JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Perdebatan publik tentang sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu Legislatif yang mencuat seiring uji materi terhadap Pasal 166 Ayat (2) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 oleh pihak tertentu di Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini dan akhir-akhir ini semakin marak dibahas oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Terlebih lagi sesudah delapan Partai Politik menyatakan sikap menolak sistem proporsional tertutup,telah disusul kemudian oleh Prof. Dr.Yusril, pakar hukum tata negara dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dalam suatu acara Rakornas PBB baru-baru ini menerangkan "penggunaan sistem proposional tertutup jauh lebih bermanfaat daripada sistem proposional terbuka.
Sebab jika tertutup, Yusril menyebut masyarakat akan memiliki anggota DPR RI yang lebih baik dari sekarang, karena siapapun bisa menjadi anggota DPR meskipun tak punya uang banyak". Lebih dari itu, Ketum PBB itu menyatakan “akan datang ke MK untuk menjadi pihak terkait dalam gugatan uji materi UU Pemilu itu.”
Menyikapi perdebatan itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI, Ir. Ali Wongso dengan tetap menghormati perbedaan pendapat dan tidak mengurangi rasa hormat kepada Pro.Dr.Yusril, mengingatkan semua pihak termasuk para pakar hukum dan politik serta kepada yang mulia para Hakim Konstitusi MK tanpa bermaksud membatasi kemerdekaannya sesuai Undang-Undang, hendaknya ekstra hati-hati dan diharapkan berpikir rasional kritis serta komprehensif mulai dari mengidentifikasi apa masalah sesungguhnya hingga bagaimana pemecahan masalahnya yang efektif dan konstruktif dengan mengutamakan kepentingan kemajuan bangsa negara kedepan.
Apapun dan bagaimanapun pemecahan masalah nya, seharusnyalah berorientasi membangun sistem demokrasi politik nasional yang demokratis sejalan dengan semangat reformasi 1998 dalam koridor Pancasila dan UUD 1945 untuk menghasilkan perwakilan rakyat terbaik integritasnya serta kompetensinya sebagai bagian dari kekuatan strategis memajukan kehidupan rakyat, bangsa dan negara kedepan.
Mahkamah Konstitusi sesuai Undang-Undangnya, bahwa selain tidak bisa mengambil alih peranan DPR RI selaku pembuat Undang-Undang, juga jelas tidak bisa membatalkan “sistem proporsional terbuka” itu hanya karena timbulnya masalah akibat berbagai ekses dalam pelaksanaan sistemnya pada beberapa kali Pemilu Legislatif, dan bukan karena melanggar UUD 1945.
"Jika ada pendapat bahwa “sistem proporsional terbuka” melanggar UUD 1945, tentu itu sangat naif, yang berarti negara bangsa ini telah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu yang melanggar UUD 1945! Tentu tidak, jadi prinsipnya bagi SOKSI adalah masalah harus dipecahkan dengan solusi efektif tetapi ibarat “banyak tikus didalam lumbung, maka lumbungnya harus diselamatkan tetapi “Jangan membakar lumbung untuk membasmi tikus," tegasnya kepada wartawan pada Senin siang (16/01/2023) di Jakarta.
Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu, melanjutkan bahwa sistem proporsional terbuka jauh lebih demokratis daripada sistem proporsional tertutup. Lebih demokratis itu bukan selalu berarti “liberalisme”, tetapi lebih pada penguatan implementasi bahwa kedaulatan negara ini berada ditangan rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 1 UUD 1945, jadi jika UU mengatur warga negara berdaulat memilih siapa-siapa caleg yang dipercayainya, dikehendaki dan dipilihnya untuk mewakili kepentingannya di DPR RI dan DPRD, adalah konstitusional, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut diuraikannya bahwa jika dengan sistem proporsional tertutup, rakyat pemilih yang berdaulat berdasarkan Konstitusi itu, tidak mempunyai peluang menggunakan hak politiknya untuk memilih siapa caleg yang dipercayainya dan dikehendakinya mewakili kepentingannya di DPR RI dan DPRD.
Sistem proporsional tertutup hanya memberikan kepada rakyat pemilih sebatas memilih Partai Politik karena peluangnya untuk memilih siapa caleg yang dipercayai dan dikehendakinya untuk mewakili kepentingannya di DPR RI dan DPRD, sudah diambil alih otoritas pimpinan Partai Politik yang berwenang menyusun nomor urut caleg.
Sedangkan dengan sistem proporsional terbuka, rakyat pemilih memiliki peluang sebesar-besarnya menggunakan hak politiknya untuk memilih langsung siapa orangnya caleg-caleg yang dipercayainya dan dikehendakinya dari antara sekian banyak caleg yang tersediakan oleh Partai-Partai Politik untuk dipilihnya mewakili kepentingannya di DPR RI dan DPRD.
