JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pilkada Jayapura yang diajukan terhadap Mathius Awoitauw dan Giri Wijayantoro. Pasangan petahana ini merupakan pemenang dalam pemilihan Bupati Jayapura 2017. Namun putusan MK tersebut dinilai menyisakan persoalan.
Gugatan sengketa hasil Pilkada Jayapura diajukan tiga pasangan calon, yakni Yanni-Zadrak Afasedanya (pasangan nomor urut satu), Godlief Ohee dan Fras Gina (pasangan nomor urut tiga) dan serta Jansen Monim dan Abdul Rahman Sulaiman (pasangan nomor urut lima).
Menurut kuasa hukum Yanni-Zadrak, Budi Setyanto, persoalan yang muncul kemudian yakni menyangkut rekomendasi Bawaslu RI, yang membatalkan Mathias Awaitauw sebagai calon bupati lantaran melanggar Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016.
Budi menerangkan, rekomendasi Bawaslu tersebut dikeluarkan sebelum persidangan MK dan hingga putusan sengketa Kabupaten Jayapura diputus, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti KPU Provinsi Papua. Padahal berdasarkan Undang-undang, tindaklanjut pelaksanaan Rekomendasi pengawas pemilu adalah bersifat wajib.
Sementara dalam pertimbangan putusannya, MK justru mengatakan bahwa MK tidak berwenang menilai rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu sehingga mahkamah mengenyampingkan rekomendasi tersebut.
"Pertimbangan Mahkamah ini sangat berbeda dengan pertimbangan pada beberapa sengketa Pilkada yang telah diputus sebelumnya, dimana Mahkamah justru mengenyampingkan ambang batas selisih suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 karena adanya Rekomendasi pelanggaran yang dikeluarkan Panwaslu," kata Budi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/10/2017).
Hal ini, sambung Budi, seperti yang terjadi dalam sengketa Pilkada Kabupaten Tolikara, dimana sekalipun selisih suara antara pemohon dan termohon sangat jauh akan tetapi MK memutus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 18 distrik hanya karena alasan adanya rekomendasi Panwaslu yang tidak dijalankan KPU Kabupaten Tolikara.
"Jadi terkesan ada ketidakonsistensian Mahkamah dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan. Kalau memang selisih suara itu menjadi syarat mutlak dalam pengajuan sengketa Pilkada, seharusnya seluruh sengketa Pilkada yang melebihi ambang batas selisih sura itu ditolak, tidak boleh ada yang ditolak dan ada yang diterima yang kemudian menghasilkan Putusan yang berbeda-beda," ungkap Budi.
"Dalam konteks putusan terhadap sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura, saya menilai masih ada aspek penting yang belum tersentuh hukum yaitu masalah rekomendasi Bawaslu RI tentang diskualifiikasi calon petahana, yang mana dalam pertimbangan hukumnya MK mengatakan bukan kewenangannya untuk menilai.
Jika demikian berarti ada institusi atau peradilan lain yang lebih berwenang untuk memutus hal tersebut, karena memang rekomendasi Bawaslu RI ini tidak boleh dibiarkan menggantung harus ada kepastian hukum, karena ini merupakan produk hukum dari institusi yang memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran Pilkada. Jadi Ini sama saja MK tinggalkan bom waktu bagi dan para pihak terutama yang kalah di MK untuk menempuh menempuh saluran hukum lain dalam mempersoalkan masalah Rekomendasi Bawaslu RI yang belum dilaksakan guna memperoleh kepastian dan keadilan hukum," jelasnya.
"Jika kemudian ada keputusan dari peradilan lain yang melegitimasi rekomendasi Bawaslu RI, tentu dapat menimbulkan masalah hukum terhadap Pilkada Kabupaten Jayapura. Ini yang patut disayangkan dari Putusan MK tersebut," tuntasnya.(yn)