JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menyoroti kasus mafia tanah yang menimpa seorang warga di Kabupaten Bantul, Mbah Tupon. Ia mempertanyakan proses agunan tanah milik lansia berusia 68 tahun tersebut yang dilakukan terduga mafia tanah terkait proses verifikasi oleh pihak bank terhadap lahan yang dijadikan jaminan itu.
“Tentunya kita merasa prihatin atas kejadian yang menimpa Mbah Tupon ini. Kita berharap keadilan dapat ditegakkan dan hak-hak Mbah Tupon beserta keluarganya dapat segera kembali,” kata Mufti Anam, Jumat (2/5/2025).
Seperti diketahui, publik tengah menaruh perhatian terhadap kisah menyedihkan Mbah Tupon yang diduga menjadi korban mafia tanah. Mbah Tupon yang tinggal di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikagetkan dengan kedatangan pihak bank atau salah satu lembaga keuangan BUMN yang menyatakan akan melelang tanahnya seluas 1.655 meter.
Usut punya usut, kasus ini bermula saat Mbah Tupon menjual sebagian tanah miliknya. Awalnya lansia yang tak bisa baca tulis ini memiliki tanah seluas 2.100 meter. Tanah tersebut dijual seluas 298 meter persegi dengan tambahan 90 meter persegi untuk akses jalan.
Mbah Tupon juga menghibahkan sebagian kecil tanah aset warisannya tersebut untuk dijadikan gudang RT, hingga tersisa 1.655 meter persegi. Kemudian, Mbah Tupon hendak memisah sertifikat tanah-tanah yang telah terbagi itu dibantu oleh pihak pembeli lahannya.
Rupanya, pihak yang mengurus tanah Mbah Tupon tidak amanah. Diduga ada pihak yang memanfaatkan kekurangan Mbah Tupon yang tidak bisa baca tulis hingga dalam prosesnya, tanah seluas 1.655 meter persegi milik Mbah Tupon beralih nama tanpa sepengetahuan sang pemilik.
Mbah Tupon diminta untuk tanda tangan berkas yang tidak diketahui isinya dan ternyata itu adalah pengalihan hak. Setelah pihak tersebut mendapat tanda tangan pengalihan, lalu lahan Mbah Tupon dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman dari salah satu bank atau lembaga keuangan BUMN senilai Rp 1,5 M.
Kini Mbah Tupon terancam kehilangan sisa tanahnya beserta dua bangunan rumah yang ada di area lahan tersebut sebab pihak yang menjadikan tanah Mbah Tupon sebagai jaminan utang tidak pernah mencicil bayar sehingga lahan yang dipersoalkan itu akan dilelang pihak bank.
Terlepas dari kasus penipuan terkait pergantian nama sertifikat lahan Mbah Tupon, Mufti menyoroti proses agunan dengan jaminan tanah yang dimaksud. Meskipun peminjam dapat membuktikan keabsahan dokumen sertifikat tanah hasil penipuan, ia menyebut pihak bank seharusnya melakukan verifikasi secara menyeluruh.
Mufti mengatakan, biasanya proses agunan dengan jaminan tanah melibatkan survei ke lokasi agunan di mana survei ini dilakukan untuk memastikan kondisi fisik agunan, verifikasi dokumen, dan juga untuk menentukan nilai agunan.
“Lalu apakah pihak bank melakukan verifikasi dokumen dengan mendatangi lokasi lahan yang diagunkan? Kalaupun iya, Mbah Tupon dan keluarganya bahkan tidak mengetahui tanah dan bangunan rumahnya diagunkan ke bank,” ucapnya.
Mufti berpandangan lemahnya proses validasi dari lembaga keuangan menimbulkan pertanyaan serius tentang kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini, keterlibatan bank dalam skema ini juga dianggap bermasalah dari sisi etis dan yuridis.
"Seperti apa proses verifikasinya sampai bobol begini. Apa tidak disurvei oleh pihak bank atau gimana? Kok tahu-tahu mau lelang aja,” sebut Mufti.
Anggota Komisi di DPR yang bermitra dengan BUMN, termasuk bank atau lembaga keuangan tempat sertifikat tanah Mbah Tupon diagunkan itu, menyoroti kegagalan proses verifikasi dokumen. Menurut Mufti, kegagalan ini terutama terkait kejelasan kepemilikan tanah yang menjadi jaminan utang, maupun identitas debitur.
"Sebagai lembaga keuangan yang tunduk pada prinsip kehati-hatian, bank semestinya memiliki mekanisme uji tuntas (due diligence) sebelum menerima agunan,” tegasnya.
Mufti juga berpandangan kasus tanah Mbah Tupon yang dijadikan jaminan oleh mafia tanah menunjukkan indikasi kelalaian pihak bank atau kemungkinan keterlibatan pihak tertentu yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan hukum.
“Jika proses verifikasi ini dilakukan secara seksama sejak awal, semestinya pihak bank tahu ada indikasi penipuan saat proses pengajuan pinjaman oleh debitur. Atau apakah ada oknum-oknum tertentu yang main mata dengan pihak debitur?” sambung Mufti.
Lebih lanjut, Mufti mempersoalkan bank BUMN yang tak hanya gagal dalam proses verifikasi kepemilikan tanah yang dijadikan jaminan utang, namun juga dalam prosedur pelelangan lahan Mbah Tupon.
“Apakah sudah memberikan surat peringatan? Atau pihak bank sudah mencari debitur sebelum tiba-tiba datang ke rumah Mbah Tupon dan menyatakan akan melelang rumah dan lahannya?” ujar Mufti.
“Kan saat proses pengajuan utang, pihak bank semestinya bertemu dan banyak berkontak dengan orang yang mengajukan pinjaman,” tambah Legislator dari Dapil Jawa Timur II itu.
Oleh karenanya, Mufti mendesak pihak bank untuk segera melakukan klarifikasi sehingga kasus ini menjadi jelas. Termasuk dengan menjelaskan proses verifikasi pengajuan pinjaman yang menjadikan lahan Mbah Tupon sebagai jaminan, dan membuka siapa-siapa saja yang terlibat pada proses agunan tanah Mbah Tupon.
“Jika bank terbukti lalai dalam memverifikasi keabsahan kepemilikan atas agunan, maka pelelangan aset tersebut tidak hanya cacat secara moral, tetapi juga berpotensi melanggar hukum," jelas Mufti.
Mufti pun mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap proses pemberian pinjaman, termasuk validasi jaminan oleh pihak bank atau lembaga keuangan yang dimaksud.
"OJK perlu mengevaluasi proses kredit dan validasi jaminan yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mafia tanah. Apabila ditemukan unsur kelalaian atau keterlibatan aktif, maka sanksi administratif maupun hukum perlu dijatuhkan,” tukasnya.
Di sisi lain, Mufti bersyukur karena Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Negara (BPN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memblokir sertifikat tanah milik Mbah Tupon yang tiba-tiba berganti nama kepemilikan menjadi Indah Fatmawati. Saat ini lahan Mbah Tupon berstatus quo, yang artinya proses lelang juga tidak bisa dilakukan sampai sengketa selesai.
Mufti menekankan perlindungan hukum bagi kelompok rentan seperti lansia dari praktik mafia tanah yang melibatkan oknum notaris, perantara, hingga institusi keuangan harus dilakukan.
"Kasus Mbah Tupon bukan hanya masalah hukum, ini menyangkut keadilan dan kemanusiaan. Bagi masyarakat desa seperti Mbah Tupon, aset warisan juga merupakan sebuah kebanggaan keluarga, legacy dari orang tua atau leluhur,” urai Mufti.
“Dan kalau sampai legacy ini hilang dengan cara tidak adil, tentunya dapat menimbulkan masalah sosial bagi keluarga yang menjadi korban. Maka kehadiran negara sangat dibutuhkan di sini,” sambungnya.
Sebagai solusi jangka panjang terkait persoalan agunan, Mufti mendorong pembentukan sistem verifikasi kepemilikan tanah yang lebih ketat di sektor pembiayaan nasional. Hal ini diperlukan agar ke depan tidak ada lagi rakyat kecil yang menjadi korban kejahatan sistemik bermodus legal.
"Kita harus pastikan lembaga keuangan tidak menjadi alat kejahatan dan dapat melindungi masyarakat yang rentan, sehingga tidak lagi ada Mbah Tupon-Mbah Tupon lainnya,” tutup Mufti.