Opini
Oleh Ifa Mufida (Praktisi kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial) pada hari Jumat, 22 Mar 2019 - 16:14:57 WIB
Bagikan Berita ini :

Diskriminasi Pendidikan, Sampai Kapan?

tscom_news_photo_1553246097.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : ist)

Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk masuk ke perguruan tinggi nampaknya sudah ramai pendaftar. Saat ini sedang berlangsung pendaftaran UTBK untuk Gelombang Pertama pada 1 Maret hingga 24 Maret 2019. Berikutnya, pendaftaran Gelombang Kedua UTBK pada 25 Maret hingga 1 April 2019. Kuliah nampaknya memang menjadi harapan kebanyakan siswa dan generasi negeri ini setelah lulus SMA atau SMK. Namun, secara fakta banyak yang akhirnya harus gigit jari karena harapan mereka pun harus pupus.

Nampaknya, slogan “Orang miskin dilarang sekolah! atau “ Orang miskin dilarang kuliah!” masih terjadi hingga saat ini. Sebagaimana Riset yang dilakukan Haruka Evolusi Digital Utama (HarukaEDU) di 2018 menyebutkan, 79% lulusan SMA/SMK yang sudah bekerja tertarik untuk melanjutkan kuliah lagi. Namun 66% responden di antaranya urung kuliah karena mengaku terkendala biaya. Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh para lulusan SMA dan SMK untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di antaranya adalah persoalan biaya.

CEO HarukaEDU, Novistiar Rustandi mengungkapkan, tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap dunia pendidikan tergolong masih rendah. Hanya 8,15 persen dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi. Padahal fase pendidikan 4.0 dengan perkembangan industri dan teknologi berciri sistem digital, artifisial, virtual dan berskala global, peningkatan kualitas SDM menjadi syarat utama. Dalam upaya untuk menyesuaikan diri dalam fase ini, maka diperlukan akses pendidikan seluas-luasnya agar semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang layak.

Pemerintah mengklaim sudah memberikan bantuan biaya pendidikan bagi mereka yang tidak mempunyai biaya untuk kuliah, atau bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin. Bidikmisi adalah bantuan biaya yang selalu diunggulkan oleh pemerintah dimana dengan adanya beasiswa ini, mereka yang berasal dari golongan keluarga yang kurang mampu akhirnya bisa melanjutkan kuliah karena mendapatkan bantuan berupa biaya spp dan biaya hidup. Cukup banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan bidikmisi ini, antara lain kepemilikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau pendapatan kotor gabungan orangtua/wali sebesar Rp 4.000.000 atau pendapatan kotor gabungan orangtua/wali dibagi jumlah anggota keluarga maksimal Rp 750.000.

Seleksi untuk mendapatkanbidiksmisi juga sangat ketat, karena bantuan biaya ini hanya untuk yang memiliki prestasi secara akademik ataupun prestasi non-akademik dan setelah dilakukan beberapa proses survei. Nampaknya program ini sangat membantu, namun nyatanya hanya sebagian kecil saja yang akhirnya bisa mendapatkan bantuan biaya kuliah ini, jauh lebih banyak yang mereka akhirnya harus gigit jari karena terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah. Tahun ini kuota penerima bidikmisi renacana akan ditambah menjadi 130.000, namun jumlah ini nyatanya masih sangat sedikit jika dibanding dengan jumlah pendaftar. Sebagaimana keterangan Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Intan Ahamad, “Walaupun ditambah, kuota Bidikmisi dan Adik masih kurang karena jumlah mahasiswa pendaftar lebih banyak dari yang disediakan. Kami berharap kepada pihak swasta untuk turut membantu dalam memberikan dana karena kemampuan fiskal negara yang terbatas,”(pikiran- rakyat.com).

Kalau kita lihat di sini, ternyata penerima bantuan biaya kuliah masih sangat sedikit jika dibandingkan jumlah lulusan SMA yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Program bantuan biaya yang diberikan pemerintah nyatanya juga tidak memberikan solusi nyata untuk semua kalangan masyarakat. Padahal sejatinya pedidikan ini adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara untuk semua warga negara, tanpa ada pembedaan, tanpa ada diskriminasi. Faktanya, melalui kartu Indonesia Pintar (KIP) sangat kecil sekali cakupan yang menerima bantuan pendidikan, bahkan lebih layak dikatakan bahwa kartu ini hanya sekedar pencitraan.

Demikianlah gambaran pembiayaan pendidikan di masa kuliah. Tak jauh berbeda untuk pendidikan dasar hingga pendidikan menengah atas. Berkembangnya sekolah swasta yang memiliki konsep pendidikan Islam, nampaknya menjadi pilihan banyak keluarga muslim meski mereka harus merogoh uang yang sangat besar. Hal tersebut menjadi pilihan dibanding menyekolahkan mereka di sekolah negeri, namun nyata saat ini sangat jauh dari sistem pendidikan yang Islami dan pembentukan kepribadian Islam. Kita melihat bagimana kualitas pendidikan di negeri kita tak jauh dari sekedar prestasi di atas kertas, namun di luar itu mereka jauh dari pendidikan akhlak. Bahkan kita temui, tidak sedikit siswa yang berprestasi justru memiliki pergaulan yang sangat bebas, bahkan budaya mabuk dan free sex sudah biasa bagi mereka. Na’udzubillahi min dzalik.

