Opini
Oleh N. Syamsuddin Ch. Haesy (mantan aktivis HMI) pada hari Senin, 04 Feb 2019 - 20:15:24 WIB
Bagikan Berita ini :

Jangan Kapitalisasi Independensi HMI

tscom_news_photo_1549322848.jpg
N. Syamsuddin Ch. Haesy (mantan aktivis HMI) (Sumber foto : Ist)

HIMPUNANMahasiswa Islam (HMI), Selasa - 5 Februari 1947 berdiri di Yogyakarta. Untuk melahirkan kader bangsa yang yang di dalam jiwanya mengalir ruh ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an, bernafas ke-Cendekia-an.

Sejak masa itu, HMI sebagai suatu organisasi merupakan wadah bagi “terwujudnya insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Komitmen HMI jelas, berjuang dengan akalbudi yang sehat dengan spirit ke-Islam-an (tauhid, syariah, muamalah dan akhlaq) dan integritas diri mempertahankan independensi.
Meski oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai ‘anaknya Masyumi’ dan mereka serang habis-habisan untuk dibubarkan, dengan kegigihan tanpa lelah, HMI mempertahankan kehormatan sebagai organisasi kaum intelektual yang clean and clear.

Secara personal, seluruh alumni dan mantan aktivis HMI bergerak di berbagai lapangan perjuangan kebangsaan, baik di lapangan sosial, politik, ekonomi, dan lainnya, termasuk lapangan pengabdian di lingkungan pertahanan keamanan nasional.

Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI jelas menegaskan format integritas HMI yang selalu paham dimana tempat berdiri dan paham bagaimana harus melangkah, serta ke mana tujuannya. Komitmen perjuangan HMI jelas: “Turut Al Qur’an - Hadits, Jalan Keselamatan,” dengan “yakin usaha sampai” menjemput kebahagiaan dunia akhirat yang terhindar petaka.

Para aktivis HMI di lintas perubahan zaman dan dinamika kebangsaan, punya cara memilih kiat dan siasat untuk menjaga, mempertahankan, dan memelihara independensi. Memanifestasikan kebenaran dan keadilan secara proporsional dan cerdas, seperti yang diteladankan oleh Lafran Pane (Pahlawan Nasional), Dahlan Ranuwihardjo, Achmad Tirtosudiro, yang dilanjutkan oleh Nurchalish Madjid, Immaddudin Abdul Rachim, Endang Sjaifuddin Anshari, Ismail Hasan Meutareum, Ekky Sjahruddin, Mar’ie Muhammad, Taufiq Ismail, H. M. Jusuf Kalla, Fahmi Idris, H. Ridwan Saidi, Abdullah Hehamahua, Anies Baswedan dan tokoh-tokoh bangsa lainnya (yang terlalu banyak untuk disebutkan).

Meski alumni HMI tersebar di berbagai lapangan politik dan memainkan peran di berbagai partai politik dari masa ke masa, kesadaran untuk mempertahankan independensi HMI, selalu terjaga. Karena alumni HMI, yang tergabung di dalam Korps Alumni HMI (KAHMI) dan Forum Alumni HMI-wati (FORHATI) dan bersungguh-sungguh berkomitmen pada perjuangan menjemput tujuan HMI, tak kan mudah terpikat oleh kekuasaan.
Selalu ada jarak alumni (termasuk secara organisatoris) dengan HMI.

Relasi alumni dengan HMI terpelihara hanya untuk memelihara, menghidupkan, dan mempertahankan keberadaan HMI sebagai organisasi kader. Siapapun yang ingin membelokkan HMI sebagai organisasi ‘embel-embel’ dalam kehidupan kebangsaan Indonesia, pasti akan mengalami nasib buruk.

Independensi HMI adalah harga kehormatan yang tak bisa ditawar dan tak bisa dicederai oleh siapapun. Imunitas kultural dan ideologis HMI pasti akan menolak dan melawan setiap upaya mencederai dan apalagi mereduksi independensi (yang sekaligus bermakna mencederai integritas) HMI sebagai organisasi kader.

