JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Presiden Jokowi dan Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan menjadi undang-undang. RUU ini dinilai tidak menjawab lima pokok krisis agraria.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika menyebut lima pokok krisis agraria tersebut. Yakni ketimpangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria struktural, kerusakan ekologis, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
"Kami menolak RUU Pertanahan yang saat ini tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah serta mendesak ketua DPR RI dan Presiden RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Pertanahan," ujar Dewi di Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Dewi menyampaikan pernyataannya menanggapi pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil yang menyebut UU Pertanahan akan memperkuat reforma agraria.
Menurut Dewi, RUU tersebut tidak mencerminkan perwujudan keadilan agraria, seperti tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA, serta UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
"RUU Pertanahan seharusnya menjawab 5 krisis pokok agraria di atas yang dipicu oleh masalah-masalah pertanahan," tambahnya.
Dewi menyatakan, terdapat beberapa persoalan mendasar RUU Pertanahan. Salah satunya, RUU itu bertentangan dengan UUPA 1960 meski disebut akan melengkapi dan menyempurnakan yang belum diatur dalam undang-undang tersebut.
Menurut dia, RUU Pertanahan secara menyimpang dan dengan kuat menerjemahkan Hak Menguasai dari Negara (HMN) menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan (HPL). Padahal, HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domain verklaring yang telah dihapus dalam UUPA 1960.
Domain verklaring adalah pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanah tersebut.
Persoalan lain, lanjut Dewi, RUU Pertanahan memprioritaskan Hak Guna Usaha (HGU) untuk diberikan kepada pemodal besar atau pengusaha tanpa mempertimbangkan sejumlah aspek seperti luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.(plt)