Inilah potret pendidikan di negara kita. Bagi mereka yang memiliki cukup uang, mereka bisa memilih sekolah terbaik untuk anak-anak mereka. Baik secara fasilitas, kurikulum, ataupun target pendidikan yang sesuai harapan mereka meski harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal. Namun bagi mereka yang dalam kondisi kurang mampu, harus secara ikhlas menerima sistem pendidikan di negeri ini apa adanya. Bahkan banyak dari mereka kesulitan untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena masih mahalnya biaya pendidikan. Makin tinggi sekolah, makin mahal biayanya. Padahal bagi yang miskin, jangankan pendidikan yang mahal, untuk makan saja susah. Sungguh ini adalah bentuk diskriminasi dalam pendidikan. Semua ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalis-sekulerisme yang telah menjadikan pendidikan sebagai komoditi yang bisa dijual dan sistem kurikulum pun sangat jauh dari nilai agama.

Diskriminasi pendidikan pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial. Orang kaya dengan pendidikan yang bagus tentu memiliki peluang kerja yang lebih baik dengan penghasilan yang tinggi. Sebaliknya, mereka yang miskin, karena SDM-nya kurang baik, akan lebih sulit mencari pekerjaan dengan gaji yang layak. Jadilah di tengah masyarakat muncul kesenjangan antara mereka yang miskin dan yang kaya. Kesenjangan ini jika terus dibiarkan akan menjadi potensi konflik sosial yang tinggi. Pendidikan yang diskriminatif ini juga akan memperlemah negara. Negara akan gagal menciptakan generasi muda yang berkepribadian dan berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan adalah buah rezim kapitalis. Sekolah dalam pandangan kapitalis tidak lebih dari pabrikan yang akan menghasilkan manusia- manusia dengan SDM yang murah dan mudah dieksploitasi.

Sungguh berbeda dengan Sistem Islam. Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan salah satu kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Pendidikan termasuk pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting. Pendidikan merupakan kebutuhan asasi dan harus dijalani oleh manusia dalam hidupnya. Pendidikan bukan sebagai kebutuhan sampingan, karena tanpa pendidikan martabat manusia tidak akan mulia. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tanpa membedakan martabat, usia maupun jenis kelamin seseorang. Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung. Dan syarat telah menetapkan bahwa negara yang secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan kebutuhan primer ini. Rasulullah SAW bersabda: Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR.Bukhari dan Muslim).

Negara wajib membuka dan membangun sekolah-sekolah dasar, menengah maupun pendidikan tinggi dalam jumlah yang memadai sesuai dengan jumlah rakyat yang akan belajar, baik itu anak-anak maupun orang-orang dewasa yang buta aksara. Kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan martabat umat serta mewujudkan kemajuan material dan moral. Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi, gaji guru, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Negara wajib menyempurnakan sektor pendidikan melalui sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab Khilafah Islam, ialah berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW dan ijma sahabat.

Pertanyaannya, bagaimana negara bisa membiayai sistem pendidikan gratis bagi seluruh rakyat? Sistem pendidikan dalam Islam harus didukung dengan sistem ekonomi Islam pula. Dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum, antara lain untuk menjamin pembiayaan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah). Hal ini sangat berbeda dengan pengaturan di era kapitalisme dimana sumber daya alam justru diprivatisasi. Adanya privatisasi ini, menjadikan kekayaan alam negara hanya dikuasai oleh segelintir orang, sedang masyarakat secara umum harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan akan pendidikan.

Sungguh Ironi, kapitalisme telah menjadikan diskriminasi pendidikan terjadi di negeri ini. Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya. Seharusnya akan sangat mampu membiayai pendidikan seluruh warga negara. Namun faktanya pendidikan di Indonesia saat ini justru menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Hal ini menyebabkan tidak semua warga negara Indonesia bisa merasakan pendidikian secara layak dan memadai hingga ke perguruan tinggi. Sungguh, ini adalah bentuk dikriminasi pendidikan. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan membiarkan diskriminasi ini? Sudah selayaknya kita meninggalkan sistem pengaturan kapitali-sekulerisme yang nyata menimbulkan kesenjangan di tengah masyarakat. Nyata pula pendidikan yang dibangun di atas sekulerisme tidak bisa mencetak anak didik yang berkualitas yakni mereka yang berkepribadian Islam dan menguasai ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan umat, sebagaimana ketika sistem Islam berjaya dahulu.

Tengoklah Imam Syafi’i dan ibnu Rusyd. Mereka adalah potret generasi cemerlang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan islam saat kejayaannya. Maka sudah saatnya, kita mencampakkan sistem kapitalis- sekulerisme ini yang nyata gagal menjamin pendidikan yang berkualitas. Selanjutnya kita harus berupaya mengembalikan sistem Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk seluruh warga negara Indonesia. Wallahu A’lam bi Showab.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pendidikan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...