Jakarta, 23 April 2025
Dalam setiap fase sejarah bangsa, selalu muncul tantangan yang menguji integritas sosial dan ketahanan negara hukum kita. Salah satu tantangan itu adalah premanisme, sebuah fenomena sosial yang tak hanya merepotkan masyarakat kelas bawah, tetapi juga merusak tatanan hukum dan etika dalam sistem kekuasaan. Premanisme bukan lagi sekadar soal kekerasan jalanan. Ia telah berkembang menjadi suatu sistem nilai menyimpang yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat modern—termasuk dunia politik dan birokrasi.
Di mata masyarakat awam, premanisme sering kali dikaitkan dengan individu-individu yang mencari keuntungan dari rasa takut, dari celah hukum, dan dari kekosongan kehadiran negara. Mereka bukan sekadar pelaku kriminal biasa, tetapi pelaku yang tahu bagaimana memainkan batas antara legal dan ilegal. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka tak ragu menggunakan simbol-simbol legalitas, seperti atribut organisasi massa atau relasi politik, untuk melindungi praktik-praktik ilegalnya.
Fenomena ini telah menjelma menjadi isme, suatu cara pandang dan cara bertindak yang tidak lagi melihat hukum sebagai acuan, tetapi sebagai alat tawar. Premanisme menjadi bentuk baru dari tirani minoritas yang bersenjatakan akses, relasi, dan keberanian untuk mengintimidasi. Premanisme ini yang kini merambah ke dalam ruang-ruang kekuasaan dan struktur pemerintahan.
Ambil contoh peristiwa penangkapan delapan orang diduga preman oleh aparat kepolisian di kawasan Cimanggis, perbatasan Jakarta–Depok, Maret lalu. Mereka ditangkap karena melakukan pemalakan terhadap sopir truk dan pedagang kecil. Para pelaku bahkan mengenakan atribut ormas, dan menyebut diri sebagai "pengaman wilayah"—padahal yang mereka lakukan adalah menebar rasa takut. Ini bukan kasus terisolasi. Di banyak daerah, praktik serupa berlangsung rutin dan dibiarkan selama tidak menimbulkan gejolak besar.
Jika ini dibiarkan, maka negara secara tidak langsung sedang memberi ruang bagi budaya kekerasan dan pemaksaan kehendak. Negara menjadi penonton dari teatrikal kekuasaan tanpa etika. Bahkan dalam dunia politik, premanisme tampil dalam bentuk manipulasi hukum, tekanan terhadap kader partai, hingga pembajakan struktur organisasi oleh pihak-pihak berkepentingan yang mengandalkan kekuatan uang dan pengaruh, bukan legitimasi demokratis.
Premanisme juga menandakan absennya kehadiran negara dalam melindungi warga dari ancaman kekuasaan informal. Tapi pertanyaannya, apakah negara benar-benar sedang menang? Ataukah justru sedang membiarkan premanisme bertransformasi menjadi bagian dari sistem itu sendiri?
Regulasi yang ada saat ini terbukti belum cukup. Banyak celah hukum yang dimanfaatkan oleh para pelaku. Undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan, misalnya, masih membuka ruang abu-abu dalam pembentukan dan pengawasan ormas. Belum lagi sistem penegakan hukum kita yang masih lemah, seringkali membiarkan pelaku premanisme lolos karena faktor tekanan politik, ekonomi, atau bahkan kedekatan pribadi.
Reformasi hukum adalah jalan utama. Regulasi perlu diperkuat dengan tafsir yang tegas dan sanksi yang jelas. Selain itu, harus ada pengawasan ketat terhadap aparat penegak hukum yang bermain mata dengan pelaku premanisme. Institusi seperti Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan harus menjadi garis depan dalam memutus rantai kekuasaan informal yang membeking praktik-praktik menyimpang ini.
Perlu pula digagas pembuatan Undang-Undang tentang Pemberantasan Premanisme, dengan fokus pada praktik kekerasan terorganisir, intimidasi sistematis, dan penggunaan simbol legalitas untuk tindakan melawan hukum. Undang-undang ini tidak boleh menjadi alat represi, tetapi alat perlindungan masyarakat dari kekuasaan informal yang tak bertanggung jawab.
Di saat yang sama, pendidikan kewargaan dan etika publik harus diperkuat. Masyarakat perlu dibekali keberanian dan perlindungan saat melawan tindakan premanisme. Budaya hukum harus dibentuk dari bawah, dari keluarga, sekolah, dan komunitas. Media juga punya peran penting dalam menyuarakan kasus-kasus ini, agar tak tenggelam oleh narasi besar politik dan ekonomi.
Premanisme, pada akhirnya, bukan sekadar persoalan kriminalitas. Ia adalah cermin dari rapuhnya etika dalam kekuasaan. Dan ketika kekuasaan kehilangan etika, maka hukum hanya tinggal prosedur tanpa jiwa. Ini yang harus kita lawan bersama—dengan regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tak pandang bulu, dan keberanian moral untuk berkata tidak terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang.
Seperti kata Gus Dur: "Kebenaran tanpa kekuasaan itu rapuh. Tapi kekuasaan tanpa kebenaran adalah tirani." Dalam konteks premanisme, kita tak boleh memilih antara keduanya. Kita butuh kekuasaan yang berdiri di atas kebenaran. Itulah satu-satunya jalan agar hukum kembali menjadi panglima, dan rakyat bisa hidup tanpa rasa takut.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #