
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sengketa lahan seluas 164.151 meter persegi di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar, yang melibatkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk saat ini menjadi sorotan nasional.
Hukum menghadapi dilema saat ada sertipikat ganda. Meskipun sudah ada Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor 5/Yur/Pdt/2018 yang menegaskan bahwa sertipikat yang terbit lebih dulu terbit sejatinya adalah memiliki kekuatan bukti terkuat.
Pakar Hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, S.H., M.H. menilai kasus ini bukan hanya soal prioritas sertipikat, namun menjadi indikator adanya ketimpangan penegakan hukum agraria yang sistemik.
Menurut Prof Henry, mafia tanah selalu menciptakan dan memanfaatkan celah birokrasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga pengadilan untuk merampas hak milik sah pemilik aset baik tanah maupun bangunan.
"Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, keadilan agraria bukan sekadar norma, melainkan prinsip filosofis universal," jelas Prof Henry di Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini menambahkan meskipun yurisprudensi MA memberikan pedoman yang sangat jelas, namun implementasinya selalu terhambat oleh praktik kolusi dan pada ujungnya adalah terjadinya praktik korupsi.
"Kasus lahan Pak JK di kampungnya Makassar adalah pelajaran pahit. Seperti yang Pak JK jelaskan kepada publik, beliau memiliki empat SHGB sah dari 1996 dan 2008 yang didukung data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (ATR/BPN) yang mencatat 16 hektare lahan atas namanya. Namun, Putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar justru memihak GMTD tanpa verifikasi mendalam yang mendasarkan dilakukannya eksekusi paksa yang melanggar prosedur konstatering sebagaimana diatur Pasal 93 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021," urai Prof Henry.
Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur ini lalu menjelaskan bahwa eksekusi lahan tanpa proses konstatering, yaitu verifikasi lapangan resmi oleh BPN untuk memastikan kesesuaian dengan putusan pengadilan, menjadi pemicu utama konflik.
Hal ini seperti yang disampaikan Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Shamy Ardian bahwa faktor yang memicu terjadinya pergolakan karena ada pihak yang ingin melakukan eksekusi terhadap objek bidang tanah tanpa melalui konstatering.
"Ini bukan kebetulan. Mafia tanah selalu melibatkan oknum BPN hingga hakim, memanfaatkan ketidaklengkapan prosedur ini untuk menerbitkan sertifikat ganda. Dan polanya selalu berulang," beber Prof Henry.
Mafia Tanah dan Eksploitasi Korporasi
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 19 dan 32, melarang tumpang tindih hak dan sertipikat konklusif harus dihormati.
Namun secara faktual di lapangan, prioritas sertipikat pertama sering diabaikan demi kepentingan korporasi besar seperti Lippo Grup di balik GMTD.
Menurut Prof Henry yang juga Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini menerangkan bahwa seharusnya penegakan hukum harus sesuai dengan filosofi hukum itu dibuat.
Doktor cumlaude dari UNS ini lalu mengingatkan pemikiran bijak John Locke dalam Two Treatises of Government (1689) yang menegaskan hak atas tanah sebagai hak alamiah yang lahir dari kerja dan pencampuran dengan alam, yang menjadi fondasi UUPA dalam melindungi fungsi sosial tanah (Pasal 6).
"Locke berargumen bahwa properti adalah hak yang tak boleh dirampas tanpa persetujuan pemilik sah, sebuah prinsip yang dilanggar dalam kasus JK, sertipikat sah dirampas melalui rekayasa birokrasi," terang Prof Henry.
UUPA sebenarnya memiliki semangat keadilan sosial Pancasila sesuai pemikiran Locke bahwa tanah bukan komoditas mutlak korporasi, tapi hak yang harus menjamin kesejahteraan rakyat.
Celakanya, mafia tanah mengubahnya menjadi alat eksploitasi, di mana kerja keras JK selama puluhan tahun sebagai pengusaha, politisi, dan pejabat negara hingga jabatan Wapres nyaris sempurna diabaikan.
Pengacara kondang asal Jawa Tengah ini menyebut bahwa konflik semacam ini sudah pernah disampaikan Plato dalam Republik (sekitar 380 SM).
Saat itu Plato mengkritisi korupsi peradilan sebagai bentuk tirani yang merusak harmoni negara, sebab hakimsofis menjual keadilan demi keuntungan pribadi.
"Menurut Plato keadilan itu adalah ketika setiap orang melakukan tugasnya tanpa campur tangan. Dan kondisi ini runtuh ketika pengadilan menjadi sarang mafia," ungkap Henry meminjam filsuf kuno tersebut.
Ditambahkannya, Plato sudah mengingatkan bahwa peradilan korup adalah "penyakit jiwa negara". Dalam hal ini kebenaran agraria terkubur oleh kepentingan elite.
Kasus JK menjadi bukti bahwa tanpa penjaga filosofis, UUPA hanya tinta mati. Sebuah ketimpangan yang mencolok dalam penegakan hukum.
Data ATR/BPN mencatat 6.015 kasus sengketa tanah serupa hingga Oktober 2025, dengan 50% diselesaikan dan mayoritas menguntungkan pemilik kapital besar.
Sementara rakyat kecil terus kehilangan tanah warisan tanpa ganti rugi pantas.
"Seorang JK yang dua kali menjabat wapres dan memiliki akses hukum elit maupun kekuasaan saja harus berjuang di media. Bagaimana dengan nasib petani atau nelayan yang tak punya suara dan fakir segalanya? Ini bukti bahwa Reformasi Agraria dari UUPA yang progresif terkubur oleh praktik neoliberal, di mana tanah jadi komoditas mafia lintas lembaga," terangnya.
Prof Henry lalu menyarankan gugatan ke pengadilan tinggi guna membatalkan putusan PN Makassar berdasarkan yurisprudensi MA, disertai audit independen oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap proses penerbitan sertifikat di BPN Sulawesi Selatan.
Selain itu perlu ada moratorium eksekusi lahan sengketa hingga sistem digitalisasi sertifikat nasional rampung.
"Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemikiran Locke dan Plato, menurutnya, harus menjadi kompas Hukum Agraria. Hak tanah harus menjadi fondasi kebebasan, dan peradilan sebagai benteng kebenaran, bukan sarang korupsi," pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI).