Opini
Oleh Prijanto (Asisten Teritorial KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia) pada hari Selasa, 13 Mar 2018 - 08:05:52 WIB
Bagikan Berita ini :

Pilpres : Presiden Orang Indonesia Asli atau Bangsa Lain yang WNI?

53IMG_20180313_075959.jpg
Prijanto (Asisten Teritorial KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia) (Sumber foto : Istimewa )

Jenderal Sudirman : “Pertahankan Rumah dan Pekarangan”

Bung Karno : “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembeli-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak!”

Artikel ini bukan bicara SARA untuk kepentingan politik praktis atau bermaksud untuk mempertajam masalah SARA. Artikel ini membicarakan Konstitusi Negara sebagai sokoguru negara dan bangsa yang harus dipertahankan dan dilaksanakan secara konsekuen sesuai suasana kebatinan ketika konstitusi disusun untuk Indonesia Merdeka. Judul terkait Pasal 6 (1) UUD 45 asli dan hasil amandemen.

Lalu apa hubungannya dengan pesan Jenderal Sudirman dan Bung Karno? Pesan tersebut menunjukkan itulah karakter dan mental kejuangan orang Indonesia asli dan pejuang pendiri republik. Jiwa nasionalisme dan patriotiknya sangat kuat. Karakter dan mental kejuangan tersebut, juga dimiliki anggota BPUPKI dan PPKI, selaku perumus ‘dasar negara’ dan ‘undang-undang dasar’ untuk Indonesia Merdeka.

Pesan Jenderal Sudirman bukan mempertahankan rumah dan pekarangan tempat tinggal, tetapi bermakna luas, pertahankan isi dan teritorial Indonesia. Sedangkan ucapan bung Karno sangat jelas, yang seharusnya diikuti oleh generasi penerus negeri ini. Bagi generasi penerus yang mewarisi Indonesia Merdeka beserta nilai-nilainya, perlu introspeksi apakah sudah berbuat sesuai pesan para founding fathers?

Hilangnya Roh Pribumi

Suasana kebatinan, semangat nasionalisme dan jiwa patriotik, mempengaruhi cara berpikir founding fathers. Pernyataan singkat dan tegas Pasal 6 (1) UUD 45 : “Presiden ialah orang Indonesia asli” sebagai contoh semangat nasionalismenya. Pasal ini berhubungan dengan Pasal 26 (1) : “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.

Sedangkan penjelasan Ps 26 (1) di UUD 45 : ‘Orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara’.

Dengan demikian, sangatlah jelas, para pendiri republik berkehendak negeri ini dipimpin Presiden orang Indonesia asli bukan orang bangsa lain walau mereka sudah warga negara Indonesia. Nilai dan prinsip inilah yang harus dipegang teguh generasi penerus. Lalu siapakah orang Indonesia asli itu ? Mereka yang datang pertama ketika Nusantara masih kosong, merekalah orang Indonesia asli. Mereka hidup membangun peradaban dan bersumpah sebagai bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Baca http://teropongsenayan.com/83343-adakah-dan-siapakah-orang-orang-bangsa-Indonesia-asli-itu.

Mengamandemen UUD 45 dengan meniadakan bagian ‘Penjelasan’ sama dengan memutus pewarisan nilai-nilai bangsa Indonesia kepada generasi penerus. Penjelasan Pasal 26 (1) menunjukkan para founding fathers sangat cerdas, waskita dan visioner. Terkait siapa Presiden Indonesia telah disiapkan dengan batasan-batasan yang jelas, siapa yang berhak, siapa warga negara dan siapa yang disebut orang-orang bangsa lain.

Dalam perjalanan, UUD 45 asli diamandemen. Pasal 6 (1) berubah menjadi : “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Tanpa mengurangi rasa hormat, kalimat di atas tidak cocok sebagai kalimat undang-undang dasar. Kalimat tersebut cocoknya untuk undang-undang tentang tata cara dan syarat pemilihan presiden. Masalah kalimat, itu hal kecil. Ada yang lebih penting, mendasar dan sangat menyedihkan, pasal tersebut telah kehilangan rohnya. Roh orang Indonesia asli atau pribumi, yakni tercabutnya hak istimewa pribumi selaku pejuang, pendiri, pemilik dan penguasa republik.

Membicarakan pribumi, hendaknya tidak dimaknai sabagai sikap diskriminatif dan intoleran. Keberadaan pribumi di dunia itu ada, bukan maya. Mereka memiliki hak azasi dan hak istimewa yang harus diperhatikan dan dihormati oleh negara. PBB pun memperhatikan masalah pribumi. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi, telah dikutip Majelis Umum PBB dalam Resolusi PBB 61/295.

Baca http://teropongsenayan.com/83183-pribumi-di-mata-perserikatan-bangsa-bangsa

Invasi Senyap Terhadap Konstitusi

Sejalan dengan pertambahan penduduk, tidak berkembangnya geografi dan berkurangnya sumber daya alam, jelas mempengaruhi geopolitik, geostrategi dan geoekonomi negara-negara dunia. Perubahan ini melahirkan pemikiran globalis, liberalis, kapitalis dan neokolonialis. Indonesia bak zamrud khatulistiwa dan ratna mutu manikam dunia, jelas menjadi incaran mereka.