Jadi jelas sistem proporsional terbuka jauh lebih demokratis daripada sistem proporsional tertutup , dan sistem proporsional terbuka jelas tidak bertentangan dengan konstitusi, lalu mengapa dan apa masalahnya hingga “sistem proporsional tertutup dikatakan jauh lebih bermanfaat daripada sistem proporsional terbuka” ? Juga dikatakan “bahwa dengan sistem proporsional tertutup, masyarakat akan memiliki anggota DPR RI yang lebih baik dari sekarang, karena siapapun bisa menjadi anggota DPR meskipun tak punya uang banyak"?
Menanggapi itu, mantan anggota DPR RI itu mengatakan, secara obyektif implementasi sistem proporsional terbuka didalam Pemilu Legislatif 2014 dan 2019 telah ditandai ekses-ekses antara lain “politik uang dan kanibalisme politik” yang tentu sangat mencederai demokrasi pemilu itu sendiri dan tentu berakibat negatif terhadap ekspektasi produk Pemilu Legislatif yang diperlukan integritasnya selain kompetensinya guna memajukan kehidupan rakyat, bangsa dan negara.
SOKSI setuju dan mendesak semua pihak termasuk kehadiran negara khususnya KPU dan Bawaslu, untuk bersama-sama mencegah dan memberantas ekses-ekses itu.
Politik uang oleh para oknum caleg dengan rakyat pemilih, istilahnya “NPWP” (Nomor Piro Wani Piro) yang biasanya dieksekusi melalui "serangan fajar", telah bertumbuh pesat dan meluas dimana-mana terutama sejak Pemilu Legislatif 2014. Seolah-olah “politik uang” itu sudah merupakan tradisi pemilu legislatif selain pada pilkada yang sepertinya dianggap bukan pelanggaran hukum, karena jikalaupun tertangkap tangan oleh para oknum panwaslu, biasanya akan dapat diselesaikan secara “adat”, dengan "delapan enam" istilahnya.
Singkatnya, seseorang caleg meski berkompetensi dan berdedikasi tinggi tetapi oleh karena tidak punya uang cukup misalnya ataupun karena integritasnya sehingga tidak mau melakukan “politik uang”, maka didalam sistem proporsional terbuka yang membiarkan praktek “politik uang”, maka caleg tersebut dapat dipastikan hampir tak berpeluang untuk terpilih.
Ekses lainnya berupa “kanibalisme politik”, merupakan tindakan kriminal terhadap demokrasi politik pemilu dengan modus operandi lebih canggih dan keji daripada “politik uang”. Kanibalisme ini terjadi secara terselubung dan senyap melalui konspirasi oknum caleg tertentu dengan para oknum pelaksana dan oknum pengawas Pemilu diberbagai tingkatan, dimana suara pemilih dalam jumlah tertentu yang diperlukan, dapat berpindah dari suara partai tertentu atau partainya sendiri ke suara caleg tertentu ataupun dari suara caleg yang satu ke caleg lainnya.
Perpindahan suara itu berjalan sistematis mulai dari bawah keatas hingga membuat oknum caleg tertentu yang sebelumnya kalah bisa menjadi caleg menang terpilih dengan menimbulkan korban caleg yang sebelumnya menang secara fakta akumulasi perolehan suara di TPS, menjadi kalah.
Meskipun caleg korban dimungkinkan menggugat melalui Mahkamah Konstitusi, namun proses peradilan yang ada tidak mudah menegakkan kebenaran fakta-faktanya, sebab semua prosesnya berikut dokumen pembuktiannya umumnya sudah diantisipasi oleh konspirasi kanibalisme politik itu, .
Dengan memahami permasalahan tentang ekses-ekses implementasi sistem proporsional terbuka itu, dan orientasi memecahkan masalah dalam rangka membangun sistem demokrasi politik nasional yang demokratis dan menghasilkan perwakilan rakyat terbaik integritasnya serta kompetensinya untuk memajukan kehidupan rakyat,bangsa dan negara kedepan, sikap SOKSI tegas bahwa Indonesia harus maju terus.
Reformasi 1998 yang antara lain mendorong demokratisasi politik adalah positif tetapi harus disertai konsekuensi dan konsistensi melaksanakan agenda penegakan supremasi hukum dan penghapusan KKN secara efektif.
Karena itu, perdebatan publik tentang sistem proporsional terbuka atau tertutup ini, perlu dilihat sebagai momentum pelurusan arah reformasi itu, dimana demokratisasi yang sudah maju itu tak perlu ditarik mundur kembali, tetapi mutlak harus mengatasi segala eksesnya yang mencederai demokrasi itu sendiri secara efektif dan tuntas.
Bagi SOKSI, “Politik uang dan kanibalisme politik” itu adalah ibarat “tikus-tikus” demokrasi yang harus dicegah dan diberantas dengan cara yang tepat dan efektif untuk menyelamatkan lumbung, tanpa mesti membakar lumbungnya untuk membasmi tikus-tikus itu, ujar politisi senior Partai Golkar itu.
Menjawab pertanyaan wartawan, apakah segala ekses seperti “politik uang dan kanibalisme politik” itu mungkin diatasi dalam menghadapi Pemilu 2024 ? Ketua Umum SOKSI itu percaya penuh pada kepemimpinan nasional Presiden Jokowi untuk menegaskan bahwa negara ini kuat dan beliau selaku Kepala Negara sanggup meluruskan arah reformasi yang sudah berjalan 20 tahun lebih ini.
