Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 17 Sep 2025 - 19:23:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Kasus Pagar Laut Bekasi Berhenti di Tersangka, Hardjuno: Negara Jangan Biarkan Keadilan Mandek

tscom_news_photo_1758113684.jpg
Hardjuno (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kasus pagar laut di Desa Segarajaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sampai hari ini belum jelas kelanjutannya. Meski Bareskrim Polri telah menetapkan sembilan orang tersangka terkait dugaan pemalsuan sertifikat tanah di kawasan tersebut, hingga kini proses hukum dinilai belum menunjukkan perkembangan berarti.

Para tersangka yang terdiri dari mantan kepala desa, kepala desa aktif, perangkat desa, hingga petugas ukur dan operator komputer belum ditahan. Polisi beralasan para tersangka masih kooperatif, sementara berkas perkara masih dalam tahap koordinasi antara penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Agung.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya kelanjutan perkara ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. “Jangan sampai kasus ini berhenti hanya di penetapan tersangka. Publik menunggu kepastian hukum yang tegas, apalagi menyangkut aset negara dan akses masyarakat nelayan,” kata Hardjuno di Jakarta, Rabu (17/9).

Menurutnya, aparat penegak hukum perlu memastikan konstruksi perkara yang jelas agar tidak menimbulkan tafsir berbeda. Jika terdapat potensi kerugian negara, kasus ini sebaiknya diproses sebagai tindak pidana korupsi. “Kalau hanya diperlakukan sebatas pemalsuan dokumen, rasa keadilan masyarakat bisa terganggu. Karena pagar laut ini nyata-nyata menghambat akses publik,” ujarnya.

Konstruksi Hukum Belum Tegas

Hardjuno menjelaskan, konstruksi perkara saat ini masih mengerucut pada dua jalur: pemalsuan dokumen sertifikat dan potensi tindak pidana korupsi. Pemalsuan dokumen terlihat dari perubahan objek dan subjek pada sertifikat hak milik (SHM) yang kemudian diagunkan ke bank. Sementara dugaan korupsi muncul karena praktik tersebut berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sekaligus merugikan masyarakat luas yang kehilangan akses laut.

Namun, hingga kini belum ada kesepahaman antara penyidik dan jaksa terkait pasal yang paling tepat diterapkan. “Perbedaan tafsir inilah yang membuat berkas perkara berulang kali bolak-balik. Tarik-menarik konstruksi hukum seperti ini justru bisa memperlambat penyelesaian kasus dan melemahkan pesan keadilan,” kata Hardjuno.

Secara normatif, kasus pagar laut Bekasi seharusnya dapat segera dilanjutkan ke tahap persidangan. “Berdasarkan KUHAP, peran penyidik dan jaksa memang berbeda, tetapi keduanya wajib berkoordinasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Hardjuno.

Ia menambahkan, apabila unsur pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP telah terpenuhi, maka berkas perkara dapat diproses sebagai tindak pidana umum. “Tetapi kalau ada penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara, Undang-Undang Tipikor harus diprioritaskan sebagai lex specialis,” ujarnya.

Hardjuno juga menekankan bahwa masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum. “Koordinasi intensif antara Polri dan Kejaksaan perlu segera dilakukan agar tidak timbul kesan kasus ini berlarut tanpa arah. Prinsipnya, keadilan tidak boleh tertunda, karena penundaan hanya akan memperburuk kepercayaan publik,” kata Hardjuno.

Sebagai penutup, ia mengingatkan kasus ini menyangkut tata kelola lahan pesisir yang strategis. “Ini bukan sekadar sengketa sertifikat. Kasus pagar laut Bekasi harus menjadi momentum membenahi tata kelola lahan pesisir agar lebih transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat kecil,” tandasnya.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement