Oleh Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb pada hari Rabu, 16 Des 2020 - 21:29:39 WIB
Bagikan Berita ini :

Pernak-pernik Dinasti Politik Yang Kian Pelik

tscom_news_photo_1608128979.jpg
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020 (Sumber foto : Istimewa)

Tahun 2020 tampaknya menjadi tahun yang unik dan bersejarah dalam panggung perpoltikan di Indonesia. Bagaimana tidak. Melalui panggung pemilihan
kepala daerah tahun 2020 ini, tampaknya semakin menunjukkan penguatan dinasti
politik di negeri ini.

Berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima
tahunan tersebut.

Kemenangan Gibran di Surakarta pun tak luput akan menjadikan
Jokowi sebagai presiden pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala
daerah.

Tak berhenti disitu, Bobby Nasution sang menantu juga unggul atas pasangan
Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan.

Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil quick count Charta Politika
(katadata.co.id). Beragam opini pun muncul tentang hadirnya para pewaris tahta. Termasuk
sengitnya aroma dinasti politik yang terus merebak beserta pernak-perniknya.

Jika melihat fenomena terkini, ada beberapa poin yang dapat diurai terkait dinasti politik
dalam sistem demokrasi saat ini.

Yang pertama, fenomena dinasti politik ini tentu saja bukanlah barang baru.Namun, tampilnya putra sulung presiden dan menantu beliau, dan sederet nama lainnya, turut menambah daftar panjang fakta terkait adanya politik dinasti. Dari Sabang sampai Merauke, hal seperti ini kerap terjadi.

Misalnya saja, tatkala seorang oknum
sedang menjabat di suatu partai politik atau instansi, tak lupa sanak familinya pun
terciprat “aji mumpung” untuk maju sebagai pendatang baru.

Sebisa mungkin anak, saudara, keponakan, dan yang lainnya turut diboyong untuk mendapatkan kursi ataupun jabatan.

Tatkala si oknum telah selesai memimpin, tak ketinggalan kerabatnya pun mencalonkan diri selaku calon pemimpin baru. Peristiwa seperti ini tampaknya
telah mendarah daging di nusantara.

Lalu yang kedua, ikutnya anak, saudara ataupun kolega penguasa dalam panggung pemilihan calon pemimpin, dihadapan sistem demokrasi hal ini memang dianggap sebagai hal yang tidak melanggar konstitusi.

Hanya saja, hal ini menunjukkan
tradisi kompetisi yang tidak sehat dalam pergantian kepemimpinan. Jika hal ini terus
menerus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan membuat semakin menganga celah-
celah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam sistem pemerintahan baik pusat
maupun daerah.

Seperti yang telah banyak terjadi dalam catatan perjalanan negeri ini. Salah satunya yakni pada era kepemimpinan Ratu Atut yang tersimpul erat dengan
politik dinasti di Banten.

Selanjutnya yang ketiga, hal ini tentu akan menghambat munculnya individu-
individu yang kompeten dan berkualitas baik dalam hal kepemimpinan.

Proses pengusungan kandidat yang kompeten pun tentu akan ikut terganggu karena akan
“disenggol” oleh calon lain yang punya nama besar atau background yang lebih kuat.

Hingga akhirnya hal ini pun akan berdampak pada kualitas pelayanan publik dan
menyelesaikan urusan rakyat.

Kemudian yang keempat, akar dari adanya dinasti politik ini tentu saja hadir dari
sebuah benih yang bernama sistem demokrasi.

Yakni sistem yang menjadikan tampuk kekuasaan adalah segalanya, bahkan melayani kepentingan rakyat dinomor duakan demi melanggengkan kekuasaan hingga ke anak cucu. Ialah sistem yang mendukung
dan memberi akses bebas seorang penguasa dalam mengusung anggota keluarganya untuk turut meraih posisi dan kursi.

Lantas, tidak jarang berbagai cara dan upaya akhirnya dilakukan demi meraih tampuk kekuasaan, hingga penyalahgunaan
wewenang dan kuasa pun ditempuh juga. Yang bermuara pada peliknya urusan rakyat.

Kondisi yang telah menggurita ini seakan terus bertumbuh subur tak terkendali. Hingga akhirnya yang menjadi korban lagi-lagi ialah rakyat. Rakyat yang terombang-ambing dalam busuknya arus kemiskinan, buruknya birokrasi, dan kekacauan seolah tak bertepi, karena urusan kepemimpinan dipegang sebagian besar oleh orang-orang yang tidak kompeten dalam bidangnya.

Hal ini tentu berbeda dengan kaidah pemilihan pejabat atau penguasa dalam Islam. Islam memberikan tuntunan yang jelas dan terang tentang pemilihan pejabat publik. Dengan tuntunan itu, maka akan terpilih seorang pemimpin yang memang sejak
awal berkomitmen dan berdedikasi untuk menyejahterakan rakyat.

Bukan sekedar
untuk melanggengkan kekuasaan.
Ada beberapa kaidah pokok yang telah diterapkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab dalam kandidasi pejabat publik, kaidah pertama yakni mendahulukan
orang yang berilmu dan menguasai bidangnya dengan baik, diikuti dengan akhlak yang
juga baik. Yang kedua adalah adanya rasa kasih sayang terhadap rakyat. Bukan
sekedar pencitraan ketika saat akan dicalonkan, namun tercermin dalam rekam jejak
kesehariannya, dan dalam kebijakan-kebijakan yang kelak diberlakukan.

Yang ketiga yakni tidak mengangkat pejabat publik dari keluarga atau kerabatnya. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr.
Muhammad ash-Shalabi dijelaskan bahwa Khalifah Umar selalu berusaha untuk tidak
mengangkat pegawai dari kerabatnya sendiri.

Hal ini dilakukan semata-mata untuk menghindarkan diri dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang ujungnya menjadi gerbang penyalahgunaan wewenang kekuasaan.

Dengan aturan ini, tentu akan lahir para penguasa amanah yang mempunyai kepekaan, kepedulian, dan kasih sayang kepada rakyatnya seperti yang telah dicontohkan oleh para khalifah pada era kekhilafahan.

Dinasti politik yang membuat
ruwet dan pelik tentu terminimalisir. Maka, semua itu hanyalah bisa terlaksana ketika
Islam diterapkan menjadi pondasi dan pilar bernegara.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...