Mayjen TNI Purn M. Sochib berpendapat, soal globalisasi yang kemudian sering disebut liberalisasi, dan disambut antusias oleh banyak penduduk dunia, dikarenakan sebelumnya mereka hidup dalam suasana otoritarianisme. Dasar manusia yang rakus, globalisasi dimanfaatkan untuk mengembangkan kapitalisme oleh korporasi-korporasi besar, sehingga lahirlah new capitalism dan new colonialism, tulis M.Sochib.

Tulisan M.Sochib ada benernya. Itulah sejatinya yang terjadi di dunia saat ini. Di balik promosi globalisasi dan liberalisasi, di balik itu ada niat jahat bahwa “milikku milikku dan milikmu milikku”. Kerja sama bilateral, regional dan internasional hanyalah sopan santun dan kedok, yang hakikatnya hidup saling intip dan yang lengah akan dimakan, karena masing-masing sebagai pesaing.

Banyak cara dilakukan oleh korporasi dunia untuk kepentingan dirinya, apakah melalui intervensi terhadap paradigma konstitusi, budaya, ekonomi maupun migrasi penduduk. Menurut Jenderal TNI Purn Widjojo Soejono (90 th) sesepuh TNI-AD, dalam beberapa kesempatan sering mengingatkan bahwa saat ini sudah terjadi “invasi senyap” terhadap Indonesia. Beliau mengajak kita untuk segera bangkit atau berubah sebelum punah.

Apakah ada invasi senyap terhadap konstitusi kita, merupakan pertanyaan kritis dan kontekstual. Mencermati penuturan beberapa tokoh yang terlibat dalam amandemen UUD 45, dalam hal ini mantan anggota DPR/MPR RI, indikasi itu ada. Berbagai berita yang dimuat di media, juga menunjukkan adanya indikasi kebenaran ikut campurnya asing.

Artikel John Mempi “Di Balik Amandemen 1945” (Citizenjournalism.com/2016/05/23) menulis secara gamblang siapa sponsor asing, siapa operator asing, siapa kurir dan peloby dari dalam negeri saat amandemen. Jika yang disinyalir John Mempi dan penuturan mantan anggota DPR/MPR RI benar, maka saya berpendapat suka tidak suka, sadar tidak sadar, patut diduga invasi senyap terhadap konstitusi kita telah terjadi.

Baca https://www.kaskus.co.id/thread/574e8ab5582b2eec048b456a/amien-rais-minta-maaf-soal-amandemen-uud-1945-yg-merusak -negara.

Rekomendasi

Jika ada bisikan, di era globalisasi saat ini tidak boleh ada diskriminatif, harus toleran dan semua warga negara punya hak sama serta pertanyaan, ketika persilangan dan perkawinan antar etnis serta budaya sudah terjadi dalam keseharian, lalu siapa yang dimaksud orang Indonesia asli? Seyogyanya bisikan dan pertanyaan tersebut tidak langsung ditelan dengan merubah pasal 6 (1) UUD 45.

Apabila secara sosiologis ada perkembangan kehidupan dalam masyarakat, sehingga diperlukan penjelasan tentang orang Indonesia asli, bisa dijelaskan secara adendum di bagian penjelasan, tanpa harus merubah kalimat “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Sebab setelah terjadi perkawinan silang, kita masih bisa membuat stratifikasi sosial orang Indonesia asli. (Dr. M. Dahrin La Ode M.Si, Trilogi Pribumisme: Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi).

Kita tidak boleh memandang remeh adanya perubahan Pasal 6 (1) dan Pasal 1 (2) dari UUD 45 asli, serta tambahan Bab VIIB, Pemilihan Umum, Pasal 22E, pada amandemen UUD 45. Kita harus melakukan olah yudha untuk menemukan jawaban adakah skenario yang buruk terhadap Indonesia atas perubahan pasal-pasal dan penambahan bab tersebut. Masalah ini perlu dan akan dibahas secara khusus pada artikel lain.

Apabila hasil amandemen jauh dari Pembukaan UUD 45, dan bukan demi bangsa Indonesia atau patut diduga adanya agenda asing, maka ajakan untuk “Kembali ke UUD 45 Asli, Untuk Disempurnakan” kiranya perlu dilaksanakan. Selamat berjuang kepada LBH Solidaritas Indonesia, Beli Indonesia, Save NKRI, Selamatkan NKRI, Front Nasional, PPAD, FOKO, GKI, Kongres Boemiputra, Sahabat Weka, GBN, Gerbang Bumiputra, Gerakan Pemantapan Pancasila dll, semoga perjuangan saudara mendapat ridho dari Tuhan YME. Insya Allah, amin (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Senin, 22 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...
Opini

Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan MK dan Kejatuhan Joko Widodo adalah dua hal yang dapat di sebut sebagai sebab dan akibat. Putusan MK dalam gugatan Pilpres, akan menjadi sebab dan penyebab ...