Oleh Givary Apriman pada hari Rabu, 07 Okt 2020 - 09:37:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Komisi VII DPR RI Pertanyakan Murahnya Harga Ekspor Solar Ke Malaysia

tscom_news_photo_1602038212.JPG
Eddy Soeparno (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mempertanyakan ekspor solar jenis High Speed Diesel (HSD) yang dilakukan PT. Pertamina (Persero) ke Malaysia dengan harga yang murah.

Harga tersebut lebih murah dibanding harga yang dijual di dalam negeri, yakni sekitar 9,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk satu kargo atau sekitar 200 ribu barel.

Ekspor perdana produk HSD 50 PPM Sulphur yang dilakukan pada 5 September 2020 lalu ini dilakukan Pertamina Refinery Unit V Balikpapan ke Malaysia melalui kapal MT. Ridgebury Katherine Z.

“Perlu diklarifikasi, mengenai isu yang berkembang di publik. Mengenai adanya perbedaan harga HSD di dalam negeri yang lebih mahal harganya ketimbang ekspor. Jika demikian adanya, hal ini tentunya mengecewakan masyarakat Indonesia,” ujar Eddy Soeparno saat memimpin RDP Komisi VII DPR RI dengan Direksi PT. Pertamina di Gedung Nusantara I, Senayan Jakarta, Senin (05/10/2020).

Selain Eddy, Anggota Komisi VII DPR RI lainnya yaitu Kardaya Wanika juga mengatakan bahwa isu penjualan solar dengan harga lebih murah ke Malaysia sungguh tidak mengenakkan.

Hal itu menjadi isu negatif buat Pertamina. Pasalnya meski yang diekspor Pertamina adalah HSD, namun orang awam tetap akan memahaminya sebagai ekspor solar.

“Pengertian umum HSD, ada kata-kata dieselnya, pengertian orang awam itu solar juga. Oleh karena itu saya meminta penjelasan dari Pertamina terkait keputusan ekspor solar tersebut,” ungkap Kardaya.

Menjawab hal tersebut, CEO Subholding refinery and petrochemical Pertamina, Ignatius Tallulembang menjelaskan bahwa ekspor HSD tersebut tak lepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang juga berdampak pada operasional kilang dan juga permintaan (demand) HSD di dalam negeri.

Dimana selama masa pandemi covid-19, kilang Pertamina dioperasikan pada kapasitas minimum (turn down ratio) pada 75 persen.

Saat kapasitas operasional minimum, daya serap (demand) dalam negeri masih rendah, sementara daya tampung (storage) pun sudah hampir penuh.

Meski storage penuh, namun operasional kilang tetap tidak boleh berhenti. Sebab, berhentinya kilang justru mendatangkan kerugian yang lebih besar.

“Kalau kita stop, artinya bukan solar saja yang tidak bisa dihasilkan. Tapi produk lain yang kita butuhkan seperti gasoline, LPG dan sebagainya juga," sambung Tallulembang.

Oleh karena itu, ia menilai ekspor HSD yang dilakukan Pertamina sudah mempertimbangkan mitigasi risiko dari operasional kilang, serta kondisi demand di masa pandemi Covid-19 ini.

Sementara itu terkait harga ekspor yang lebih murah dibanding dalam negeri, Tallulembang mengaku harga ekspor pada produk HSD tersebut telah merujuk pada harga pasar yang berlaku saat itu.

“Harga jualnya menyesuaikan harga pasar saat itu, ada term-nya. Ini adalah foB, artinya beli berdasarkan harga Balikpapan, sesuai harga pasar," ujarnya.

tag: #eddy-soeparno  #dpr  #pertamina  #komisi-vii  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Berita

MK Jamin Tak Ada Deadlock saat Pengambilan Keputusan Sengketa Pilpres

Oleh Sahlan Ake
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) menjamin tidak akan ada deadlock dalam pengambilan putusan sengketa Pilpres 2024. Saat ini, Hakim Konstitusi masih melaksanakan rapat ...
Berita

Pemprov DKI Jakarta Apresiasi Bank DKI Penyumbang Dividen Terbesar

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemprov DKI Jakarta melalui Kepala Badan BP BUMD Provinsi DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono menyampaikan apresiasi atas kontribusi Bank DKI sebagai Badan Usaha Milik ...