JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Kontrak Jasa Rekrutmen Karyawan PT Bank Sumut pada 2015 menjadi temuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasalnya, kontrak yang dimenangkan LPPI-Jakarta senilai Rp 957,3 juta ini tidak dilakukan secara terbuka namun dilakukan dengan metode seleksi terbatas.
"Terdapat kelemahan dan/atau pelanggaran ketentuan dalam pelaksanaan pengadaan jasa rekrutmen calon pegawai PT Bank Sumut tahun 2015 dengan nilai Harga Perkiraan Sementara (HPS) sebesar Rp 957,33 juta." Demikian hasil temuan OJK yang informasi diterima redaksi, Sabtu (3/6/2017).
Dijelaskan, metode seleksi terbatas dalam ketentuan bank hanya diperuntukkan pada pengadaan Jasa Konsultasi dan maksimal nilai Pengadaannya sebesar Rp 200 juta. Tak hanya itu, proses rekrutmen ini mengganggap sebagai 'Jasa Lainnya'. Sedang temuan OJK menilai sebagai 'Jasa Konsultasi'.
OJK berpendapat bahwa rekrutmen SDM membutuhkan jasa keahlian profesional. Selain ini, OJK juga menemukan bahwa kontrak PT Bank Sumut dengan LPPI-Jakarta tanggal 18 September 2015 terdapat Test Psikologi, test TOEFL dan wawancara akhir yang membutuhkan tenaga ahli.
"Bank Sumut mencatat biaya rekrutmen SDM tersebut ke dalam Beban Jasa Konsultan," papar temuan OJK.
Atas berbagai persoalan dan kejanggalan pengelolaan itulah sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof Damayanti Lubis minta Gubernur Sumatera Utara mengevaluasi Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera (Bank Sumut). Pasalnya, menurut dia, selain banyak didera berbagai persoalan, pengangkatan Direktur Utama Bank Sumut juga bermasalah.
"Persoalan Bank Sumut harus dibongkar akar masalahnya. Masalahnya terlalu menumpuk. Bahkan pengangkatan Dirut pun bermasalah. Jadi Dirut Bank Sumut layak saja diganti," tegas Prof Damayanti di gedung Nusantara V komplek gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/5/2017).
Damayanti yang juga anggota DPD atau Senator asal daerah pemilihan Sumatera Utara ini menegaskan Bank Sumut yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumut ini harus dikelola lebih baik. Oleh sebab itu dia minta Gubernur Sumut sebagai Pemegang Saham Pengendali harus turun tangan membereskan Bank Sumut.
"Saya pikir apapun, siapapun harus lebih baik kedepannya," papar Prof Damayanti Lubis.
Menurut Prof Damayanti Lubis, Gubernur Sumut harus melakukan evaluasi secara serius terhadap kepemimpinan bank Sumut saat ini. Sebagai tokoh dan bagian masyarakat Sumatera Utara, Damayanti mendesak agar persoalan Bank Sumut tidak dibiarkan berlarut-larut.
"Saya pikir kedepan kalau ada masukan dari masyarakat, kami imbau pak Gubernur untuk mengevaluasi Dirut Bank Sumut itu," tandas Prof Damayanti.
Tak hanya itu, Prof Damayanti juga mengaku siap jika ada elemen masyarakat yang ingin mengadukan persoalan bank Sumut pada dirinya. Sebab, sebagai anggota DPD daerah pemilihan Sumatera Utara dia berkewajiban menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat Sumatera Utara yang telah memilihnya.
"Kita siap kalau ada masyarakat yang mau audiensi soal ini. Nanti kita sampaikan ke pak Gubernur," ujar Prof Damayanti Lubis.
Berdasarkan catatan berikut beberapa kejanggalan lainnya pengelolaan PT Bank Sumut.
1. Persetujuan Dirut Bank Sumut oleh OJK tak lazim
Seperti diketahui beberapa waktu lalu Anggota Komisi II DPR RI Rufinus Hotmaulana Hutauruk mengkritisi tindakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat memberikan persetujuan pengangkatan Direktur Utama Bank Sumut yang terjadi dua tahun lalu. Pasalnya, menurut dia, persetujuan tersebut salah dan tidak lazim.
"Isi komitmen seperti itu tidak lazim dibuat oleh seorang dirut. Sebab sebagai pribadi, dirut tidak boleh melakukan hal tersebut. Komitmen itu adalah komitmentnya Bod (Board of Director) dan BoC (Board of Commissioner) bank.Yang mengatasnamakan bank," tandas Rofinus di Jakarta, Senin (3/4/2017).
Rofinus yang juga anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara II ini mengungkapkan isi komitmen tidak salah. Namun komitmen seperti itu bukan janji pribadi atau perorangan anggota direksi namun atas nama bank sebagai institusi. Sehingga komitmen seperti itu harus ditandatangani bersama oleh para direksi (BoD) dan para komisaris (BoC).
"Isi komitmennya sudah benar. Tapi harus atas nama bank sebagai institusi. BoD dan BoC biasanya tandatangan ramai-ramai. Bukan janjinya dirut. Enggak ada janji kaya begitu. BoD kan diusulkan oleh RUPS. Kemudian diajukan ke OJK untuk fit and proper test," papar dia.
