Opini
Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH Univ. Khairun Ternate) pada hari Selasa, 23 Jul 2019 - 22:02:38 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengurus Hukum di Negara Hukum Demokratis

tscom_news_photo_1563894158.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Demokrasi, sebuah konsep yang tak memiliki bentuk final itu, entah karena itu atau bukan tertakdir menjadi kekuatan terbesar dengan daya tariknya tak pernah lapuk. Karena tak memilik bentuk final, maka apa saja bisa dimasukan ke dalamnya dan selalu bisa disebut demokrasi. Sedemikian lenturnya, sehingga kemakmuran dan kesejahteraan rakyat boleh tertunda sebentar, tetapi tidak untuk demokrasi.

Demokrasi yang gagasan awalnya dirangsang secara tersembunyi oleh kapitalis tua, memanggil hukum pada kesempatan pertama untuk kepentingannya, yang tak selalu selaras dengan hasrat kebanyakan orang. Pengagungan terhadap hukum dalam demokrasi, dalam kenyataannya melampaui peangungan monarkis klasik dan tiran terhadap hukum. Demokrasi menampilkan kebutuhannya tanpa batas pada hukum seolah hanya dengan cara itu demokrasi bisa terus tumbuh, terpelihara dan berlanjut. Demokrasi terlihat akan suram, tidak memiliki prospek dan bangkrut bila tidak dipandu dengan hukum.

Menariknya demokrasi dan hukum sering sekali digunakan secara terpisah sebagai tameng dalam menghalau tindak-tanduk yang, baik demokrasi maupun hukum mengenalnya sebagai tindak-tanduk arbitrer, sewenang-wenang. Padahal tindak-tanduk yang dianggap tidak demokratis, apapun defenisi yang akan disematkan padanya, tidak dengan sendirinya sama dengan tindakan melawan hukum. Tidak. Sebaliknya tindakan melawan hukum tak mungkin tak memenuhi kualifikasi tak demokratis.

Disisi lain pada level tertentu hukum dapat muncul, tentu karena digunakan oleh penguasa menjadi penantang paling berbakat, cekatan dan produktif serta menakutkan terhadap nasib bagus demokrasi. Tetapi demokrasi, karena tak memiliki bentuk final itu terlihat mengandung daya adaptasi yang tak tertandingi, sehingga hukum seburuk apapun akan disambut dengan gegap gempita. Itu disebabkan hukum terlanjur, dalam sifatnya, terlalu netral untuk menampung semua mimpi manusia atas nama kelangsungan kehidupan yang beradab dan berartabat.

Tipikalnya

Kapitalis paling sial sekalipun akan selalu memilih hukum daripada hal lainnya, karena keunggulan (bila dapat disebut demikian) bawaannya. Mengapa? Kredo kebebasan memiliki barang dan kebebasan lainnya yang tak terdefenisikan sedari awal terlihat selalu melambungkan kelompok paling ganas ini bergerak meraih dan melipatgandakan kekayaannya. Menghisap semua yang bisa dihisap atas nama kebebasan berusaha, dengan semangat kompetisi yang bergairah hanya bisa sah sejauh terdefenisikan dalam hukum menjadi tipikalnya.

Seperti sedia kala, kelompok terkecil ini cukup lincah mendefenisikan apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan, terutama dibidang ekonomi. Terlihat seperti takdir kelompok ini, bukan takdir orang kebanyakan yang merasa hebat sebagai pemegang kedauatan disemua negara demokratis, kelompok ini selalu begitu, berada satu langkah didepan dalam mendefenisikan jalannya sejarah politik dan ekonomi.

Mengapa kapitalis memanggil hukum? Dalam alam pikir rasional, pencerahan sesudah runtuhnya tahun-tahun kegelapan, tahun takhyul dan sejenisnya yang dipandu dengan persepsi irasional penguasa, diidentifikasi kelopmpo ini sebagai penyebab bergantinya tatanan sosial politik dan ekonomi obyektif sesuka maunya penguasa. Mereka tahu bahwa tatanan tak terdefenisikan secara obyektif, dapat diperiksa secara seksama oleh semua. Perubaan tanpa arah obyektif itu, diyakini kapitalis hanya bisa dicegah dengan hukum. Dengan hukum, tatanan menjadi obyektif, dapat diperiksa secara seksama oleh semua.

Melalui hukum terciptalah preferensi bersama, menjadi rujukan yang sama untuk satu urusan, apapun itu. Itu hebatnya kapitalis mengidentifikasi hukum. Tetapi bukan disitu kehebatan hukum yang sesungguhnya di mata kapitalis tulen. Kehebatan sesungguhnya yang disandang hukum dalam alam pikir kapitalis adalah karena hak lahir atau hanya ada dan ditemukan dalam hukum. Tidak lebih dan tidak kurang, suka ataupun tidak.

Hak menjadi jalan utama memasuki kehidupan politik dan ekonomi. Di luar itu tidak. Itu tipikal ggaasan positivistik yang dibawa abad pencerahan, abad yang dirangsang pembentukannya oleh kelompok-kelompok kaya yang sebelumnya tertindas. Itulah sebagian sebab tersembunyi dibalik gagasan supremasi hukum, rule of law bagi kapitalis. Itu pula sebabnya kapitalis selalu bergairah bicara governance dengan segala argumentasinya.

