Opini
Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA (Guru Besar dan Pelaku Peradaban) pada hari Minggu, 24 Feb 2019 - 15:35:09 WIB
Bagikan Berita ini :

Optimisme Realistis

tscom_news_photo_1550997309.jpg
Prof. Daniel Mohammad Rosyid (Sumber foto : Ist)

Bulan Januari lalu, Yudi Latief memberi semacam tausiyah berjudul “Mengawal Janji Republik” dalamExecutive GatheringKementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Hadir waktu itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan para pejabat teras Kemenkeu. Tausiyah Kang Yudi dimulai dengan menyindir situasi perpolitikan nasional yang makin memanas bak ranting-ranting kering pohon yang mudah dibakar sewaktu-waktu.

Pesan pokok Kang Yudi diawali dengan pertanyaan : apakah yang menyebabkan negeri ini bertahan tetap eksis sementara ada narasi besar bahwa negeri ini akan sirna tidak lama lagi? Pesan pertama Kang Yudi adalah bahwapertama,bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang berhasil membangun sebuah negara-bangsa (nation state). Bahkan rakyat Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) sekalipun gagal dan tetap menjadiimperial statesdimana masyarakat terbagi dalamthe ruling class,citizensdansubjects. Diskriminasi masih terjadi di negara adidaya tersebut: atas warna kulit, jenis kelamin dan agama. Di AS misalnya, seorang presiden harus pria, berkulit putih dan Kristen. Obama sudah mematahkan mitos ini, sedangkan Hillary Clinton gagal. Indonesia telah menyaksikan pemimpin pemerintahan Kristen, bukan Jawa, bahkan perempuan.

Kedua, sebagai negara bangsa, Republik ini membutuhkan birokrasi yang secara diam-diam tekun bekerja keras, cerdas dan inovatif untuk memastikan bahwa negara mewujudkan janji Republik ini. Janji Republik ini adalah mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yang telah dirumuskan dalam konstitusi. Kita pernah mampu membangun birokrasi yang kuat sehingga pada 1955 mampu menyelenggarakan Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern, Konferensi Asia Afrika yang menjadi inspirasi bagi banyak pemimpin negara di Asia dan Afrika, termasuk Nelson Mandela dan Mao Zedong. Salah satu trobosan penting lainnya adalah Deklarasi Djoeanda 1957 yang mendaku Indonesia sebagai negara kepulauan sehingga luas negeri ini tiba-tiba membesar hampir 300% tanpa sebutir pelurupun ditembakkan.

Ketiga, untuk membangun optimisme yang realistis, kita membutuhkan masyarakat yang memiliki kekuatan iman, kepedulian atas kemanusiaan yang adil dan beradab agar tetap bisa bersatu dalam kebhinnekaan. Kemudian kita membutuhkan kepemimpinan yang dipandu oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan. Bukan kepemimpinan berdasarkan keterpilihan, tapi berdasarkan keterwakilan agar kelompok minoritas tetap bisa menyuarakan kepentingannya. Hanya dengan memperhatikan nilai-nilai ini Republik bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga hal tersebut adalah penyusun modal sosial bangsa Indonesia yang bakal menjadi tabungan bagi eksistensi negara bangsa ini. Kang Yudi juga sekaligus menekankan bahwa modal sosial ini memerlukan rancangan kelembagaan yang tepat agar bisa terawat dengan baik, bahkan tumbuh berkembang.

Yang sedikit luput dari elaborasi Kang Yudi adalah bahwa konstitusi sebagai rancangan kelembagaan paling pokok saat ini sudah mengalami perubahan mendasar sehingga masa reformasi justru menghasilkan deformasi atas negara-bangsa ini sehingga negeri ini seolah mau menjadi AS sebagaiimperial states. Bahkan rancangan kelembagaan keuangan yang kita anut saat ini sangat nekolimik sehingga terjadi kebocoran besar atas kekayaan kita.

Kita juga memerlukan rancangan kelembagaan pendidikan yang baru yang dibebaskan dari monopoli persekolahan, dengan memperkuat negara dan masyarakat sebagai satuan-satuan pendidikan yang sah untuk menumbuhkan jiwa-jiwa merdeka sebagai prasyarat budaya menjadi bangsa merdeka. Kita juga memerlukan kelembagaan politik yang dibebaskan dari monopoli partai politik dengan menguatkan masyarakat madani sebagai pemain politik yang sah.

Dalam membangun optimisme yang realistis itulah kita memerlukan rancangan kelembagaan baru yang disusun kembali di atas kerangka utama UUD45 versi dekrit Presiden RI 1959, memeriksa kembali kelembagaan keuangan dan perdagangan global yang nekolimik ini serta sistem pendidikan nasional yang membangun jiwa merdeka bagi semua warganegera tanpa kecuali. Betul nasehat Amartya Sen bahwa pembangunan adalah perluasan kemerdekaan, bukan sekedar peningkatan kapasitas produksi dan konsumsi material belaka.

SURABAYA, 24 Februari 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #uud-45  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...