Opini
Oleh M Rizal Fadillah (Mantan Aktivis IMM) pada hari Kamis, 23 Mei 2019 - 02:04:41 WIB
Bagikan Berita ini :

Pembantaian Petamburan 22 Mei

tscom_news_photo_1558551881.jpg
Suasana saat terjadi bentrokan massa dan polisi di Jalan Wahid Hasyim arah Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (22/5/2019) dini hari. (Sumber foto : Ist)

Sekurangnya 6 orang tewas dan puluhan luka luka dari peristiwa petamburan.Kita sebut peristiwa ini sebagai pembantaian karena polisi Brimob yang bersenjata menembaki warga petamburan atau mereka yang ikut aksi kemudian menginap di daerah petamburan Tanah Abang. Sementara yang ditembaki tidak bersenjata. Tak berdaya. Di media terlihat video yang menunjukkan tembakan membabi buta walau ada yg teriak bahwa yang ditembaki adalah warga. Petamburan jadi "the killing field". Tanah Abang benar benar menjadi "tanah merah darah". Itu terjadi 22 Mei subuh. Jika 21 Mei semata Insiden maka 22 Mei adalah pembantaian.

Menjadi banyak misteri dari peristiwa ini. siapa yang memainkan diri sebagai "perusuh" yang dijadikan alasan pembantaian. Mengapa target dan sasaran adalah area petamburan yang konon menjadi markas atau posko FPI. Apakah benar dugaan ada sayap "tentara Cina" di Brimob. Benarkah sebagian polisi berbahasa Cina yang menembaki itu. Apakah semua ini benar di bawah komando resmi atau satuan yang bertindak sendiri. Lalu terbukakah untuk otopsi korban. Semua pertanyaan ini membutuhkan jawaban akurat dan terang. Karenanya perlu diselidiki seksama oleh Tim Pencari Fakta Independen. Atau DPR membuat pansus penyelidikan agar peristiwa pembantaian ini terkuak dan pihak-pihak bertanggungjawab dapat dikenakan sanksi hukum. Komnas HAM juga yang telah dilapori segera bergerak. Ada dugaan pelanggaran HAM pada kasus ini.

Belum tuntas masalah kematian 600 an petugas Pemilu kini ditambah dengan peristiwa penembakan di Petamburan. Masalah serius terjadi berkelanjutan di negeri ini. Melekat dengan proses Pemilu yang jauh dari jujur dan adil. Memang rezim gagal menjalankan sistem demokrasi dengan aman dan bermartabat. Oligarkhiberkombinasi dengan tirani menjadi polusi demokrasi. Penghujung kekuasaan yang tidak bagus (su"ul khotimah).

Jokowi politisi yang muncul ujug ujug. Karenanya mudah disetir oleh pengendali kepentingan yang memang matang berpolitik. Manajemen krisis masih lemah. Masalah ditangani dengan represif sehingga kebencian rakyat menggumpal.
Sebagai penguasa bisa beralasan ada perusuh di lapangan tapi perpektif lain tidak.
Selalu ada pihak yang buat jalan untuk pembantaian.
Jokowi tak layak jadi Presiden. Baiknya mundur atau turun. Rakyat jangan dikorbankan oleh ambisi dan kerakusan kekuasaan. Game is over.

Jakarta, 22 Mei 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #polri  #pilpres-2019  #bawaslu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...