JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding menegaskan bahwa penanganan kasus kematian anggota Propam Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), Brigadir Muhammad Nurhadi, harus dilakukan secara transparan. Ia menilai bahwa perkara ini adalah ujian nyata terhadap komitmen reformasi di tubuh Polri, terutama menyangkut penegakan hukum yang setara dan bebas dari impunitas.
“Tragedi kematian Brigadir Muhammad Nurhadi tidak hanya meninggalkan luka di tubuh Polri, tetapi juga menimbulkan kekecewaan publik yang mendalam terhadap wajah penegakan hukum di negeri ini. Penanganan kasus ini harus transparan. Ini adalah ujian nyata komitmen reformasi Polri," kata Sudding, Rabu (9/7/2025).
Seperti diketahui, Brigadir Muhammad Nurhadi ditemukan tewas di kolam renang sebuah penginapan di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara pada 16 April 2025. Nurhadi diajak atasannya, Kompol YG dan Ipda HC untuk bersenang-senang dan berpesta di sebuah villa privat. Selain ketiga polisi, juga ada 2 perempuan ikut serta.
Dari laporan Polisi, Nurhadi terlebih dahulu diberi obat penenang. Setelah itu, Nurhadi disebut sempat mencoba merayu dan mendekati salah satu teman wanita tersangka. Hal itu diketahui lewat rekaman dari kamera CCTV yang berada di lokasi.
Nurhadi kemudian ditemukan tewas di private pool yang ada di dalam villa. Hasil autopsi menunjukkan adanya sejumlah luka pada tubuh korban, termasuk lecet, memar, dan robek di kepala, tengkuk, punggung, serta kaki kiri. Luka di kepala diduga akibat Nurhadi membentur benda tumpul.
Yang lebih mengejutkan, tulang lidah korban juga ditemukan patah yang diduga kuat diduga dicekik pelaku. Pada jenazah Nurhadi, ditemukan pula air kolam yang masuk ke bagian tubuh korban. Nurhadi disimpulkan masih hidup usai dianiaya dan meninggal karena tenggelam di kolam akibat pingsan.
Sudding pun menyoroti gaya hidup aparat kepolisian dalam kasus ini, termasuk soal berpesta dengan diduga menggunakan obat-obatan.
“Bagaimana Polisi sebagai pengayom masyarakat dapat dipercaya bila personelnya kerap kali diketahui melakukan hal-hal yang melanggar kode etik dan nilai-nilai moral, serta pidana,” tukasnya.
Terkait insiden ini, pihak kepolisian telah menetapkan Kompol YG dan Ipda HC karena diduga terlibat dalam penganiayaan yang mengakibatkan kematian Brigadir Nurhadi. Dua perwira polisi itu juga disanksi pemberhetian tidak dengan hormat. Sebelumnya Kompol YG dan Ipda HC diketahui sempat berbohong dan menyatakan Brigadir Nurhadi meninggal karena tenggelam.
“Saya mendukung pemberian sanksi pemecatan terhadap 2 pelaku dari institusi Polri, tapi proses pidana harus tetap berjalan. Tidak boleh hanya berhenti sampai pemecatan karena pelaku sudah menyebabkan kematian pada seseorang,” sebut Sudding.
Polisi juga menetapkan perempuan berinisial M (23 tahun) sebagai tersangka. M berada di vila tersebut lantaran sepakat menerima bayaran Rp 10 juta dari Kompol YG untuk menemaninya berpesta dan bermalam di vila tersebut.
Motif di balik dugaan pembunuhan ini disinyalir karena upaya korban merayu rekan wanita salah satu atasannya. Hingga kini penyelidikan masih berlangsung.
Menanggapi hal itu, Sudding mengkritik sempat munculnya narasi awal yang menyebut bahwa Brigadir Nurhadi meninggal karena tenggelam dan baru berubah setelah ada penyelidikan lebih lanjut. Ia mengingatkan agar jangan sampai ada yang menutup-nutupi kasus ini.
"Fakta bahwa narasi tersebut baru berubah setelah adanya penyelidikan lanjutan memperkuat dugaan bahwa ada potensi penanganan awal yang tidak transparan. Bila benar terdapat upaya menutupi atau memanipulasi informasi, hal ini harus ditindaklanjuti secara serius,” tegas Sudding.
Anggota komisi bidang penegakan hukum DPR itu menyatakan bahwa impunitas dalam tubuh institusi penegak hukum akan merusak kepercayaan publik. Karenanya, Sudding mendorong pembentukan tim pemantau independen dari Komnas HAM, Kompolnas, dan pengawas internal Polri.
"Tujuannya bukan hanya untuk menjamin proses hukum yang adil, tetapi juga untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat," jelas Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah tersebut.
Sudding juga menekankan bahwa kasus kematian Brigadir Nurhadi bukan hanya soal satu individu, tetapi soal prinsip keadilan di negara hukum.
"Tragedi ini bukan hanya tentang satu korban. Ini tentang bagaimana institusi yang diberi kewenangan untuk menegakkan hukum justru diuji ketika menghadapi kasus pelanggaran dari dalam,” terang Sudding.
“Ini soal bagaimana negara memperlakukan keadilan apakah sebagai prinsip yang universal, atau sebagai fasilitas yang hanya berlaku pada hierarki tertentu," sambungnya.
Sebagai bagian dari reformasi kelembagaan, Sudding menekankan pentingnya pembenahan menyeluruh dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) Polri. Terutama terkait pembinaan, sistem pengawasan internal, dan mekanisme evaluasi karier.
"Kasus ini menunjukkan bahwa pembinaan personel belum menyentuh akar budaya kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Reformasi Polri tidak cukup hanya struktural harus sampai pada pembenahan SDM secara serius," ucap Sudding.
Lebih lanjut, Sudding menyerukan agar tidak ada ruang bagi kekerasan dalam tubuh kepolisian. Ia juga meminta tidak boleh ada perlindungan terhadap personel Polri yang melakukan tindak kejahatan seperti penganiayaan terhadap Brigadir Nurhadi.
"Polri harus menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan di tubuhnya sendiri. Dan negara, termasuk pimpinan tertinggi di institusi kepolisian, harus memberi pesan tegas bahwa tidak akan ada perlindungan terhadap pelaku kejahatan terlepas dari pangkat, jabatan, atau seragam yang dikenakan," paparnya.
"Keadilan untuk Brigadir Nurhadi bukan semata soal proses hukum yang berjalan, tetapi soal apakah kita masih mampu membuktikan bahwa hukum di republik ini bekerja untuk semua tanpa kecuali," tutup Sudding.