satunya di Harian Merdeka yang didirikan oleh BM Diah.

Di Koran Merdeka itulah saya berkenalan dengan wartawannya, seperti Asro Kamal Rokan (terakhir sebagai Kepala Kantor Berita Antara). Kemudian saya juga berteman dengan Neta S Pane (terakhir Ketua Presidium Indonesia Police Watch) dan yang lainnya.

Selepas SMA, melalui tes Perguruan Tinggi Negeri, saya lolos masuk ke Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1987. Tapi karena keterbatasan ekonomi, saya tidak berangkat ke Yogyakarta. Lalu, saya kemudian oleh seorang teman penyair dan sutradara teater, Amien Kamil diajak ke padepokan Bengkel Teater Rendra di Depok. Saat itu saya berusia 19 tahun.

Sejak itulah saya mengenal WS Rendra, Budayawan, Dramawan dan Penyair besar Indonesia. Usai bertemu dengan Rendra, saya kemudian diminta oleh Rendra untuk bergabung dengan Bengkel Teater. Bahkan, ketika menanyakan studi, saya ceritakan kepada Rendra dan setelah itu lalu Rendra menawarkan beasiswa kepada saya. Pada tahun itu pula saya melanjutkan kuliah di Universitas Nasional, Jakarta atas biaya dari Rendra hingga selesai dan saya mendapat predikat sebagai Mahasiswa Teladan.

Itulah sedikit kisah bagaimana saya bertemu Rendra, kemudian saya menjadi anggota Bengkel Teater Rendra dan mendapatkan beasiswa untuk menganjurkan studi S-1 di Universitas Nasional.

Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 dan wafat pada tahun 2009. Memperbincangkan rekam jejak Rendra pada akhirnya tak akan pernah habis. Kali ini saya ingin membincangkan secuplik pemikirannya tentang daulat rakyat dan daulat hukum, yang saya kira masih relevan sampai hari ini.

Koran Harian Bernas edisi 17 November 1997 memuat pidato Rendra di Taman Ismail Marzuki. Ia berpendapat bahwa manusia mempunyai daulat alam di dalam dirinya. Seperti siklus kehidupan, kelahiran dan kematian itu suatu keniscayaan bagi manusia. Orang tak dapat memilih dari siapa ia lahir. Demikian pula pada kondisi sosial yang bagaimana ia ditumbuhkan. Tapi ada pengecualian. Daulat alam juga menyediakan orang untuk mendobrak tatanan sosial di sekitarnya.

Rendra mengambil sejumlah contoh. Soekarno, sang anak guru, kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Ken Arok, pernah berkelakuan kriminal di jalnanan, namun akhirnya menjadi raja. Demikian pula Gajah Mada, kata Rendra ia “tukang pukul”, tapi di ujung hidupnya menjadi mahapatih. Hidup dan nasib seperti seirama. Akan tetapi, bagi Rendra, “kejagoan” seseorang membuat dirinya berbeda. Itu pun dengan prasyarat keberanian untuk menggugat tatanan.

Sayangnya tak jamak orang berkecenderungan demikian. Di tengah tatanan hidup yang oleh Rendra dikatakan resmi, daulat manusia hampir tak disediakan tempat, bahkan acap kali dibungkam, dipenjara, dan direpresi.

Rendra menengok ke belakang, kepada lintasan sejarah raja-raja Jawalah ia kemudian mengambil cermin. Ketika tahun 1215 Magna Carta disahkan oleh Raja John, yang berisi kejelasan hak bangsawan dan hak rakyat, pemerintahan Tunggul Ametung di Jawa belum memikirkan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Waktu itu di tanah Jawa, kata Rendra, “Sabda raja itulah UU bagi rakyat. Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang.”

Manakala sabda raja adalah wajah kebenaran, maka ia sangat rentan terhadap tata kelola masyarakat yang korup. Terlebih saat kebenaran di sana disematkan kepada yang kuat, sedangkan masyarakat dikondisikan sebagai kawula alit. Yang kuat dan yang lemah pada gilirannya terlihat kontras.

Kekuasaan yang dikendalikan oleh kekuatan terpusat akan melahirkan sistem feodal. Pada titik inilah Rendra sebetulnya melakukan kritik dari dalam. Ia sebagai seorang Jawa bukan melulu meromantisir kebudayaan leluhur, melainkan juga mengakui bahwa di balik itu tersembunyi pertarungan dan pertumpahan darah yang amat mengerikan.

Pristiwa pembunuhan Amangkurat II oleh anaknya sendiri Rendra contohkan. Ia dibunuh oleh Amankurat II di Tegalarum. Setelah merebut puncak kekuasaan, ia memimpin Karta Sura secara serampangan. Sahabatnya sendiri, Trunojoyo, ia khianati. Wilayah Semarang ia gadaikan kepada VOC. Bergandengan tangan dengan para cukong, praktik eksploitasi alam (menebang hutan) terjalin erat.

Belakangan Rendra baru memahami bahwa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia telah berlangsung semenjak pemerintahan Amangkurat II. Maka tak mengherankan bila kebangkrutan Mataram dipelopori olehnya. Penguasa yang korup, di samping mengabaikan hak rakyat, juga semena-mena terhadap alam sekitar. Potret ini ternyata menjadi kegelisahan Rendra selama hidup.

“Hidup dikuasai kehendak manusia, tanpa menyimak jalannya alam. Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai, dan hutan”

Sajak Pulau Bali dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1979), agar kekuasaan tak korup, Rendra menekankan pentingnya daulat hukum. Di Jawa, menurut Rendra, daulat hukum ini mulai ditegakkan semenjak muncul kitab Salokantara dan Jugul Muda. Pada masa pemerintahan kesultanan Demak, kitab Salokantara dijadikan “undang-undang” untuk mengharmonikan hubungan di antara masyarakat, yang waktu itu memeluk Islam, Hindu, maupun Buddha. Raden Patah adalah orang yang mengenalkan kitab itu.

Saat nilai Islam diejawantahkan ke dalam laku sehari-hari, relasi yang timpang seperti raja dan rakyat cenderung diperangi. Di hadapan Tuhan, tiap manusia itu setara derajatnya. Mereka itu khalifah Tuhan di bumi. Meskipun usia kesultanan Demak hanya 65 tahun, periode ini dinilai Rendra sangat menentukan: di tanah Jawa, daulat rakyat harus dibarengi dengan daulat hukum.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Fenomena Tindak Kekerasan Terhadap Insan Pers Semakin Meresahkan

Oleh Jacob Ereste
pada hari Rabu, 24 Jul 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tindak kekerasan terhadap wartawan tampaknya semakin brutal dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mungkin merasa sangat terganggu oleh fungsi kontrol yang dilakukan ...
Opini

Antara Jokowi dan Erdogan, dari Visi Mulia hingga Ambisi Berkuasa

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jokowi yang pertama kali terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 2014 dan kembali terpilih pada 2019, juga datang dengan janji untuk memperbaiki infrastruktur, ...