Opini
Oleh Dial Hasan (Fungsionaris Partai Gerindra) pada hari Senin, 10 Jul 2017 - 14:59:54 WIB
Bagikan Berita ini :

Pendidikan Gratis untuk Semua!

66IMG_20170623_135538.jpg
Dial Hasan (Fungsionaris Partai Gerindra) (Sumber foto : Istimewa )

Jika sebuah negara ingin maju, maka pendidikan itulah kuncinya. Tanpa itu, berapa pun dana yang dikeluarkan untuk membangun sebuah negara agar berkmbang dan maju, niscaya sia-sia.

Kenapa demikian? Pendidikan bukan sekadar sebuah strategi mendapatkan sumberdaya manusia untuk membangun sebuha negara; tapi juga sebuah strategi untuk pembudayaan masyarakat, baik secara sosial, agama, maupun infrastrktur kehidupan yang lain. Jangan melihat pendidikan hanya dari sektor peningkatan kualitas SDM untuk kebutuhan industri atau birokrasi pemerintahan semata, tapi lihatlah pendidikan sebagai asset for all and for our future.

Kandungan UUD Dasar 45 sudah benar bahwa pendidikan adalah tanggungjawab negara. Pemerintah pun sudah mengalokasikan 20% APBN untuk pendididikan. Kelihatannya sudah ideal. Tapi kenyataannya? Jauh panggang dari api. Jangankan di pelosok yang jauh dari kota – di Jakarta yang jaraknya hanya beberapa kilo meter dari Istana pun, banyak sekolah yang infrastrukturnya compang-camping. Gedungnya reot, bangkunya kropos, dan gurunya aras-arasan atau malas mengajar karena lapar dan harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Jangan bicara laboratorium bahasa atau komputer; buku ajar yang pokok saja nyaris tidak ada.

Itu sebuah gambaran sekolah dasar yang letaknya masih di Jakarta dan sekitarnya. Terbayang, bagaimana sekolah yang letaknya di kaki bukit Gunung Gede, Gunung Ciremai, atau di tepi hutan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Gunung Leuser di Sumatera . Niscaya sangat memprihatinkan.

Tak usah jauh-jauh. Kita lihat di Kota Bekasi. Apakah pendidikan di kota Bekasi sudah gratis sesuai amanat UUD 45? Tidak. Di Bekasi, sekolah masih dibolehkan memungut berbagai macam komponen biaya sekolah. Ada uang bulanan yang jumlahnya ratusan ribu rupiah seperti SPP (Padahal SPP, konon sudah terlarang), uang gedung, uang buku, bahkan uang pendingin AC untuk sekolah-sekolah tertentu.

Uniknya, semua itu belum cukup. Sekolah tiap semester mengharuskan murid-muridnya studi tour dengan biaya selangit. Untuk studi tour (padahal cuma ke kebun binatang atau Tangkuban Perahu, Bandung), biayanya lebih dari setengah juta rupiah, dengan alasan untuk akomodasi, penginapan, dan lain-lain. Padahal kalau direview, biaya tersebut tidak sebanyak itu. Ternyata, setelah diteliti oleh akuntan, komponen biaya studi tour itu ada untuk “amplop” kepala sekolah, guru pembimbing, dan lain-lain – selain biaya untuk sekian puluh orang guru dan keluarganya yang ikut “piknik” gratis. Kasus terakhir ini sudah mentradisi, dan agaknya sulit diatasi. Tapi, jika dinas pendidikan atau kepala daerahnya serius memperhatikan hal-hal semacam itu yang berakibat memberatkan orang tua murid, niscaya gampang saja diselesaikan.

Prinsip transparansi dalam manajemen pendidikan harus benar-benar dilaksanakan tanpa kompromi. Jangan biarkan oknum-oknum kepala sekolah dan guru memanfaatkan “kekuasaannya” untuk mengobrak-abrik dunia pendidikan. Memang masalahnya sepele, hanya “numpang” atau “mencari uang tambahan” penghasilan dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tapi lihatlah dampak jangka panjangnya. Anak-anak akan mendapatkan pendidikan dan contoh ketidakjujuran di dunia pendidikan. Dan ini akan berengaruh pada masa depan bangsa. Bayangkan jika anak-anak itu menjadi pejabat tinggi yang menentukan kebijakan strategis, mereka yang mentalnya telah tercemar “akhlak gurrunya” dulu, niscaya akan mudah tergelincir. Masalahnya bukan lagi sekadar persoalan uang suap dan amplop untuk guru dan kepala sekolah, tapi lebih jauh lagi -- persoalan korupsi yang memporakporandakan bangsa dan negara jika membiarkan pendidikan digerogoti mafia-mafia pendidikan tadi.

Untuk mengatasi semua itu, maka satu-satunya cara adalah pemerintah harus menggratiskan pendidikan secara total. Mulai dari SD sampai pendidikan tinggi. Semua komponen biaya pendidikan mulai dari gedung sekolah, pendingin AC, buku pelajaan, seragam, studi tour, transportasi, bahkan makan siang di sekolah (seperti di Finlandia) – harus ditanggung negara. Pungutan apa pun terkait dengan pendidikan adalah kharam. Dan itu pasti korupsi.

Menurut Andrew Carnegie -- satu-satunya cara paling efektif untuk memberdayakan kaum miskin adalah melalui pendidikan. Tak hanya itu. Pendidikan juga satu-satunya cara untuk mengangkat harkat dan kehormatan orang-orang terbawah dalam strata ekonomi dan sosial. Karena itu pendidikan adalah kunci untuk membangun ekonomi dan demokrasi. Dalam konteks inilah, sebuah negara yang menggratiskan pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi akan memperoleh kejayaan baik sebagai negara makmur maupun berperadaban tinggi.

Pendidikan seharusnya gratis total, terutama pada rakyat tak mampu, sejak TK sampai perguruan tinggi. Dengan demikian problem kesenjangan pendidikan antarkelompok masyarakat teratasi. Jika pendidikan gratis sampai tuntas (perguruan tinggi), maka tidak ada lagi alasan keterpurukan ekonomi karena adanya kesenjangan pendidikan antara orang kaya dan orang miskin. Semua rakyat Indonesia mempunyai kesempatan sama.

Tapi apa faktanya? Menurut UNICEF, sampai saat ini 2,5 juta anak Indonesia yang seharusnya bersekolah tidak dapat menikmati pendidikan. Dari jumlah itu, 600.000 anak usia sekolah dasar (SD) dan 1.9 juta anak usia sekolah menengah pertama (SMP). Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling parah. Hampir setengah dari anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tidak mampu melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama; sementara anak-anak yang berasal dari rumah tangga termiskin memiliki kemungkinan putus sekolah 4 kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari rumah tangga berkecukupan. Di pihak lain, hampir 3 persen dari anak-anak usia sekolah dasar di desa tidak bersekolah, dibandingkan dengan hanya lebih dari 1 persen di daerah perkotaan.
Gambaran di atas memprihatinkan kita semua. Karena itu, semua stake holder pendidikan di Indonesia seharusnya bahu membahu membangun pendidikan berkualitas dan gratis sehingga “education for all” akan tercapai. Tanpa itu, cita-cita mulia untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur akan sulit tercapai.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Wawasan Yusril Sempit Untuk Bisa Membedakan Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Sabtu, 13 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024 (bukan April Mop), saya hadir di Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai Ahli Ekonomi, terkait sengketa Perselihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya ...
Opini

Wawasan Yusril Sempit Untuk Bisa Membedakan Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024 (bukan April Mop), saya hadir di Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai Ahli Ekonomi, terkait sengketa Perselihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya ...