Oleh Swary Utami Dewi pada hari Minggu, 28 Apr 2024 - 17:15:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Selalu Ada Harapan

tscom_news_photo_1714299350.JPG
SWARY UTAMI DEWI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tadi malam, aku tersenyum bercampur nyengir melihat video singkat yang menayangkan perkataan beberapa kawan, yang (katanya) mau memajukan peradaban. Tapi keinginan ini diakhiri dengan ungkapan berbau jargon tertentu.

Hari ini ada seorang kawan yang bercerita bahwa anaknya begitu bingung melihat apa yang terjadi sekarang ini. "Wah ini ada jalur cepat tanpa capek-capek sekolah tinggi. Tanpa capek-capek berupaya keras. Tak usah mikir jujur atau tidak, dan yang terpenting hasilnya banyak." Anak kawanku ini tergolong milenial. Ia trenyuh dan kaget. Kok segininya ya, yang terjadi pada anaknya. Begitu ungkapnya.

Beberapa hari lalu, aku berbincang dengan salah seorang anakku, generasi Z. Ia percaya bahwa anak tidak boleh terus bergantung pada orang tua; manusia sejatinya berlaku adil dan jujur; serta setiap orang perlu mengandalkan kerja keras untuk mencapai tujuan dengan cara yang benar dan adil.

Aku memikirkan hal-hal itu, yang menurutku memang sedang mewakili kegelisahan banyak orang karena melihat apa yang kini sedang terjadi di Indonesia, juga dunia. Banyak yang sedang kacau. Terlalu banyak anomali.

Ayah dan ibuku menanamkan ajaran sejak kecil bahwa orang harus berkerja keras dan jujur untuk mencapai hasil, mencuri dan mencontek bagian dari korupsi, malu jika berbohong dan seterusnya. Ternyata itu melekat di benakku. Nilai- nilai tersebut tampaknya begitu melekat sehingga beberapa kawan suka iseng mengatakan aku idealis atau agak-agak idealis. Atau tanpa kompromi. Dan Ini (tampaknya) menurun pada anak-anakku.

Maka tak bisa dipungkiri, aku panen rasa syukur, sekaligus terkejut, saat nilai-nilai itu ternyata tetap ada pada anak-anakku. Ujian terkini bisa mereka lewati. Gonjang-ganjing politik prosedural untuk kepentingan kuasa di negeri ini ternyata tidak bisa menggoda mereka untuk beralih dari nilai, yang tak bisa ditawar-tawar. Begitu hasil obrolanku dengan mereka. Dan aku bahagia melihat apa yang terjadi ketika mereka terus percaya dengan dirinya serta mau membangun persahabatan dengan kawan-kawan yang sejalan -- tanpa harus mendepak "yang ajaib" (yang kata mereka bisa berubah dengan dialog dan contoh perilaku).

Banyak yang paham bahwa kondisi negeri ini sedang tidak ok. Politik yang terjadi bukan politik sekilas atau ritual lima tahunan yang sebentar saja akan lewat, lalu semua akan baik-baik saja. Bagaimana bisa disebut ritual lima tahunan belaka jika kumpulan dari ritual-ritual itu menghasilkan situasi korupsi yang semakin tinggi dan menggurita? Sekelompok (yang merasa) elite yang bisa mengoyak-ngoyak sumber daya alam (tambang) dengan semena-mena tanpa rasa malu? "Hukum" yang compang-camping namun bisa berjalan begitu pede tanpa patokan etika dan nilai? Sementara di sudut sana, mengintip tak berdaya, puluhan bahkan mungkin ratusan juta orang yang hidupnya masih tak karuan, tak mampu menjangkau harga sembako (yang makin meningkat dan jika sudah naik susah turun kembali) serta tak memiliki kepastian masa depan. Mereka juga tak paham bahwa hak mereka sering disandera untuk mendapatkan hal lain, yang sesungguhnya merupakan hak asasi mereka.

Aku berhenti sejenak dan mengulik data tentang komposisi penduduk Indonesia beserta jumlahnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 274,20 juta jiwa pada 2022, dan mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif pada rentang usia 15-64 tahun. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan bahwa pada 2022 mereka yang berusia produktif di Indonesia sebanyak 69.3 persen dari total penduduk (yang sekitar 275 juta jiwa). Ini sangat besar. Tapi apakah besar ini akan besar hanya dari segi jumlah? Banyak tapi tak bermutu? Banyak tapi tak paham? Banyak tapi jadi pemainan politik? Banyak lalu jadi bagian gurita politik yang berkelindan dengan kepentingan sesaat untuk kuasa dan harta?

