JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menilai, UU No 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan sejak diberlakukan sudah banyak keluhan, baik pihak serikat buruh maupun pengusaha. Seharusnya UU Ketenagakerjaan memihak kepada kepentingan buruh.
Jadi tidak heran, lanjut Mardani, buruh terus berjuang menolak wacana revisi UU No 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Terlebih jika melihat kondisi ekonomi dunia maupun ekonomi nasional saat ini.
"Jika melihat data BPS per Februari 2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ada dalam posisi 5,01%. Sebuah angka yg masih jauh dari harapan," kata Mardani di Jakarta, Senin (26/8/2019).
"Lebih rinci lagi jika melihat data BPS per Mei 2019, penggangguran muda lulusan SMA sebanyak 6,78%. Tertinggi lulusan SMK di angka 8,63% serta lulusan diploma berkisar 6,89%," tambahnya.
Dari data-data di atas, terang Ketua DPP PKS ini, Indonesia sedang mengalami kondisi dimana pertumbuhan investasi yang cenderung padat modal, tidak mampu diimbangi oleh penyerapan angkatan kerja di dunia usaha.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang adil. Sekaligus dihadapkan dengan kondisi peningkatan kualitas pendidikan yang msh menjadi pekerjaan rumah di sektor tenaga kerja.
Namun yang membuat situasi menjadi polemik, wacana revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar di masyarakat, lebih banyak membebani buruh.
"Contoh yang bisa diambil terkait dengan penerimaan pesangon maksimal hanya tujuh bulan. Dengan usulan tersebut, berapa lama pun rekan-rekan buruh bekerja, masa kerja yang diakui maksimal hanya tujuh bulan upah," ujarnya.
"Poin ini seakan menambah beban yang dipikul rekan-rekan buruh. Karena kerap ditemukan pelanggaran yang dilakukan pengusaha atas hak-hak yang seharusnya buruh dapatkan," tuturnya.(plt)