Rule of law, harus diketahui bukan hukum dalam arti ilmu hukum. Untuk alasan apapun rule of law adalah gkesepakatan non hukum menjadikan hukum sebagai aturan utama, tertinggi daslam memandu roda kehidupan masyarakat. Sama dengan demokrasi, rule of law juga tak memiliki bentuk final. Akibatnya substansi dan ruang pembentukannya menjadi rebutan oleh kekuatan-kekuatan utama politik dan ekonomi yang saling bersaing.

Yang Diurusi

Bagaimana mengurus hukum merupakan soal terbesar, terumit dalam seluruh negara hukum demokratis. Siapa yang mengurusnya pada semua aspek; hulu dan hilir, pembentukan dan penerapan? Ini sangat tergantung pada skema konstitusi tentang kekuasaan pembentukan hukum. Dalam konstitusionalisme khas Amerika, soal itu diurusi oleh kongres. Ini berbeda dengan skema konstitusionalisme khas UUD 1945. Itu normatifnya. Empirisnya lain lagi perspektifnya.

Menurut skema normatif khas UUD 1945 urusan itu diletakan secara bersama DPR dan Presiden. Tidak seperti konstitusionalisme Amerika, konstitusionalisme Indonesia memberi kewenangan pembentukan hukum lebih besar kepada presiden. Dalam skema ini selain ikut membentuk UU, Presiden juga diberi kewenangan membentuk dua hukum yang sama daya ikatnya. Keduanya adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.

Sekalipun mengesampingkan dimensi empirisnya, yang menunjukan pertalian rumit antara aktor-aktor negara dan swasta dalam urusan itu, secara normatif mengurus bentuk hukum menjadi begitu penting. Urusannya tak sekadar mengurus bentuknya, huruf-hurufnya, kata-katanya yang terangkai menjadi kalimat normatif. Mengenali konsekuensi-konsekuensi tak terlihat, tersembunyi dari huruf-huruf hukum itu adalah pekerjaan yang jauh lebih penting. Tidak hanya untuk memastikan norma-norma itu berkepastian, tetapi apakah hal yang diatur itu memiliki derajat kepantasan, bukan dalam konteks benar dan salah, tetapi pantas menurut takaran sosial, kultural, ekonomi, politik, etik dan moralitas serta teknis? Itu soal terbesarnya.

Memilih kata untuk digunakan atau dijadikan norma, dimanapun dalam sistem hukum apapun selalu penting, karena norma menjadi hukum. Kata yang tidak memiliki maksud tunggal, tetapi diambil dan digunakan serta dijadikan norma, selalu begitu dalam seluruh ajaran ilmu hukum, sama dengan memberi senjata terkokang kepada siapapun untuk menerjang siapapun. Norma jenis itu jelas bersifat leviathan, dan yang keluar sebagai pemenang adalah yang terkuat.

Pertimbangan-pertimbangan sejenis itulah, sekadar sebagai ilustrasi yang mengakibatkan untuk waktu yang lama dunia tidak mengenal Bank Sentral, yang di Amerika disebut The Federal Reserve. Itu disebabkan sedari awal sejumlah politisi, yang kelak menjadi presiden ambil misalnya Thomas Jefferson menolak pendiri The Federal Reserve, karena institusi jenis itu diyakini akan melahap orang-orang kecil, dengan cara memproduksi inflasi gila-gilaan. Jalan fikiran ini diikuti Andrew Jackson dan William Howard Taft, sebelum akirnya disetujui oleh Woodrow Wilson pada tahun pertama pemerintahannya.

Sama dengan hukum substantif, hukum yang berisi pengaturan tentang serangkaian hak, demokrasi yang terus dipertalikan dengan welfare state disibukan dengan hasrat mensejahterakan rakyat, memerlukan hukum prosedural yang andal. Hukum prosedural, hukum tentang cara mempertahankan hak dan mendapat pelayanan birokrasi, diandalkan oleh semua negeri-negeri demokrasi konstitusional, karena itulah satu-satunya cara demokrasi konstitusional mewujudkan keadilan administratif.

Birokrasi yang andal, dalam pandangan demokrasi konstitusional ditentukan oleh dapat diprediksinya tindakan hukum aparatur. Dapat diprediksinya tindakan hukum aparatur birokrasi ditentukan oleh derajat kejelasan norma hukum prosedural, plus kesediaan etis aparatur menaati aturan yang jelas itu. Disisi lain kejelasan norma hukum prosedural ditentukan oleh derajat kejelasan teks. Kejelasan teks ditentukan oleh kejelasan ekspektasi pembentuknya, dan ketepatan merumuskannya. Governance dapat tercipta bila semuanya itu terpenuhi.

Demokrasi konstitusional akhirnya mengingatkan satu hal penting. Hal itu adalah aparatur hukum pada semua jenjang dan lingkungan wajib hati-hati menggunakan satu kewenangan istimewanya; diskresi. Menilai situasi secara tepat, dengan kesadaran etik dan arif, oleh demokrasi konstitusional diletakan difront terdepan. Itu karena demokrasi konstitusional memiliki catatan gemilang tentang diskresi, kewenangan istimewa ini berhimpit dekat sekali dengan kesenang-wenangan. Sedikit saja keliru, tindakan itu berkategori sewenang-wenang.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...