JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap visi poros maritim dunia. Visi ini menghilang pada kekuasaan periode kedua Jokowi.
Seperti diketahui, pada 14 Juli 2019, Jokowi menyampaikan pidato kemenangan. Setidaknya ada lima agenda pembangunan prioritas yang akan dijalankan lima tahun ke depan.
Pertama, pembangunan infrastruktur. Kedua, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Ketiga, mengundang investasi seluas-luasnya. Keempat, melakukan reformasi birokrasi. Kelima, menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Menangapi pidato itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIARA Susan Herawati, mempertanyakan keseriusan komitmen Jokowi terhadap visi poros maritim dunia yang pernah disampaikan saat Pilpres 2014.
"Kami mempertanyakan agenda poros maritim dunia yang pernah menjadi salah satu isu kunci dalam kampanye Jokowi pada Pemilu 2014 lalu. Kenapa pada periode kepemimpinan Jokowi yang kedua ini hilang," ujar Susan, kepada TeropongSenayan, pada Sabtu (20/7/2019).
Sebagai negara kepulauan dengan sumber daya kelautan dan perikanan melimpah, Jokowi seharusnya menempatkan poros maritim dunia sebagai agenda pembangunan prioritas dalam pemerintahannya yang kedua.
“Caranya, dengan melindungi dan memberdayakan nelayan serta masyarakat pesisir lainnya sebagai pilar utama poros maritim sekaligus melindungi ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dari industri ekstraktif dan eksploitatif,” katanya.
Akan tetapi, alih-alih berpihak terhadap masyarakat, Jokowi malah mengancam dengan menggunakan diksi kekerasan seperti kata "hajar" bagi pihak-pihak yang dianggap menghambat investasi.
“Inilah wajah sesungguhnya pemerintah Jokowi. Menggunakan cara apapun, termasuk kekerasan demi memuluskan investasi. Sejak awal, ini berlawanan dengan konstitusi Republik Indonesia,” ucap Susan geram.
Menurut Susan, KIARA mencatat sepanjang 2018, proyek-proyek ekstraktif dan eksploitatif seperti reklamasi, tambang, ekspansi sawit, dan pariwisata semakin meningkat dan merampas ruang hidup dunia.
“Tidak heran sebenarnya jika arah kebijakan Jokowi bergeser dari poros maritim dunia menjadi poros investasi, yang bisa meminggirkan masyarakat bahari dari ruang hidupnya," ungkapnya.
Susan menegaskan, di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki beberapa tugas. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kedua, mencerdaskan kehidupan berbangsa. Ketiga, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Mandat konstitusi itulah yang harus menjadi visi pemerintah Jokowi sekaligus dijalankan dalam pemerintahannya. Kemudahan investasi itu dasar konstitusionalnya darimana?” tegasnya.
Dalam konteks kelautan dan perikanan, pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi seharusnya memprioritaskan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir yang merupakan pahlawan protein bangsa, dengan cara menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
“Jika berpihak terhadap kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, Jokowi harus jalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016. Jika enggan dan lebih berpihak terhadap investasi, maka pemerintah Jokowi melawan konstitusi,” tukasnya.(plt)