Opini
Oleh Dr. Dedi Kurnia Syah Putra [Analis Politik Universitas Telkom/ Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP)] pada hari Sabtu, 30 Mar 2019 - 14:57:59 WIB
Bagikan Berita ini :
Debat Capres Keempat

Ideologi, Relasi Internasional dan Pertahanan

tscom_news_photo_1553932679.jpg
Dr. Dedi Kurnia Syah Putra (Sumber foto : TeropongSenayan/fitriani.dok)

Gerakan politik hampir pasti dimulai dari sebuah ide, kemudian simultan menjadi ideologi. Sehingga dalam praktik politik manapun, ideologi menjadi landasan fundamental. Keberadaannya tidak saja hanya sebagai buah pikir, tetapi sebagai penggerak aktifitas politik itu sendiri. Mencermati tema debat capres keempat yang mempertemukan antara Prabowo dan Jokowi. Kecil kemungkinan debat berlangsung dinamis dan saling adu gagasan, hal itu karena keduanya sejauh ini tidak memiliki cukup catatan prestatif, baik dari sisi ideologi, relasi trans-nasional hingga pertahanan.

Jokowi, berpotensi mengadu gagasan soal pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP sebenarnya tidak relevan dengan konsep penjagaan ideologi bernegara, karena ideologi tidak cukup didistribusikan ke seluruh warga negara hanya sebatas pengetahuan. Ideologi Pancasila sudah selesai, sementara yang terhenti –untuk tidak mengatakan belum—terjadi adalah penetrasi ideologi ke dalam perilaku warga negara.

Bagaimana seharusnya ideologi ini bekerja untuk negara, ideologi seharusnya menjadi mesin utama kebijakan. Pancasila tidak bisa hanya berdasarkan hafalan kelima sila, tetapi harus masuk ke semua regulasi yang bisa dijalankan atau dipatuhi oleh warga negara sehingga keteraturan itu basisnya sistemik, bukan anomali.

Hanya dengan berdirinya BPIP, tidak lantas Jokowi berhasil menjaga ideologi. Ide semacam ini berjangka pendek, momentum, dan tidak berimbas sistemik. Sementara yang diperlukan dengan kapasitas Presiden, adalah gagasan yang terimplementasi dalam kebijakan, bukan gagasan normatif berjangka. Dari catatan ini, baik Jokowi maupun Prabowo belum cukup mampu mengartikulasikan program presidensial terkait tema debat. Dengan pengetahuan yang setara, debat akan berlangsung datar dan landai.

Bayang Propaganda Khilafah

Untuk hari ini, sulit rasanya membenarkan bahwa ideologi Pancasila sedang beradu dengan Khilafah. Karena keduanya bukan lawan tanding, Khilafah seharusnya berhadapan dengan Demokrasi, bukan Pancasila. Sementara Pancasila secara substantif, merupakan tatanilai dari Khilafah itu sendiri.

Tetapi bagaimanapun, dalam politik elektoral semua isu harus diproduksi untuk menjadi sebuah kebenaran, sesulit apapun kebenaran itu dimunculkan, para politisi akan tetap mengupayakannya. Sebagaimana catatan Socrates (469-399 sm) bahwa perdebatan retoris tidak dilakukan kecuali untuk mempertahankan kebenaran.

Kebenaran apa yang hendak dicari dalam mengemukakan isu Khilafah? Tentu untuk mendulang simpati dari kalangan anti Khilafah itu sendiri. Apakah ada celah bagi Prabowo untuk menggiring Indonesia menuju sistem politik Khilafah? Bisa jadi, tetapi Prabowo memerlukan waktu yang cukup lama bahkan hingga ratusan tahun ke depan. Jika Prabowo tidak memiliki waktu selama itu, maka Khilafah akan terus berada pada ruang diskursif.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Khilafah dalam morfologi (istilah), tetapi propaganda itu muncul dalam penafsirannya. Khilafah didengungkan sebagai pemerintahan berbasis Islam dalam seluruh kebijakannya, lebih jauh lagi jika penafsirnya merupakan pemikir radikal yang menempatkan Islam sebagai apa yang tertuang dalam teks, bukan konteks.

Lihat catatan Wadad al-Qadi dalam jurnalnya yang berjudul The Term "Khal?fa" in Early Exegetical Literature (1988), ia memisahkan Khilafah dalam dua pembeda, Khilafah sebagai terjemahan kepemimpinan atau keterwakilan, dan Khilafah sebagai institusi politik. Dalam kapasitas tafsir institusi politik, Khilafah sebenarnya merupakan kebutuhan sebuah komunitas –muslim—untuk berhimpun dan membangun sebuah pemerintahan. Dan dari perspektif ini, Indonesia saat ini sudah “Khilafah”, tentu kekhilafan yang bersistem demokrasi.

Konten Proxi War

Salah satu konsekuensi politik elektoral, adalah propaganda yang hilir mudik meriuhkan ruang publik. Dan ketika propaganda berbuah perpecahan (devide et impera), lahirlah politik sektarianis, maka di saat itulah kita memahami bahwa kita sedang berada dalam perang proxi. Tentu bukan sebagai pelaku, melainkan sebagai korban.

Dalam konteks trans-nasional, setiap negara akan mendaulatkan negaranya sendiri dengan dua cara konvensional, memperkuat negara sendiri, atau melemahkan negara lain. Kedua ini berbeda, memperkuat negaranya sama dengan bertumbuh, sementara melemahkan negara lain tidak harus menumbuhkan negara sendiri.

Indonesia tidak mungkin tidak berada dalam kondisi yang demikian, kata kunci proxy war sedang berlangsung, adalah dengan slogan globalization. Dari ide ini, maka perdebatan capres tidak ada dari keduanya yang merasa ungul, meskipun Prabowo berlatar militer tetap saja tidak menjadikannya memahami pertahanan (proxy war) gaya baru.

Kebutuhan pertahanan Indonesia dari proxy war tidak cukup mengandalkan kekuatan militer (single helix), melainkan four helix, yaitu integrasi empat platform penting yang akan mendukung negara bertumbuh menjadi negara kuat; 1. Weaponry, 2. Knowledge, 3. Economic, 4. Good Government.

Menjadi luar biasa dalam debat capres, jika gagasan kebijakan itu mengakomodir keempat platform. Penguatan persenjataan termasuk kemampuan militeristik, pengetahuan warga negara yang cukup mapan, perekonomian negara yang merata, dan tata pemerintahan yang baik, berintegritas, tidak koruptif. Keempat platform harus menjadi ruh dalam kebijakan.

Refleksi

Membaca ulang sajian visi dan misi kedua capres terkait dengan tema debat capres keempat ini, cukup mencolok pembedanya.
Kubu 01 tidak memiliki gagasan spesifik terkait tema, hanya bagian ideologi yang memiliki porsi cukup banyak, karena berisi program revolusi mental dan pembinaan ideologi pancasila. Hanya saja, dalam level presidensial, uraian tersebut terlalu hambar dan tidak implementatif terhadap warga negara yang diharapkan berkepribadian mandiri, berdaulat, berporos pada kultur gotong royong. Tentu disayangkan, karena petahana telah memimpin sepanjang 4,5 tahun ini. Seharusnya memiliki materi yang cukup sebagai bagian dari evaluasi.

Sementara kubu 02 meskipun masih dalam uraian normatif, tetapi ada hal yang harus dipuji, yaitu ide menggabungkan relasi internasional melalui diplomasi budaya. Hal ini menggambarkan bahwa Prabowo menyadari kekuatan militer tidak sepenuhnya relevan dalam menjaga kedaulatan. Meskipun tetap diperlukan, tetapi bukan satu-satunya jalan. Sementara yang tergambar dengan jelas, dalah arah pembangunan identitas Indonesia di mata dunia. Dalam visi dan misi pembaruannya, ide Prabowo masih didominasi penempatan Indonesia sebagai obyek negara-negara lain, bukan subyek. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pancasila  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...