Rofinus juga mengungkapkan sebenarnya yang seharusnya dituangkan atau janji pengelola perbankan adalah membuat action plan atau rencana kerja. Action plan yang memuat berbagai hal yang harus diperbaiki atas kinerja bank serta ditandatangani oleh BoD dan BoC.
Rofinus mengungkapkan hal tersebut menanggapi kejanggalan dalam surat pernyataan Dirut Bank Sumut tertanggal 29 Januari 2015. Pada surat untuk OJK yang berisi komitmen itu tertulis jabatan sebagai 'Direktur Utama PT Bank Sumut'. Padahal statusnya masih calon Direktur Utama.
Kejanggalan langsung terbaca dalam kalimat pertama setelah penyebutan status. Sebab disitu tertulis antara lain, "Dengan ini menyatakan bahwa apabila pencalonan saya disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan maka saya berkomitmen untuk :....." Sementara di atasnya tertulis sebagai Direktur Utama PT Bank Sumut.
Surat pernyataan yang ditandatangani diatas materai oleh Eddie Rizliyanto itulah yang dijadikan pertimbangan dan lampiran surat OJK kepada Gubernur Sumut menyetujui peralihan jabatan Eddie Rizliyanto dari Direktur menjadi calon Direktur Utama PT Bank Sumut.
Surat OJK kepada Gubernur Sumut itu ditandatangani oleh Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nelson Tampubolon. Surat ini tertanggal 4 Februari 2015.
Nelson Tampubolon membenarkan surat pernyataan tersebut. Meski mengaku bahwa surat tersebut kejadiannya dikatakan tergolong sudah lama, namun dia mengatakan bahwa surat pernyataan calon Dirut PT Bank Sumut itu hal yang biasa karena juga diberlakukan untuk calon dari bank lainnya.
2. Kejanggalan penetapan broker asuransi
Ada kejanggalan penetapan broker asuransi di Bank Sumut. Bahkan, Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Darmadi Durianto mengingatkan penetapan broker asuransi yang terjadi di Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (Bank Sumut) harus sesuai aturan dan bebas dari intervensi. Menurut dia berbahaya jika prosesnya karena titipan.
"Berbahaya kalau (penetapan broker asuransi-red) karena titipan!," ujar Darmadi Durianto, Jumat (5/5/2017) di Jakarta.
Darmadi mengatakan hal itu saat diminta ihwal penetapan dua broker atau pialang asuransi yaitu PT PJM dan PT PAN yang dilakukan manajemen Bank Sumut sejak 2016. Dua broker asuransi itu sebatas hanya menangani Kredit Multi Guna (KMG) Bank Sumut. Sebelumnya, ditangani oleh PT Asuransi Bangun Askrindo yang juga anak usaha Bank Sumut sendiri.
Darmadi mempertanyakan mengapa penanganan asuransi kredit jenis KMG sampai harus dialihkan dari anak usaha ke dua perusahaan pialang tersebut. Harus ada alasan jelas dan kuat atas tindakan pengalihan tersebut. Terlebih lagi jenis kredit KMG adalah kredit atau produk perbankan yang resikonya rendah karena nasabahnya adalah PNS yang berpenghasilan tetap.
"Jadi harus diklarifiaksi kenapa sampai dipindahkan dari anak usaha ke kedua pialang asuransi tersebut?," papar Darmadi dengan nada tanya.
Menurut Darmadi, sebagai aksi korporasi maka penetapan broker asuransi harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Baik proses maupun persyaratannnya. Dia mengingatkan selain berkaitan dengan uang nasabah, asuransi kredit juga menyangkut keuangan perbankan itu sendiri.
Senada dengan Darmadi, anggota Komisi XI DPR RI Bidang Perbankan dan Keuangan, Doni Imam Priambodo juga mengingatkan akan bahayanya adanya unsur titipan dalam penetapan broker asuransi yang terjadi di Bank Sumut. Dia minta hal ini diungkap dan diklarifikasi oleh yang memiliki otoritas.
"Bahaya karena bisa menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan)," ujar Doni seraya mengatakan akan minta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan penyelidikan atas hal ini.
3. Pemutihan kredit atau Write Off (WO) melanggar PBI dan Perda
Sebelumnya juga di informasikan terjadi kejanggalan pemutihan kredit atau write off (WO) di Bank Sumut. Hal ini membuat Anggota Komisi III DPR RI Junimart Girsang mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak bersikap pasif dengan temuan kejanggalan yang dimilikinya di bank Sumut terkait kebijakan Writte Off (WO) atau hapus buku atau pemutihan kredit. Terlebih lagi kejanggalan itu tergolong pelanggaran pidana.
"Tentu ada implikasi secara pidana apalagi ini menyangkut soal duit. Kalau saya cenderung itu ke pidana apalagi bank itu sedang dalam penyelidikan dan penyidikan Kajati Sumut. Saya kira OJK bisa memberikan masukan atau koordinasi temuan mereka itu ke Kajati, supaya lebih mantap itu," ujar Junimart Girsang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Menurut Junimart, tak ada alasan bagi OJK untuk tidak melakukan pemanggilan terhadap manajemen Bank Sumut. Apalagi sudah jelas-jelas OJK sendiri sudah memiliki temuan.
"Saya kira begini OJK kan sudah bersikap dan menyimpulkan juga. Oleh karena itu sesuai dengan peraturan yang ada OJK mestinya melangkah," tandas politisi PDIP dan Anggota DPR daerah pemilihan Sumatera Utara ini.
Junimart menambahkan, melangkah dalam artian tidak membentuk opini begitu saja sebagaimana dalam temuan. Hal ini, menurut dia, supaya ada kepastian juga. Sebab, dia mengatakan OJK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang tentunya tidak boleh membentuk opini begitu saja.
"Langsung saja mereka harusnya ambil sikap. Mau diapain dengan situasi seperti ini. Artinya OJK sudah mengatakan proses itu gak sesuai aturan. Harapan kita OJK bersikap sesuai kewenangannya, mulai dari pemanggilan misalnya. Walaupun mereka sebenarnya sudah punya bukti-bukti. tapi tahap awalannya ya panggil dulu lalu bersikap," tegas Junimart.
Seperti diketahui, OJK menemukan sejumlah kejanggalan pelaksanaan write off (WO) atau kredit hapus buku oleh manajemen Bank Sumut pada 2015. OJK menemukan antara lain proses WO tidak disertai informasi mengenai ada tidaknya pelanggaran pemberian kredit.
"Dalam proses write off tidak diinformasikan mengenai ada tidaknya kecurangan atau pelanggaran prinsip pemberian kredit yang sehat dan wajar. Terdapat indikasi pemberian kredit over financing dan bank tidak memastikan debitur memiliki usaha dan memiliki kemampuan membayar." Demikian tertulis dalam hasil salah satu temuan OJK.
Ada beberapa temuan lainnya oleh OJK atas kredit hapus buku yang dilakukan oleh Bank Sumut pada akhir 2015. Proses WO oleh Bank Sumut ini tergolong dilakukan secara mendadak dan terburu-buru saat menjelang tutup buku tahun kerja 2015.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh redaksi, proses WO dimulai dengan diterbitkan Peraturan Direksi PT Bank Sumut nomor 011/Dir/DPK-Restr/PBS/2015 tentang Hapus Buku dan Hapus Tagih Kredit/Pembiayaan. Peraturan yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2015 ini ditandatangani oleh Edie Rizliyanto (Dirut), Didi Duharsa (Dirops), H Rizal Fahlevi Hasibuan (Komisaris Independen) dan Brata Kesuma (Komisaris Independen).
Sehari kemudian atau 18 Desember 2015 dikeluarkan Surat Keputusan Direksi PT Bank Sumut nomor 311/Dir/DPK-Restr/SK/2015 tentang Wewenang Memutuskan Hapus Buku Kredit/Pembiayaan. Selain itu juga di keluarkan Surat Edaran tentang Petunjuk Pelaksanaan Hapus Buku Kredit/Pembiayaan nomor 131/Dir/DPK-Restr/SE/2015 yang ditujukan kepada seluruh unit kerja PT Bank Sumut.
Berdasarkan semua itulah manajemen Bank Sumut melakukan WO. Khabar yang beredar nilai kredit yang di WO mencapai Rp 325 Miliar, sejak 18 Desember 2015 hingga 30 Desember 2015. Besar kemungkinan kredit yang di-WO tidak masuk dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RAKT) sebagaimana diatur dalam point 2.1.1 Surat Edaran itu, karena pelaksanaan WO yang mendadak dan terburu-buru tersebut.
Pelaksanaan WO yang ditandatangani oleh dua orang Komisaris Independen tersebut juga dinilai menabrak aturan. Baik Peraturan Bank Indonesia, Perda Pemerintah Provinsi Sumatera Utara maupun AD perusahaan. Sebab berdasarkan pasal 66 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/15/PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum bahwa kebijakan hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
Selanjutnya berdasarkan pasal 16 ayat 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI nomor AHU-87927.AH.01.02 Tahun 2008 tentang Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan PT. Bank Sumut, menyatakan : (1). Jumlah Anggota Dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah direksi, salah seorang diantaranya diangkat sebagai Komisaris Utama. Adapun berdasarkan pasal 12 Perda nomor 2 Tahun 1999 tentang Perubahan Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dari Perusahaan Daerah Menjadi Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara, TBK, menyatakan bahwa Dewan Komisaris terdiri dari seorang Komisaris Utama dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) Orang Komisaris.
Kejanggalan juga terjadi menyangkut nilai kredit yang di hapus bukukan. Khabar yang beredar nilai kredit yang di WO mencapai Rp 325 Miliar, sejak 18 Desember 2015 hingga 30 Desember 2015. Besar kemungkinan kredit yang di-WO tidak masuk dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RAKT) sebagaimana diatur dalam point 2.1.1 Surat Edaran itu, karena pelaksanaan WO yang mendadak dan terburu-buru tersebut.(dia)