YOGYAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, MK pada masa kepemimpinannya pernah meminta DPR untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
"DPR dan Pemerintah sudah ganti berapa pemerintahan ini. Namun, undang-undang (UU) itu sampai sekarang belum diperbaiki juga," kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam Kongres Pancasila X di Balai Senat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (23/8/2018).
Mahfud mengakui, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kerap kali memunculkan kegaduhan, seperti kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Medan dengan terdakwa Meliana.
Menurut Mahfud, sejak masa kepemimpinannya di MK, UU tersebut sudah beberapa kali diuji materi oleh sejumlah pemohon karena dianggap multitafsir.
Kendati demikian, MK tetap menolak karena UU itu konstitusional meskipun dianggap memiliki dampak negatif.
"MK hanya membatalkan kalau UU itu inkonstitusional, bukan kalau dianggap jelek," kata Mahfud.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa yang memiliki kewenangan untuk mengubah atau memperbaiki UU Penodaan Agama tersebut adalah DPR bersama pemerintah.
Meski pada masa kepemimpinnya MK menolak membatalkan UU tersebut, MK pada saat itu memberikan pertimbangan untuk meminta DPR dan pemerintah memperbaiki UU itu karena UU itu tidak baik dan sudah ketinggalan zaman.
"Jadi, jika UU itu masih ada, itu bukan salahnya MK. MK sudah pernah meminta DPR memperbaiki ternyata tidak ada politikus yang berani mengubah itu, padahal mereka yang berwenang, masa minta MK yang membatalkan `kan tidak boleh," katanya.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada seorang wanita bernama Meiliana pada Selasa (21/8/2018).
Majelis hakim yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan, Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan di Indonesia terkait tas, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Kasus Meiliana bermula saat dirinya menyatakan keberatan terhadap pengeras suara azan dari Masjid Al Maksum Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada 29 Juli 2016.
Dia menyatakan merasa terganggu karena pengeras suara azan saban hari dinyalakan. Meiliana disebut meminta salah satu orang untuk menyampaikan kepada BKM masjid yang berjarak 7 meter dari rumahnya itu agar mengecilkan volume azan.
Pasca-keluhan Meiliana, sejumlah kelenteng dan vihara sempat menjadi obyek kemarahan pemuda Tanjungbalai.(yn/ant)