Negeri ini sekarang nyata menghadapi banyak tantangan, termasuk setumpuk pekerjaan rumah untuk menjadikan usia produktif berkualitas dan berdaya guna bagi kemajuan bangsa. Coba intip tujuan kita mendirikan negara ini. Di Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan ada empat tujuan negara ini, yakni 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lalu kita juga punya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.

Dalam kondisi terkini, ke mana tujuan hidup bernegara itu berada? Ke mana nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila itu disembunyikan? Nyata, sudah banyak yang terlupakan, atau mungkin sengaja dilupakan oleh mayoritas elite yang sekarang duduk di kuasa (eksekutif, yudikatif, legislatif); Oleh kebanyakan elite yang seharusnya melakukan tugas untuk mewujudkan empat tujuan itu; Oleh sekelompok orang yang tanpa malu-malu memperkaya diri mereka dengan cara koruptif, bangga menampilkan hasil kemplangan haram itu di media-media sosial, lalu berlagak polos tak berdosa saat diciduk.

Amblaskah negeri ini? Ini satu pertanyaan menggelitik yang sebenarnya harus terus digaungkan. Bagaimana nasib negeri ini saat pusaran ketidakpastian sedang melanda kita? Ini juga pertanyaan besar.

Tapi entah mengapa, di saat gonjang-ganjing ini aku selalu berpikir masih ada harapan. Dan harapan itulah yang selalu berupaya kuhidupkan, semampuku. Mungkin di sana, ada yang sedang asyik menyusun siasat untuk jadi bagian pengendali negeri di pemerintahan yang baru, atau masih mengejar jalan pintas miring-miring yang berlumpur tebal dan mengeluarkan aroma culas. Aku sama sekali tak terganggu dengan semua itu. Aku tetap seperti biasa: tetap bergiat dengan puluhan anak-anak milenial di lembagaku yang mengadvokasi masyarakat marginal sekitar hutan, berupaya mengembangkan integritas mereka berdasarkan pada keyakinan bahwa hidup harus mampu memberi manfaat dan kebaikan. Aku pun masih bergelut dengan isu pemberdayaan masyarakat miskin sekitar hutan serta isu krisis iklim dengan kawan-kawan sejalan dari berbagai latar belakang. Aku juga masih menjalani kekuatan berjaringan lintas isu dan generasi untuk menjaga dan mengembangkan nilai-nilai keadaban, keindonesiaan dan universal. Ternyata, untuk tetap berbuat jalan masuknya beragam, bisa lewat isu literasi, budaya, sosial, keagamaan dan sebagainya.

Idealkah? Tentu tidak. Mudahkan? Banyak tantangannya. Pernah sedih karena merasa lelah? Sudah pasti... Tapi melihat anak-anakku yang memilih untuk memegang teguh nilai-nilai tertentu, dan perjumpaan-perjumpaanku dengan banyak kawan, yang memiliki perasaan dan pemahaman sama, membuat semangat itu selalu ada.

Pancasila dan tujuan kita bernegara memang tak mudah untuk dicapai. Kadang jalannya seperti roller coster yang melaju turun dan bergerak naik mendadak hingga membuat perut dan dada terguncang.

Tapi panggilan nurani untuk kebaikan negeri yang adil, sejahtera dan bermarwah akan terus bisa menggerakkan banyak orang untuk bergandengan tangan dan berjuang untuk Indonesia. Setiap dari kita bisa melakukannya, terlebih mereka yang sudah mendapatkan privilese pendidikan, akses, waktu dan jaringan untuk berjuang. Maka, tidak ada yang tak mungkin.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Prabowo Subianto dan Diktatorship Kerakyatan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 11 Mei 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Spontan rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: "Bersama Saya atau Diam Menonton!". Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada ...
Opini

Prabowo dan Gaza Solidarity Encampment

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Presiden terpilih Prabowo Subianto melakukan gerakan internasional melalui pikirannya yang dia suarakan di salah satu kolom majalah terbesar eropa, "the ...