Opini
Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR-RI, Direktur Nasional LBH Desa) pada hari Minggu, 19 Jul 2015 - 08:04:49 WIB
Bagikan Berita ini :

Pikirkan Terapi UU Darurat Sipil Papua

80MasjidDibakar.jpg
Bangunan dan masjid yang dibakar massa di kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) (Sumber foto : Istimewa)

GIDI itu harus dibubarkan. Ia sudah jadi negara dalam negara. Maka aparat harus kerja keras untuk mencari bukti saat sekarang, sehingga memudahkan pembubaran GIDI di Pengadilan. Jika terbukti ada keterlibatan konspirasi dengan Papua Merdeka, diusulkan agar dilakukakan Darurat Sipil. Ini akan menyelesaikan masalah secara komprehensif.

Pengumuman Darurat Sipil dilakukan dan wewenang Presiden. Tetapi resolusinya oleh DPR-RI, cq Komisi 1, 2, dan 3. Presiden juga perlu mendengar konsul dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Pada Darurat Sipil, ada sejumlah hak-hak sipil yang ditiadakan, antara lain hak untuk menyatakan merdeka dalam kasus separatisme, baik di ruang publik, maupun diruang privat sebagai subtansi. Semua yang berkaitan dengan separatisme dilarang, pelanggaran untuk itu ditangkap, "langsung masuk". Frasa langsung masuk, berasal dari KUHAP yg berarti tidak ada penangguhan penahanan. Saya setuju dengan usul penerapan hukum Darurat Sipil Papua untuk penyelesaian masalah secara komprehensif, minimal selama tiga tahun.

Pertama, Darurat Sipil akan mengatasi intervensi regional dan internasional yang bermain di belakang Papua Merdeka. Kedua, Darurat Sipil segera mengenyahkan isu Papua Merdeka hingga ke pelosok dan ke dalam rumah. Ketiga, dalam Darurat Sipil, semua bahan, sejak bendera, surat, bicara, perkumpulan, demonstrasi dilarang, yang menjadi subtansi, adalah pelanggaran, ditangkap langsung masuk. Keempat, dalam Hukum Darurat Sipil, semua aktivitas, dalam dan di luar rumah yang melibatkan nama, jargon, icon, orang, tokoh, tulisan dan non tulisan, publikasi Papua Merdeka, ditangkap langsung masuk. Kelima, Darurat Sipil menyensor semua publikasi, surat menyurat, termasuk surat-surat elektronik, chatting dan lain-lain yang melanggar ditangkap langsung masuk. Keenam, Darurat Sipil meniadakan hak yang menyangkut subtansi, Papua Merdeka, yang melanggar ditangkap, langsung masuk.

Laporan Sekjen PENA dalam sembilan hari, bulan ini, tiga kerusuhan terjadi di Tolikara, Papua. Tanggal 9 Juli 2015, Kampung Yelok dibakar warga Panaga. Tanggal 15 Juli 2015, 100 Hanoi (rumah tradisional) di Panaga dibakar. Dan 17 Juli 2015, Di Karubaga 70 bangunan dan mushola dibakar saat salat Idul Fitri. Peristiwa 9 dan 15 Juli konon dipicu perzinahan, sementara kasus 17 Juli dipicu pelarangan salat Idul Fitri oleh Gereja Injili di Indonesia (GIDI).

Terkait kasus di Karubaga (25 KM dari Panaga) saat ini, entah benar atau tidak, muncul surat berkop GIDI tgl 11 Juli 2015. Surat itu berisi tiga point yang isinya larangan agar tidak ada sholat Idul Fitri dan larangan berjilbab di Karabuga karena ada Seminar pemuda GIDI tingkat Internasional. Selain tiga poin itu, diparagraf terakhir surat itu tertulis : "... GIDI selalu melarang Agama lain dan Gereja Denominasi lain dirikan tempat Ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara". Lebih lanjut dalam surat itu juga diakui bahwa GIDI juga menutup gereja Adven Distrik Paido.
"Ada apa di Tolikara? Ada apa di Papua? Ada apa di Indonesia?" Ada tiga peristiwa kekerasan massal dalam sembilan hari di satu kabupaten, adalah hal luar biasa. Di mana Polri, militer, BIN dan aparatur negara lainnya sehingga peristiwa tadi leluasa terjadi. Jika surat GIDI itu benar dan dikeluarkan 11 Juli 2015 mengapa tak ada upaya pencegahan. Bukankah ada enam hari untuk cegah tangkal. Jika Surat GIDI benar, aneh karena GIDI sebagai Organisasi Gereja ternyata juga melarang dan menutup Gereja Denominasi lainnya untuk membangun Gereja di Tolikara.

Banyak keanehan dari peristiwa yang menerbitkan tafsir isu terkait sikap Presiden Jokowi pada Freeport, dan percepatan Papua Merdeka. Apapun sebab dibalik itu, kekerasan dan diskriminasi atas nama dan tujuan apapun tak bisa dibenarkan, dan harus menjadi musuh bersama umat manusia. Demi umat manusia, maka peristiwa ini harus diusut tuntas dan transparan. Secara hukum pidana, peristiwa hukumnya adalah penyerangan, pengeroyokan, pembakaran. Ketiganya diancam hukuman berat, 20 tahun penjara.

Menurut saya, kasus ini harus diambilalih oleh Mabes Polri, dan tersangka disidik di Jakarta. Masalahnya menunjukkan aparatur daerah sudah tidak signifikan, maka harus diambil alih oleh pusat. Ada baiknya jika diteruskan ke proses Hukum Darurat Sipil. Artinya satu masalah sudah dapat dituntaskan.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #masjid dibakar  #papua  #salat id  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Catatan untuk Partai PKB dan Pilgub DKI Jakarta

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 18 Mei 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jumhur Hidayat baru saja menelpon saya terkait kunjungan sekertaris PKB DKI dan rombongan kemarin, yang datang ke kantornya, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ...
Opini

Prabowo Subianto dan Diktatorship Kerakyatan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Spontan rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: "Bersama Saya atau Diam Menonton!". Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada ...