Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 03 Sep 2025 - 08:00:04 WIB
Bagikan Berita ini :

Hardjuno Wiwoho: Rakyat Muak akan Korupsi, RUU Perampasan Aset Bisa Dimulai dengan Pemiskinan Koruptor

tscom_news_photo_1756870911.jpg
Hardjuno (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Di tengah kemarahan publik atas praktik korupsi yang kian vulgar, Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menyampaikan sikap yang tegas namun penuh kehati-hatian. Menurutnya, desakan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset memang tepat, tetapi perlu dikawal agar tidak berubah menjadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang.

Lebih dari itu, Hardjuno menilai bahwa esensi utama dari dorongan publik bukan sekadar perampasan aset, melainkan pemiskinan total terhadap para pelaku korupsi yang selama ini hidup mewah tanpa pertanggungjawaban.

“Hukum kita sudah punya semua alat untuk memiskinkan koruptor. Tapi semua itu mandul karena tidak digunakan secara maksimal. Jadi masalah kita bukan kekurangan undang-undang—tapi kekurangan keberanian dan moralitas,” ujar Hardjuno dalam keterangannya, Selasa (2/9).

UU-nya Sudah Ada, Tapi Tak Dijalankan

Menurut Hardjuno, kesalahan publik bila mengira Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk memiskinkan koruptor. Justru sebaliknya—undang-undang yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta hasil tindak pidana sudah tersedia sejak lama. Masalah utamanya bukan pada kekosongan hukum, tetapi pada kebiasaan hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten dan menyeluruh.

"Nah sebenarnya pemiskinan koruptor dengan UU yang ada ini ditegakkan dulu secepat-cepatnya. Bersihkan lembaga peradilan, sambil RUU Perampasan Aset disahkan dan mulai dijalankan," kata Hardjuno.

Ia mencontohkan, Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan negara untuk menyita dan melelang harta kekayaan terpidana guna mengganti kerugian negara. Jika kekayaan hasil korupsi tidak ditemukan, pelaku tetap diwajibkan membayar uang pengganti, dan hartanya yang lain dapat disita. Namun dalam praktiknya, banyak vonis pidana hanya menyasar tubuh pelaku, bukan kekayaannya.

"Bahkan vonisnya sendiri sering menguntungkan koruptor," katanya.
Hal serupa berlaku dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Negara sebenarnya memiliki kewenangan untuk menyasar kekayaan tak wajar yang tak dapat dijelaskan asal-usulnya. Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga memungkinkan penyitaan barang yang berkaitan dengan kejahatan.

Belum lagi putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa penyitaan harta hasil tindak pidana tidak melanggar hak asasi manusia selama melalui proses hukum yang adil.

“Kalau kita serius menjalankan semua itu, pemiskinan koruptor sudah bisa terjadi bahkan tanpa RUU baru. Tapi kenyataannya, semua alat itu dibiarkan tumpul. Kita lebih suka memberi kesan bahwa hukum bekerja, padahal sesungguhnya tidak. Maka jalankan dulu itu sambil RUU Perampasan Aset dibahas,” ujar Hardjuno.

Dua Alat: UU Perampasan Aset untuk Mega-Kejahatan, Pemiskinan Koruptor untuk Efek Jera

Namun demikian, Hardjuno tetap mendorong inisiatif RUU Perampasan Aset. Menurutnya, RUU tersebut bisa menjadi senjata strategis untuk mengejar hasil kejahatan besar, terutama yang selama ini tidak bisa disentuh oleh hukum biasa.

Ia menegaskan bahwa RUU ini harus diberi batasan ketat, misalnya hanya berlaku untuk kejahatan luar biasa seperti mega-korupsi, korupsi besar bantuan sosial, pencucian uang lintas negara, atau narkotika, dengan nilai kerugian minimal Rp1 triliun. Hal ini penting agar UU tidak digunakan untuk menyasar pelanggaran ringan atau menjadi alat balas dendam politik.

“RUU ini penting, tapi harus dikhususkan. Kalau tidak, kita membuka pintu penyalahgunaan yang lebih besar. Sasarannya jelas: koruptor kelas kakap, bukan rakyat kecil,” ujar Hardjuno yang disertasi doktoralnya di Universitas Airlangga mengangkat topik mengenai RUU Perampasan Aset di Indonesia ini.

Sebagai pelengkapnya, ia mendorong agar pemerintah dan DPR segera membangun mekanisme pemiskinan koruptor secara sistematis. Caranya? Dengan mengadopsi pendekatan “illicit enrichment”: siapa pun pejabat atau elite yang kekayaannya tidak sebanding dengan penghasilan sahnya, wajib dimintai penjelasan dan bisa disita jika tidak dapat membuktikan legalitas harta tersebut.

“Kalau gaji Rp1 miliar tapi hartanya Rp50 miliar tanpa bukti sah, rampas. Bukan karena kita dendam, tapi karena itu keadilan. Rakyat ingin para koruptor kehilangan semua yang mereka curi, sampai ke saldo terakhir,” tegas Hardjuno.

Realitas Pahit: Koruptor Tak Takut, Karena Tak Pernah Dimiskinkan

Menurut Hardjuno, akar krisis kepercayaan publik terhadap negara hari ini justru bukan karena rakyat tak paham hukum—tapi karena rakyat merasa hukum tidak pernah menyentuh yang kuat.

“Koruptor besar ditangkap, tapi hartanya masih ada. Keluarganya tetap kaya. Setelah keluar penjara, bisa nyaleg lagi. Rakyat tidak bodoh. Mereka tahu siapa yang selalu lolos,” ucapnya.

Inilah sebabnya, lanjutnya, pendekatan pemiskinan penting bukan hanya untuk efek jera, tapi juga sebagai simbol bahwa negara masih berdiri di pihak rakyat. Meski tetap menjunjung proses hukum, Hardjuno menyampaikan keraguannya terhadap efektivitas lembaga pengawas yang ada.

“Jangan kita pura-pura semua berjalan baik. KPK dilemahkan, pengadilan dipertanyakan, lembaga pengawas juga tak sepenuhnya kredibel. Maka UU baru harus punya desain perlindungan publik yang kuat, bukan sekadar pengawasan prosedural,” katanya.

Baginya, yang paling penting adalah: niat dan keberanian negara untuk benar-benar memutus rantai kejahatan korupsi lewat pemiskinan sistemik. Negara harus hadir dengan keadilan yang bisa dilihat dan dirasakan rakyat bukan hanya di atas kertas.

“Selama ini koruptor di Indonesia tidak takut. Karena yang hilang hanya kebebasannya sebentar, bukan hartanya. Sekarang saatnya kita balik: bikin koruptor takut kehilangan semuanya. Bikin mereka malu. Bikin mereka bangkrut. Di situ kepercayaan rakyat bisa mulai tumbuh kembali,” tutup Hardjuno.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement