JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo menolak wacana pembubaran Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi dalam revisi UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
"Kami menolak keras rencana pembubaran BPH Migas. Karena sekarang ini sedang zamannya hilirisasi," tandas politisi Hanura itu di Jakarta, Sabtu (17/06/2017).
Meski demikian, dia mengakui posisi BPH Migas sedang banyak masalah. Bahkan, diduga terlalu banyak permainan di dalamnya. Hal itu terlihat dari temuanDPR maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Saya kira pengawasan yang dilakukan oleh anggota Komisi VII DPR sudah cukup dan ditambah lagi melibatkan masyarakat luas," ujarnya.
Saat ini, kata Mukhtar, tugas dan kewenangan BPH Migas sudah jelas dan tepat. Sebab, sudah diatur dalam undang-Undang, termasuk dalam peraturan pemerintah (PP).
"Termasuk mengawasi hilir dan Pertamina," imbuhya.
Jadi, kata dia, jika BPH Migas dibubarkan maka semakin tidak terkontrol.
"Makanya saya meminta agar pemerintah memberikan kewenangan yang lebih kuat lagi kepada BPH Migas. Minimal soal pengawasan itu. Jadi jangan sampai malah BPH Migas itu dibubarkan," tegasnya.
Keberadaan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menjadi pembahasan serius di internal Komisi VII DPR RI saat ini. Sebab, dalam draf revisi Undang-undang Migas yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Pasal 93, lembaga tersebut dinyatakan akan dibubarkan.
Setelah bubar, tugas dari BPH akan dialihkan ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh Menteri," demikian bunyi kutipan dalam draf Revisi UU Migas.
Seperti diketahui, dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas itu, Badan Pengatur Hilir Migas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. (plt)