Setiap kader dan alumni HMI secara personal, bebas memilih jalan profesinya masing-masing, terjamin kebebasannya memilih orientasi politik dan bahkan, mazhab peribadatan keagamaannya. Di lingkungan kader dan alumni HMI-lah, hakekat ‘bhinneka tunggal ika’ itu mewujud nyata. Beragam latar etnis dan kampus, serta mazhab peribadatan itulah yang mencerminkan multikulturalisme HMI.

Secara historis, HMI adalah contoh kongkret kebersatuan dalam keragaman.
Tak hanya itu, HMI adalah contoh kongkret garda depan perjuangan umat Islam Indonesia di era kritis, ketika komunis hendaak menguasai pemerintahan. John T. Sidel (1998) dalam buku bertajuk, Logics of Circulation and Accumulation in the Demise of Indonesia’s New Order, terbitan Southeast Asia Program Publications at Cornell University, menggambarkan bagaimana dimensi peran HMI dalam proses perubahan masyarakat, negara, dan bangsa Indonesia.

Pada perjuangan menyelamatkan Republik Indonesia dari penguasaan PKI dalam pemerintahan di penghujung kekuasaan Bung Karno, HMI — yang sejak berdirinya bergandengan tangan dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia) — bersinergi dengan Muhammadiyah menolak gagasan Nasakom (Nasionalis - Agama - Komunis). Pembubaran Masjumi tahun 1960-an awal menimbulkan manuver Anti-Soekarno yang memuncak 1965-1966, sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan anti Komunis.

Bersinergi dengan aktivis Muhammadiyah bersama Pelajar Islam Indonesia (PII), HMI berada di barisan depan, meski harus kecewa karena para pemimpin muslim modernis mesti keluar dari pemerintahan rezim Soekarno.

Secara spesifik, HMI menjadi faktor eksternal yang mempercepat kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), meski tujuan dan kepentingan berbeda-beda. Lukman Harun (Muhammadiyah) dan Mahbub Djunaidi (NU) boleh disebut dalam konteks itu. Dalam konteks NU, tak bisa juga dilepaskan kaitan HMI dengan Subchan ZE (NU), yang adiknya (Anieswati) aktif di HMI - pendiri KOHATI (Korps HMI-wati). Tentu banyak tokoh lain yang berperan.

HMI terkesan lebih dekat dengan Muhammadiyah, karena cukup lama dipandang sebagai ‘anak Muhammadiyah dengan tugas khas,’ tak hanya karena banyak aktivis Muhammadiyah aktif dalam kepemimpinan HMI, bahkan secara organisatoris ikut ‘membiayai’ aktivitas HMI. Ketika HMI berkembang dengan independensinya yang berinteraksi dengan beragam mazhab keagamaan, Muhammadiyah kemudian menyiapkan IMM untuk mengemban misi ke-Muhammadiyah-annya.

HMI sebagai organisasi kader dengan independensinya, terus bergerak, dan kian berperan sejak paruh pertama Orde Baru, ketika kelompok politik muslim (NU, PSII, Perti, Parmusi, dan lain-lain) ‘dipaksa’ berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tak semua aktivis HMI masuk ke dalam PPP. Beberapa orang, dimotori Soegeng Soerjadi aktif di PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang merupakan fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan lain-lain.

Pada saat yang sama, landskap sosio politik Indonesia berubah cepat. Sejumlah pemimpin mahasiswa, yang adalah kader-kader HMI dari sekolah-sekolah elite seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (UNHAS), Institut Pertanian Bogor (ITB), direkrut dalam jumlah yang banyak ke dalam birokrasi dan Golkar.

Tak sedikit pula yang memilih jalur lain, bisnis menjadi pengusaha muda. Pun memelopori terbentuknya Non Government Organization (NGO) - Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai ‘kelompok penekan.’ Termasuk, bergerak dalam lingkungan profesional pers sebagai jurnalis.

Belakangan, HMI berperan aktif dalam berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang di era Presiden BJ Habibie memperoleh tempat khas dalam pemerintahan.

Dimensi peran HMI — kecuali di parlemen dan satu dua di birokrasi pemerintahan — melemah ketika terjadi rotasi dan resirkulasi pemerintahan Orde Baru, dan berupaya menemukan formatnya yang baru dalam formasi yang berbeda. Terutama ketika Gerakan Reformasi membuka ruang luas bagi sistem multi-partai.

Politik pragmatis dan politik transaksional yang tumbuh berkembang bersamaan dengan dinamika politik nasional, dalam banyak hal mempengaruhi peran dan kiprah HMI. Beberapa tokoh HMI generasi baru terkait dengan berbagai kasus dan peristiwa yang bertentangan dengan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Khasnya terkait dengan aspek moralitas dan etik.

Para pemimpin, alumni HMI generasi berikutnya tak lagi mampu mengelola arus besar perubahan yang ikut digerakkannya dalam gerakan Reformasi, tak seperti generasi sebelumnya di dekade pertengahan 60-an. Khasnya ketika aktivis HMI mulai meninggalkan basis-basis islam di berbagai kampus elite di Indonesia. Ketika masjid dan sentra-sentra kegiatan keislaman mahasiswa di kampus, beralih ke kelompok baru melalui aksi kajian yang ditransfer oleh para alumni Timur Tengah yang kembali ke Indonesia.

Pada masa itu, aktivis HMI terpesona dengan aktivitas para alumninya yang bergerak ke dimensi lain, dengan spirit yang dikemukakan Nurchalis Madjid: Islam Yess, Partai Islam No. Kendati dalam jumlah terbatas masih banyak alumni dan mantan aktivis HMI yang berkiprah di partai-partai (yang secara formalitas mengidentifikasi diri sebagai partai Islam atau partai untuk umat Islam).

Hedonisme, globalisme, singularitas dan beragam nilai baru yang cenderung lebih pragmatis menghadapkan HMI dalam arus besar perubahan yang tak terduga. Termasuk arus besar perubahan politik. Dalam situasi seperti itu, sikap alumni HMI beragam dalam memandang independensi.

Mereka yang ngebet dengan pragmatisme secara tersirat mengabaikan independensi, mereka yang konsisten dengan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) mempertahankan independensi, dan mereka yang separuh konsisten dan berpegang pada rasionalitas dalam melihat realitas, lebih fokus pada bagaimana mengelola independensi HMI.

Kelompok yang mempertahankan dan mengelola independensi, lebih fokus memusatkan perhatian pada strategi mengejawantahkan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), berteguh dengan prinsip: Ikut Al Qur’an dan hadits - Jalan Keselamatan - Bahagia HMI. Kelompok pragmatis lebih fokus pada Yakin Usaha Sampai - Bahagia HMI.

Dalam konteks itu, kita ingatkan semua alumni HMI termasuk para aktivis HMI sekarang untuk tidak mengkapitalisasi independensi HMI. Sejarah perkembangan HMI menunjukkan, siapa saja yang berusaha mengkapitalisasi independensi HMI, akan mendapat tuah buruk di kemudian hari. Jangan mempermalukan jutaan kader yang tetap pada pendirian dan sikap sebagai insan cita yang bermuru’ah dan bermartabat.
Jangan kapitalisasi independensi HMI.

Dalam konteks Pilpres dan Pemilu 2019, jaga baik-baik syahwat politik. HMI dan KAHMI sebagai organisasi harus menunjukkan muru’ahnya. Sekarang momen tepat untuk menunjukkan sikap dan integritas HMI dan KAHMI.

Selamat Dies Natalis HMI ke 72 tahun. Bahagia HMI. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #hmi  #kahmi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...