Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok tidak hanya menistakan agama Islam, menghina ulama, dan merendahkan orang yang mendatangi dia secara langsung dalam kapasitasnya sebagai gubernur DKI Jakarta, tetapi dia juga membuat banyak pemimpin dan tokoh politik Indonesia menistakan diri mereka sendiri. Yang sangat jelas melakukan penistaan diri sendiri itu adalah para ketua umum parpol yang mendukung Pak Ahok di pilkada Jakarta.
Mereka menghinakan dan merendahkan martabat mereka sendiri dengan tetap mendukung Pak Ahok yang sedang bestatus tersangka. Pilkada Jakarta sangatlah bergengsi, penduduknya bermartabat tinggi. Seharusnya tidak diikuti oleh seorang tersangka tindak pidana agama, dan tidak pula pantas diikuti oleh calon yang dicap “tak beradab”, tak sopan, dan penuh arogansi.
Bapak-Ibu pendukung Pak Ahok!
“You are what you do,” kata orang seberang. Lebih kurang maknanya, “Jatidiri Anda tampak dari tindakan Anda.”
Dalam perspektif dukungan kepada Pak Ahok, maka makna peribahasa ini adalah “Anda ikut ternista gara-gara mendukung dan memperjuangkan penista”. Atau, ketika banyak orang mengatakan Pak Ahok tak beradab, bukankah manyakitkan bagi Anda kalau ada orang yang kemudian mengatakan bahwa Anda sama saja dengan Pak Ahok?
Sekali lagi, maaf! Mohon maaf, karena tidak ada deskripsi lain yang lebih santun dari itu untuk menggambarkan “situasi tak beradab” Pak Ahok dalam kaitannya dengan para pendukung beliau. Tentu sangat tidak kita harapkan reaksi khalayak seperti itu.
Bapak-Ibu yang terhormat!
Penilaian “tak beradab” dari mantan ketua MK, Mahfud MD, dan para pengurus NU, bukanlah relegasi yang ringan buat Pak Ahok. Kesimpulan “tak beradab” mewakili depresiasi yang terburuk. Apalagi kalau dirujuk ke sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Pejabat setingkat gubernur, gubernur ibukota pula, seharusnyalah menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam sila kedua itu. Tidak beradab, berarti tidak Pancasilais.
Label “tak beradab” yang diberikan oleh banyak orang kepada Pak Ahok tidaklah bertujuan sebagai “character assassination” (pembunuhan karakter) terhadap Pak Ahok, tetapi Pak Ahok sendirilah yang memiliki “assassinating character” (karakter membunuh, dalam arti suka mempermalukan orang lain).
Seterusnya, ada juga peribahasa lain yang mirip-mirip dengan yang di atas tadi, yaitu “You are who your friends are.” Seseorang bisa dihakimi dari siapa-siapa yang dia jadikan teman. Contoh sederhana, berteman dengan perampok akan terbuka kemungkinan ikut menjadi terduga, tersangka, bahkan terdakwa perampokan. Berteman dengan koruptor akan membuka kemungkinan ikut menjadi sekongkolan korupsi. Dan lain sebagainya. Meskipun Anda bukan pelakunya.
Itulah sebabnya di ruangan yang lain, ada anjuran untuk bergaul, bersahabat atau berteman dengan orang-orang yang baik (orang yang sholih, dalam bahasa reliji). Dalam konteks pilkada DKI, tentu maksudnya adalah mendukung calon yang berperangai baik.
Perlu ditegaskan bahwa bukan urusan siapa pun untuk mengukur kesholihan Pak Ahok, tetapi semua orang sudah menyaksikan tindak-tanduk Pak Ahok yang merendahkan martabat beliau sendiri. Terus terang, banyak orang yang kehilangan Pak Ahok kalau beliau tidak menjadi gubernur, akan tetapi lebih banyak lagi orang yang kehilangan respek jika beliau duduk di Balaikota.
Memanglah bisa saja para tokoh parpol pendukung Pak Ahok mengatakan bahwa “politik tidak pernah mengikat pertemanan abadi”. Dalih ini memang bisa Anda pakai untuk mengatakan bahwa pertemanan dengan Pak Ahok “hanya sementara” saja. Kapan-kapan bisa berubah.
Maaf Bapak dan Ibu, tidak bermaksud mengajarkan limau berduri atau tupai melompat. Kalau slogan dunia politik itu yang Anda gunakan untuk mendukung Pak Ahok, sungguh sangat tidak pas. Sebab, perkoalisian Anda dengan Pak Ahok bukan dalam rangka mengimplementasikan taktik atau strategi demi kebaikan bangsa dan negara, melainkan untuk kehancuran.
Mengapa kehancuran, karena jejak Anda mendukung Pak Ahok hampir pasti akan dijadikan preseden di masa mendatang oleh para politisi penerus Anda, ketika nanti mereka ingin mendukung calon-calon yang bermasalah untuk diikutkan dalam pilkada di mana pun juga.
Bapak-Ibu yang terhormat, di pilkada DKI ini Anda bukan sedang mendukung Bu Tri Rismaharini, bukan juga Pak Ganjar Pranowo, bukan pula Pak Ridwan Kamil. Anda, Bapak-Ibu, sedang mendukung orang yang kontroversinya sangat tinggi.
Apakah Anda rela di dunia politik Indonesia di masa depan akan muncul ketua-ketua parpol yang mendukung seorang mantan narapidana narkoba, misalnya, untuk menjadi bupati, walikota, atau gubernur, dengan alasan bahwa orang itu cukup cerdas, tegas, tangkas? Dengan alasan bahwa orang itu mampu melakukan penggusuran, mampu membuat rusunawa, mampu memperbaiki pasar-pasar becek, dll?
Sayang sekali, Anda menggunakan lensa “terang dekat” dalam memperjuangkan Pak Ahok. Sangat berbahaya. Padangan “jarak pendek” yang Anda pakai akan mencelakakan diri Anda sendiri dan merusak tradisi politik di masa depan. Bakalan banyak yang tega menabrak rambu-rambu kesantunan berpolitik..
Kepentingan dan keuntungan sesaat yang sedang Anda sedot dari pilkada DKI dengan cara mendukung Ahok, menunjukkan bahwa Anda gagal menangkap pesan khalayak di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jakarta, tentang perubahan yang sangat fundamental dan meluas di tingkat grassroot (akar rumput).
Semoga saja kegagalan Anda menangkap perubahan mendasar itu terjadi karena salah kalkulasi alias keblunderan. Tetapi, kalau itu memang sengaja Anda lakukan, berarti Anda semua memang ingin menantang dan sekaligus menentang aspirasi publik yang menunjukkan bahwa mereka tidak sudi BTP menjadi pemimpin Jakarta.
Sebaiknya pertimbangkanlah kembali profitabilitas sesaat yang akan Anda dapatkan dari kemenangan Pak Ahok.(*)
(Isi tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #