Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate) pada hari Selasa, 22 Jan 2019 - 12:22:45 WIB
Bagikan Berita ini :

Presiden Bisa Salah Pilih Kasih

20Pengamat-Tata-Negara-Magarito-Kamis.jpg.jpg
Dr. Margarito Kamis (Sumber foto : Ist)

Hukum Indonesia hanya memberi kewenangan kepada Presiden membebaskan terpidana melalui grasi. Diluar itu tidak. Hukum Indonesia pun tidak mengenal “bebas tanpa syarat.” Yang dikenal hanya bebas bersyarat. Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa hukumannya dapat diberikan bebas bersyarat. Kewenangan memberi bebas bersyarat ada pada Menteri Hukum Ham.

Menariknya belakangan tersiar kabar Ustad Abubakar Ba’asyir, hendak dibebaskan, bukan bersyarat, melainkan “tanpa syarat” layaknya terpidana yang telah selesai menjalani seluruh masa hukumannya. Alasan yang digunakan, sejauh ini adalah “kemanusiaan.” Usia beliau telah lanjut, dan menderita sakit, memantik lahirnya kemanusiaan sebagai pertimbangan.
Alasan ini indah dalam bingkai nalar dan rasa kemanusiaan. Indah karena hukuman, harus diakui, tidak dimaksudkan untuk merendahkan derajat kemanusiaan orang yang dihukum. Hukuman justru dimaksudkan untuk meningkatkan bukan saja rasa, tetapi juga derajat kemanusiaan orang yang dihukum.

Agung dan Universal

Sejatinya dan dalam sifat alamiahnya, setiap orang adalah manusia agung dan mulia. Agung dan mulia tersematkan pada setipa manusia, karena setiap manusia memiliki rasa, hati, juga akal. Sayangnya ketiga soal ini dalam serangkaian kenyataan, tidak bekerja atau hidup secara mekanistis. Kala salah satu dari ketiganya, jangankan mati, redup saja sudah akan menuntun siapapun ke tindak-tanduk tak berperikemausiaan.

Menghidupkan hati, rasa dan akal, tak pernah mudah. Ini pekerjaan maha sulit. Sangat terjal. Pekerjaan ini membutuhkan talenta dan tekad khusus. Pekerjaan ini laksana orang menyusuri tebing mematikan, dalam dekapan waktu yang pendek. Lelah, bukan saja karena harus selamat dari ganasnya tebing itu, tetapi juga jarak tempuhnya yang panjang.

Barangsiapa yang telah lulus dari perjalanan ini ia akan sangat mengerti, memahami sepenuhnya bahwa kemanusiaan adalah hal universal. Kemanusiaan tidak memiliki sifat kategoris. Sama sekali tidak.

Kemanusiaan ya kemanusiaan. Tidak ada kemanusiaan orang hitam dan tidak ada kemanusiaan orang kulit putih. Kemansiaan, sekali lagi, ya kemanusiaan. Tidak lebih.

Barang siapa yang mengenal dan memahaminya secara tuntas, utuh, akan memandu tindak-tanduknya dengan perikemanusiaan. Orang ini pasti orang hebat. Kehebatannya boleh jadi, tak bakal dapat ditandingi oleh siapapun. Ia akan menjadi orang istimewa, seistimewa alam menjadikan “keseimbangan” sebagai poros tipikal keadilan.

Keseimbangan sebagai poros tipikal keadilan, memang tidak mudah dikenali ahli hukum. Keseimbangan tak berarti harus “menyamakan.” Keseimbangan juga tak berarti harus “membedakan.” Menyamakan bisa berakibat terjadi “ketidakadilan” sementara membedakan malah bisa menciptakan “keadilan.”Rumit memang.

Mungkin kerumitan itulah yang mengakibatkan Magfirah, ibu muda berusia 27 tahun ditahan, dan ibu ini harus membawa tiga bayi kembarnya ke dalam Rumah Tahanan Bireun, Aceh. Mungkin kerumitan itu pula yang mengakibatkan seorang ibu yang sedang hamil tetap ditahan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, hanya karenha ibu disangka teroris.

Empat hari setelah Ibu ini berada dalam Rutan itu, ia melahirkan. Seorang Polwan yang baik budi, dan saya yakin memiliki rasa kemanusiaannya yang terbilang, menolong proses persalinan ibu ini. Sungguh budi Polwan ini hebat nan mulia. Innalillahi Wainnailahi Roajiun” Polwan baik budi nan indah kemanusiaannya ini harus kembali ke haribaannya, meninggal dunia -semoga alamarhumah berada dalam Kasih Sayang Allah Subhanahu Wata’ala. Ia meninggal beberapa saat setelah peristiwa di Rutan itu.

Ustad Abubakar Ba’asyir, terlihat telah ujur. Usianya, konon telah mencapai 81 tahun. Ustad ini, beberapa waktu lalu diketahui mengidap penyakit tertentu. Entah berapa lama masa hukumannya, tetapi konon beliau telah menjalani 2/3 hukumannya. Karena telah menjalani lebih dari 2/3 masa hukumannya, maka secara hukum sebagian syarat “bebas bersyarat” atas dirinya telah terpenuhi.

Dalam kenyataannya, sejauh yang diketahui, beliau tidak mengajukan permohonan “bebas bersyarat.” Tetapi beliau sudah ujur, dan kesehatannya tak cukup baik. Lalu muncullah “kemanusiaan” sebagai alasan untuk, konon bukan membebaskan beliau secara bersyarat, tetapi bebas tanpa syarat. Bukan Menteri Hukum dan HAM, apalagi Dirjen PAS, tetapi Presiden, konon yang akan membuat kebijakan membebaskan beliau.

Pak Presiden Jangan Salah

Sebagai chief of law enforcement, dan law enforcement merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan eksekutif, presiden memiliki kewenangan membuat kebijakan. Tetapi dalam hukum kita, kewenangan ini telah diatribusikan kepada Menteri Hukum Ham, dan kewenangan mencabut pembebasan bersyarat dimandatkan kepada Dirjen Pas. Konsekuensinya Presiden hanya bisa menggunakan kewenangan bebas membuat kebijakan tertentu. Tetapi justru dititik itulah masalahnya.

Msalahnya adalah UU 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tidak mengenal “bebas tanpa syarat.” Bahkan PP 99 Tahun 2012 yang mengubah sebagian aturan dalam PP 32 Tahun 1999 pun tidak mengenal “bebas tanpa syarat”.

Yang dikenal dalam kedua PP di atas hanya bebas bersyarat. Menurut pasal 43A PP Nomor 99 Tahun 2012, hak mendapatkan bebas bersyarat ini juga diberikan kepada warga binaan yang melakukan tindak pidana terorisme. Tetapi menurut PP ini, hak itu digantungkan pada syarat umum dan khusus. Syarat umum diatur dalam pasal 43 ayat (2). Syarat khusus adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukan. Juga telah menjalani pidana 2/3 dari masa hukuman, paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

Syarat khusus lainnya adalah telah menjalani asimilasi, menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar. Ikrarnya meliputi dua hal. Kedua ikrar tersebut harus dinyatakan secara tertulis. Isinya berupa pernyataan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak akan mengulangi tindak pidana terorisme. Bila syarat-syarat di atas tidak dipenuhi oleh warga binaan, narapidana terorisme, maka akibat hukumnya jelas; hak narapidana tersebut tidak dapat dipenuhi.

Praktis pembebasan tanpa syarat,” layaknya warga binaan yang telah selesai menjalani hukumannya, sejauh ini tidak ada hukumnya. Karena tidak ada hukumnya, maka Presiden dapat mengambil kebijakan. Masalahnya adalah UU Nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Negara mengharuskan kebijakan yang dibuat pejabat tata usaha negara memiliki pijakan hukum, dan sesuai tujuan yang digariskan dalam UU ini.

Menurut UU ini tujuan sebuah kebijakan adalah melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ruang lingkupnya antara lain hukum yang tersedia memberi pilihan kepada pejabat tersebut atau hukum yang tersedia tidak jelas, atau tidak ada hukumnya atau kebijakan itu diambil demi menghentikan stagnasi pemerintahan yang lebih luas.

Syaratnya kebijakan tersebut harus sesuai dengan tujuan diberikan kewenangan itu. Kebijakan tersebut juga tidak bertentangan dengan hukum, dan harus sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik. Dan kebijakan tersebut harus didasarkan pada alasan-alasan objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan dan dilakukan dengan itikad baik.

Disebabkan UU Pemasyarakatan dan kedua PP di atas tidak mengenal bebas tanpa syarat, maka Presiden perlu terlebih dahulu melembagakan dalam hukum, paling tidak pada level PP “bebas tanpa syarat” itu. Bila PP ini tidak dibuat, maka Presiden tidak bisa membuat kebijakan “bebas tanpa syarat” itu.
Mengapa tidak bisa? Karena Presiden tidak bakal menemukan alasan hukum atas kebijakannya dalam kerangka nalar tujuan, ruang lingkup dan syarat sebuah kebijakan menurut UU Nomor 30 Tahun 2014. Keberadaan Ustad Ba’asyir dalam penjara tidak bakal mengakibatkan stagnasi pemerintahan, apalagi stagnasi yang meluas.

Apa kemanfaatan umum dibalik membebaskan Ustad tanpa syarat pun? Rasanya tidak ada. Dimana letak korelasi logis keberadaan Ustad di dalam penjara dengan terganggunya pemerintahan, karena adanya ketidakpastian hukum? Kombinasi semua ini melahirkan satu hal; tidak ada alasan hukum yang rasional dan objektif yang dapat digunakan Presiden mengeluarkan kebijakan “bebas tanpa syarat.”
Bila Presiden berketetapan “melembagakan bebas tanpa syarat” dan kemanusiaan sebagai alasan, maka demi sumpah sebagai presiden, Pak Presiden tidak punya pilihan lain selain harus membuat PP baru. Aturlah dua tiga pasal di dalamnya yang menunjuk “kemanusiaan” sebagai alasan munculnya hak warga binaan mendapatkan “bebas tanpa syarat.” Atur pula kewenangan Presiden memberi penilaian hal-ihwal yang disebut “kemanusiaan” untuk dijadikan dasar Presiden “membebaskan tanpa syarat” kepada siapapun.

Hanya itu cara menghindarkan Pak Presiden dari salah pilih kasih kemanusiaan dan salah menggunakan kewenangan. Tanpa PP baru, terlalu sulit untuk tak mengatakan bahwa itikad Pak Presiden dibalik kebijakan ini bukan demi kemanusiaan. Niat yang baik harus dicapai dengan cara yang benar. Itulah esensi UU Nomor 30 Tahun 2014. Pak Presiden, patuhilah UU itu. Semoga. (*)

Jakarta, 22 Januari 2019

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #jokowi  #abu-bakar-baasyir  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...