SOKSI percaya dan berharap pelurusan arah reformasi ini kearah Pancasila selaras amanat Pembukaan UUD 1945, akan menjadi bagian dari legacy yang sangat mendasar dan strategis dari kepemimpinan Presiden Jokowi. NKRI sebagai negara demokrasi dan negara hukum tidak boleh kalah tetapi harus menang terhadap “politik uang dan kanibalisme politik” yang merongrong dan merusak negara.
Sebagai urun rembug atau masukan, menurutnya yang mendesak dilakukan sekarang ini adalah bagaimana agar supaya negara secepatnya hadir melalui KPU berikut Bawaslu bersama Pemerintah mempersiapkan upaya besar strategis dan sistematis serta aplikabel berupa rangkaian perencanaan dan aksi yang integrated, tersruktur, sistematis dan massif, sehingga efektif mencegah dan memberantas “politik uang dan kanibalisme politik”, ibarat tikus-tikus demokrasi itu.
Bagaimana mencegah dan memberantas tikus-tikus itu, SOKSI sebagai Ormas berbasis ide dan gerakan pengabdian kekaryaan menawarkan paling kurang ada tiga langkah strategis simultan yang diperlukan segera sebagai solusi alternatif.
Pertama, menciptakan gerakan pendidikan politik rakyat pemilih yang efektif dan massif oleh Negara, khususnya oleh KPU dan simultan mendorong sebesar-besarnya partisipasi aktif masyarakat termasuk peran serta Partai Politik dan Ormas.
Pendidikan politik ini mesti bisa mendorong bertumbuhnya kesadaran dan kedewasaan politik rakyat pemilih beserta penyelenggara Pemilu bahwa “politik uang dan kanibalisme politik” itu adalah “kejahatan politik” dan termasuk kategori suap/korupsi (extra ordinary crime) agar supaya kemauan politik rakyat pemilih bertumbuh kuat untuk bergerak melawan keras “politik uang, kanibalisme politik” sebagai “tikus-tikus demokrasi politik” dengan segala kreasi rakyat pemilih di masing-masing wilayah, desa, kelurahan, sekaligus gerakan Pendidikan politik itu harus mampu meningkatkan kecerdasan rakyat pemilih untuk memilih caleg yang terpercaya baginya mewakili kepentingannya dengan basis pertimbangan track record integritas dan kompetensi para caleg.
Kedua, Seiring dengan pendidikan politik itu, KPU perlu membangun ruang kampanye dialogis yang seluas-luasnya bagi para caleg yang berkemauan berdialog dengan rakyat pemilih dan bahkan setelah dialog selain sosialisasi ide atau program para caleg itu, perlu dibuka kesempatan membuat "kontrak politik” antara rakyat pemilih dengan caleg yang bersedia dan dikehendaki para pemilih.
Ketiga, penguatan sistem manajemen penyelenggaraan pemilu berikut integritas dan kapasitas sumber daya manusia pengawas dan pelaksana Pemilu yang harus bisa memastikan transparansi publik yang membuka social control seluuas-luasnya guna menopang tegaknya pelaksanaan aturan hukum tanpa diskriminasi (supremasi hukum) , baik bagi penyelenggara pemilu maupun bagi para caleg dan bagi rakyat pemilih sendiri tanpa diskriminasi apapun.
Penegakan hukum oleh Bawaslu bersama aparat hukum terkait tanpa diskriminasi ini, merupakan kunci utama dan merupakan gerbang pengawasan terakhir dari ketiga langkah simultan mencegah dan memberantas “tikus-tikus demokrasi politik” itu.
Dengan berjalannya tiga langkah simultan itu, diharapkan bangsa negara ini akan berhasil mencegah dan memberantas “politik uang dan kanibalisme politik” dalam pelaksanaan sistem proporsional terbuka Pemilu Legislatif 2024 mendatang, maka Pemilu Legislatif 2024 akan berjalan demokratis, jujur adil dan bersih yang niscaya menghasilkan para Caleg terpilih DPR RI dan DPRD berkualitas dengan integritas dan kompetensi yang terbaik bagi kemajuan kehidupan rakyat, bangsa dan negara kedepan.
Selain sistem proporsional terbuka adalah jauh lebih demokratis, juga dengan ketiga langkah simultan mencegah dan memberantas “politik uang dan kanibalisme politik” maka Pemilu Legislatif 2024 niscaya menghasilkan para wakil rakyat yang jauh lebih baik mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan rakyat, utamanya dalam melaksanakan tugas legislasi, anggaran dan pengawasan yang akan makin efektif daripada jika kembali ke sistem proporsional tertutup.
SOKSI berharap semoga MK bersama bangsa negara ini tetap tegar dan berhasil membangun sistem demokrasi politik nasional yang makin kuat dan efektif untuk mendukung kemajuan keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju Indonesia maju kedepan, tegas mantan Ketua DPP Partai Golkar tiga periode itu.